Oleh: Herlianto A
Sumber: tribunnews.com |
Pembaca masih ingat nama Sondang
Hutagalung? Tentu masih melekat dalam ingatan pembaca dan rakyat Indonesia.
Sondang, demikian dia dipanggil oleh kawan-kawannya, adalah martir penegakan
HAM yang membakar diri di depan istana negara. Seorang aktifis HAM berusia 22
tahun yang lahir dari Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenisme untuk Rakyat
Indonesia (Hammurabi) yang memilih mengakhiri hidupnya di depan simbol
kekuasaan negara. Kejadian yang menimpa mahasiswa hukum Universitas Bung Karno
(UBK) itu membuat rakyat yang menunggu keadilan akan pelanggaran HAM tersayat
hatinya.
Sondang membakar diri pada 7 Desember
2012 lalu sekitar pukul 17.30 wib. Menurut beberapa saksi mata, sebelum dia
melumuri seluruh tubuhnya dengan bensin, Sondang mondar-mandir di depan istana
negara. Tiba-tiba dia menumpahkan bensin ke sekujur tubuhnya lalu membakar
diri. Selama beberapa menit tubuhnya berbalut api yang menyala, dia tergeletak
disitu. Tiga menit kemudian, setelah 98 persen tubuh mahasiswa sejuta idealisme
itu terbakar datang pertolongan. Dan langsung membawanya ke rumah sakit, namun
sayang nyawanya tidak terselamatkan. Tiga hari kemudian bertepatan dengan hari
HAM pada 10 Desember 2012 Sondang menghembuskan nafas terakhir.
Tragedi itu sejenak menjeda bergulirnya
isu-isu politik dan kasus korupsi di berbagai media seperti, kasus bank
Century, mafia pajak, kasus suap DPR, mafia hukum dsb yang tak kunjung ada
penyelesaian dari para penegak hukum. Berita tentang Sondang seakan menjadi
selingan ditengah kejenuhan rakyat Indonesia melihat drama dan kongkalikong para penguasa dan para elit
dalam mempermainkan hukum dan mengekploitasi harta negara dan rakyat. Rakyat
begitu terhenyak dibuatnya, sementara para penguasa mulai berkomentar miring,
bahwa Sondang menderita penyakit psikis. Ini wajar, karena jika benar bahwa
yang dilakukan Sondang membawa pesan perlawanan, maka penguasa adalah orang
pertama yang kena batunya.
Tidak hanya di media, Sondang juga
menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan aktifis mahasiswa, akademisi,
agamawan, budayawan hingga para birokrat di senayan. Semua menafsiri aksi bakar
diri Sondang di depan istana negara sebagai bahasa perlawanan. Langkah ini
tergolong “atraksi” yang cukup unik dan jarang bahkan belum pernah diperagakan
oleh para motor gerakan mahasiswa Indonesia dalam setiap aksi. Memang aksi
bunuh diri bukanlah hal baru, tetapi biasanya dilakukan karena persoalan
tekanan ekonomi dan selebihnya persoalan pribadi.
Di beberapa negara perlawanan pasif
seperti bakar diri ini kerap terjadi. Misalnya, para Bhiksu di Tibet membakar
diri untuk mengkritisi kebijakan pemerintah China yang dinilai ekspansif
terhadap rakyat Tibet dan tidak memberi kebebasan kepada para Bhiksu untuk
menjalankan keyakinannya. Di Maroko, aksi seorang martir yang tidak diketahui
identitasnya membakar diri di tengah kota Rabat untuk menuntut pemerintah
segera mengatasi pengangguran yang terus meningkat di salah satu negara timur
tengah ini.
Mohammed Boauzizi, seorang pedagang kaki
lima negara Tunisia, membakar diri pada 17 Desember 2010. Langkah ini sebagai
protes terhadap pemerintah Tunisia karena gerobak sayurnya digasak pemerintah.
Aksi ini menuai perlawanan opposisi yang masif terhadap Ben Ali yang berakibat
tumbangnya kekuasaannya. Langkah penuh nyali ini kemudian diikuti oleh aktivis
Mesir, Maroko dan Aljazair dalam aksi protesnya[1].
Bahkan jauh sebelum itu Sherr Rinn
mencatat aksi bakar diri sudah dilakukan di Korea Selatan oleh Chun Tae Il pada
13 November 1970. Ia adalah seorang buruh pabrik garmen yang dipaksa kerja
tanpa batas waktu. Tubuh dan seluruh tenaganya diekploitasi oleh para kapitalis
yang berdiri dibelakang perusahaan itu. Hukum tak lagi berpihak dengan
nasibnya, dia laksana mesin yang terus dipacu demi nilai lebih (suplus values) yang menetes dari
keringatnya. Ia pun membakar diri hingga meregang nyawa. Setelah itu terjadi
pemogokan massal sebagai aksi solidaritas dan perlawanan lanjutan[2].
Mengamati uraian sejarah diatas seakan
hendak dikatakan bahwa Sondang ingin memecah kebuntuan dan kejumudan dalam
tradisi gerakan perlawanan kita. Pemerintah seakan sudah kebal dengan model
demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat. Ibarat minum obat perlu
dosis yang lebih tinggi lagi karena panyakit yang ada sudah kebal dengan dosis
yang biasa. Artinya jika memang tidak ada alternatif lain maka perlu langkah
yang lebih radikal agar perlawanan ini berarti. Dan bisa saja Sondang
terinspirasi oleh apa yang di lakukan Muhammed Boauzizi ataupun para Bhiksu di
Tibet. Mengingat langkah ini mampu melahirkan gerakan perlawanan massal yang
berujung pada tumbangnnya rezim.
Tapi sayang, aksi Sondang ini tidak
melahirkan gelombang perlawanan yang mungkin dia harapkan. Mereka yang
bersimpati hanya menyampaikan rasa kagum dan haru, seakan di negara ini lebih
banyak orang-orang yang ingin menikmati hasil perjuangan ketimbang memulai
untuk berjuang. Inilah watak orang-orang kita, selalu mencari celah untuk menunggang
diatas setiap perjuangan orang lain. Dan mengklaim sebagai keberhasilan jerih
payahnya.
Membaca
Bunuh Diri Sondang
Langkah heroik Sondang ini terus memicu
tafsir berbeda dari masyarakat kita. Tentu ini suatu kewajaran sebagai sebuah
fenomena. Namun jika kita merasa perlu suatu perlawanan terhadap penuntasan
kasus HAM, mestinya ini menjadi momentum untuk membangun kekuatan oposisi yang
kuat dan kokoh sebagaimana yang terjadi di Tunisa, Mesir dan Al Jazair. Tapi
ternyata suasana politik pragmatis lebih dominan di arena agen pergerakan kita.
Sehingga momentum itu berlalu begitu saja, atau bahkan disulap atas tujuan-tujuan
kelompok tertentu. Makanya kemudian yang lahir bukan konsolidasi tetapi
perdebatan tafsir siapa yang paling akurat.
Sebagian besar elemen mahasiswa yang
katanya terzalimi oleh pelanggaran HAM juga tidak berbuat apa-apa. Bahkan ini
kurang menarik ketimbang isu-isu sensasional lainnya, seperti kenaikan BBM,
Bank Century dsb. Beberapa orang mahasiswa secara acak-acakan melakukan
demonstrasi tetapi saya meragukan kesungguhan mereka. Sekedar cari nama di
media mungkin lebih dominan dari intensi aksinya.
Perdebatan antar elemen lahir untuk
mencapai suatu tafsir “syahih”. Diskusi dihelat dibeberapa tempat baik bersifat
resmi maupun yang hanya ngobrol-ngobrol di warung-warung dan cafe. Mereka punya
pertanyaan dasar yang tidak begitu berbeda. Mereka membedah apakah betul
langkah Sondang dengan membakar diri sebagai upaya perjuangan untuk “menyentil”
pemerintah agar serius dengan berbagai pelanggaran HAM berat yang tidak
terselesaikan bahkan ada upaya untuk dilupakan? Atau malah itu hanya ketidak
warasan seorang Sondang secara psikologis hingga dengan tanpa sadar membakar
diri? Atau justru itu langkah yang terlalu dini untuk dilakukan artinya
penegakan HAM di alam demokrasi ini masih belum butuh seorang martir?
Sebagian agamawan kaget dan
menyayangkan, baginya itu hanyalah keputus-asaan seorang pemuda yang terlalu
emosional, labil dan tak punya pertimbangan dalam menyikapi masalah. Artinya
tak lain itu jalan buntu jiwa muda yang tak mampu mengendalikan emosi karena
tak mampu untuk bersabar. Bahkan ada tuduhan bahwa Sondang kurang sehat secara
mental karena aksi-aksinya yang selalu aneh dengan mengecat muka dan badan
misalnya. Sebenarnya aksi teaterikal dengan mengecat badan atau melakukan
gerakan-gerakan simbolik dengan telanjang baju adalah bukan hal baru dalam dunia
aksi. Hampir sebagian mahasiswa dalam sebuah menampilkan pertunjukan kritik
sebagai aksi simbolik. Artinya yang dilakukan Sondang dengan mengecat badan
bukanlah indicator ketidak warasan seorang demonstran.
Isu miring yang menyudutkan itu tertepis
oleh penjelasan keluarga dan kawan-kawan Sondang di Hammurabi. Bahwa anak sopir
taksi ini adalah orang yang sehat jasmani dan rohani. Dia idealis yang gencar
membela hak rakyat dengan aksi-aksi kreatif, seperti orasi puisi, aksi
teaterikal dan pola-pola yang terlihat asing. Dia terbilang paling bersemangat
dalam setiap rencana aksi jalanan. Bahkan rabu pagi sebelum sore harinya
tubuhnya terbakar, Sondang sempat mengirim pesan “LAWAN” kepada temannya, Arlex Susanto Goenawan.
Tetapi juga tidak sedikit yang dapat membaca
pesan perlawanan dari aksi Sondang itu. Beberapa lainnya menilai aksi tersebut
tergolong tidak lazim. Menurut Sherr Rinn, ada beberapa hal yang membuat aksi
bakar diri Sondang memiliki pesan-pesan khusus. Pertama, pembakaran diri dilakukan di depan istana negara yang tak
lain adalah simbol kekuasaan. Kedua,
pada saat api melumat tubuhnya sedikitpun tak terdengar teriakan dari mulut
Sondang, sehingga ini berbeda dengan kebakaran biasa. Ketiga, dia sebagai mahasiswa, sebagaimana dikisahkan oleh kawan-kawannya
di Hammurabi, aktif menyuarakan tuntutan penuntasan pelanggaran HAM yang tak
ada titik temu serta aktif melakukan advokasi. Keempat, dia adalah anak seorang sopir taksi, artinya punya
kesadaran yang tinggi terhadap persoalan sosial yang berada disekitaranya[3].
Cipta Lesmana, pakar komunikasi politik
Indonesia, senada dengan pendapat Sherr Rinn melihat dalam aksi ini. Bahwa ada
komunikasi dan pesan-pesan politik yang hendak disampaikan oleh Sondang karena
berlangsung di depan istana negara. Dimana istana merupakan simbol kekuasaan
tertinggi di negeri ini. Artinya, apa yang dilakukan Sondang adalah upaya untuk
membuka mata, telinga dan hati penguasa negeri agar serius menuntaskan persoalan hak asasi manusia yang belum ada
realisasinya[4].
Muhammad
Al-Fayyadl[5]
melihat aksi ini sebagai bahasa perlawanan sang demonstran. Menurutnya, cara
Sondang memilih membiarkan si jago merah melumat tubuhnya sampai “kobong”
hingga merenggut nyawa satu-satunya yang paling berharga dalam hidup adalah
bukan hal yang sederhana yang kosong akan makna. Bahwa Sondang memilih menyiksa
diri dengan penderitaan amat perih yang tak terbayangkan daripada langsung
bunuh diri, seakan hendak melawan dan dia paham bahwa dengan membakar diri, dia
telah melakukan perlawanan paling berarti dalam mengkritisi keadaan dengan
harapan pengorbanannya tidak sia-sia. Satu sinyal yang ingin dia sampaikan pada
rakyat Indonesia bahwa perlawanan itu masih ada. Bagi Fayyald ini bukan
semata-mata kekonyolan seorang pemuda tetapi:
Ini adalah satu bentuk militansi perlawanan
yang paling hakiki yang pernah dilakukan oleh seorang mahasiswa atas penguasa.
Dengan tekat yang bulat, ia berani keluar dari zona kenikmatan dan kesenangan (hedonisme) yang bahkan saat ini masih
banyak dilakukan oleh para aktivis kawakan dan mereka yang mengaku sebagai
aktivis tulen. Sondang sejatinya tidak hanya menyindir pemerintah untuk segera
beranjak dari kursi empuknya dan menjawab tuntunan para keluarga korban (HAM),
tetapi juga memberi supervisi bagi para agen-agen gerakan yang telah beku dan
“kalang kabut”. Ia menunjukkan bahwa perlawanan adalah suatu jalan singkat.
Perlawanan bukanlah hitungan matematika, hitungan untung-rugi, mendapat citra
baik atau tidak. Perlawanan tidak melulu diramu setaktis, semetodis,
sefilosofis, sesistematis dan sestrategis mungkin hingga nuansa perlawanannya
tereduksi menjadi lobi-lobi belaka yang kosong hasil. Perlawanan bukanlah
langkah birokratif, perlawanan adalah tindakan non strategis, non metodis
bahkan non rasional.
Max
Lane dalam artikelnya Mencari Jalan
Membangun Harapan juga memandang sama
bahwa “Dia (Sondang) membakar diri di depan istana
kepresidenan, ingin mengatakan bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
kepala pemerintahan telah gagal mensejahterakan rakyat dan menuntaskan
kasus HAM”[6]. Lane
melihat aksi Sondang tidak hanya pada tidak terselesaikannya persoalan HAM
tetapi keadaan bermasyarakat kita yang jauh dari janji kesejahteraan juga
mendorong langkah Sondang. Interpretasi tersebut menjadi tak terhindarkan
ketika melihat kondisi Indonesia pasca reformasi. Dimana ketidak percayaan
kepada para elite selalu menggema
dari sekian pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan. Sudah tidak asing lagi
melihat para demonstran dengan jargon “Megawati gagal”, “SBY-JK gagal”,
“SBY-Budiono gagal” dst.
Menurut analisa Max Lane setidaknya ada dua alasan
mengapa para pemimpin itu dibilang gagal. Pertama,
mereka sebuah berasal dari kelas menengah atas dan mengukur kesuksesan ekonomi
Indonesia dari kesejahteraan kelas menengah atas itu. Yang jumlahnya hanya 10%
dari seluruh penduduk selebihnya hidup tragis. Kedua, kemiskinan Indonesia dan buruknya tata ekonomi Indonseia
bukan karena kebijakan neoliberal yang diambil, tetapi karena memang
kebijakannya tidak layak disepakati bahkan memperparah situasi. Maka untuk
itulah:
Sondang mengingatkan kita betapa dalam seorang
manusia merasa peduli tentang rakyatnya. Perasaan dalam tersebut harus
digendongkan dengan pengertian dan perencanaan untuk bangkit bersama-sama,
supaya tidak perlu lagi dan tidak akan ada lagi orang yang merasa perlu ambil
tindakan drastis mengorbankan diri, menderita kesakitan dan kehilangan nyawa
demi berusaha memicukan sesuatu yang dia tunggu-tunggu tapi tidak datang.
Kekuasaan selalu siap makan korban dari kaum pejuang[7].
Sementara Sherr
Rinn melampui dari kebijakan-kebijakan SBY yang memberi peluang besar bagi
tumbuhnya kapitalisasi. Dia melihat penyebab lain yaitu internal gerakan
mahasiswa yang tidak kunjung solid dan kian terfragmentasi, baik fragmentasi
antar-organisai, antar identitas, antar isu maupun antar organisasi dengan
individu. Spektrum ideologi dari masing organisasi gerakan tidak mampu
dikendalikan. Seakan gerakan mahasiswa berada dalam kebuntuan melakukan
tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah. Parsialitas itu semakin menunjukkan
bahwa gerakan yang ada belum sanggup untuk menciptakan atmosfer revolusi.
Reformasi kekuasaan dan birokrasi akan selamanya menjadi isu. Mengganti sistem
akan berhenti di forum diskusi dan seminar[8]. Maka seakan Sondang ingin memulai suatu langkah radikal untuk memulai
perlawanan baru demi perubahan. Yang dilakukan Sondang bukanlah mengajak kita
untuk bunuh diri, tetapi menjadikan diri sebagai momentum untuk disambut oleh
gerakan selanjutnya. Ia memberikan inspirasi agar para agen-agen gerakan
bangkit memperkuat organisasi dan melawan rezim.
Gerakan individual Sondang memiliki militansi yang
luar biasa (rela mati), politis, berorientasi penggulingan kekuasaan. Dia bukan
seorang anarkis (tidak percaya organisasi). Beberapa minggu sebelum aksinya, dia
sempat menitipkan Hammurabi kepada kawan-kawannya. Dia justru membakar diri
sebagai bentuk protes terhadap pemerintah agar lebih banyak lagi orang yang
bangkit melawan rezim serta memperkuat organisasi dan gerakan rakyat. Gerakan
Sondang tidak lah sia-sia. Dia telah memberikan inspirasi keberanian yang luar
biasa kepada setiap orang. Dia menunjukkan pencapaian model pengorbanan terbaik
yang bisa diberikan oleh seorang manusia, khususnya orang Indonesia. Dalam
logika pengorbanan, Sondang memiliki ekspektasi apa yang dia lakukan akan
menghasilkan sesuatu. Sesuatu itu adalah perubahan. Dan untuk itu, orang perlu
mengatasi ketakutan sebagaimana yang telah dia lakukan[9].
Bunuh Diri dan Anomie
Dari
perspektif gerakan muncul suatu kesangsian, mengapa kali itu Sondang memilih
aksi seorang diri ekstrim pula. Padahal aksi-aksi sebelumnya dilakukan dengan
beberapa kawannya yang lain? Memahami pertanyaan ini, kita mencoba membuka
wawasan pada salah satu tokoh sosiologi modern asal Francis, Emile Durkheim.
Durkheim mengulas panjang lebar dalam bukunya La Suicide soal bunuh diri. Menurutnya, bunuh diri dan gerakan
kebrutalan dalam suatu negara terjadi akibat perubahan masyarakat yang cepat.
Pembagian kerja yang semakin meningkat sementara kesejahteraan tidak kunjung
tercapai. Maka keadaan ini membawa pada suatu kebingungan tentang norma dalam
masyarakat itu. Selain itu juga peningkatan sifat yang tidak pribadi dalam
kehidupan sosial yang meruntuhkan norma-norma sosial yang berlaku. Maka muncullah
suatu sikap anomie dan menyimpang,
dan yang paling menonjol dari sikap menyimpang ini adalah bunuh diri.
Artinya
aksi nekat itu terjadi karena adanya kekosongan gerakan perlawanan baik
dari mahasiswa maupun rakyat. Sementara
aksi dan perlawanan yang ada belum mampu mendorong pemerintah untuk
menyelesaikan persoalan yang dianggap krusial yaitu penegakan HAM dan
kesejahteraan bersama. Maka, dia pun tampil dengan cara yang berbeda agar
direspon oleh penguasa. Cuma sayangnya, pengorbanan yang luar biasa ini hanya
mendapat respon bela sungkawa dari presiden SBY saat itu, itupun hanya
disampaikan melalui juru bicaranya. Apa yang dilakukan Sondang sebenarnya tidak hanya tamparan terhadap
pemerintah tetapi juga tamparan terhadap para gerakan mahasiswa, atau siapapun
yang mengaku agen perubahan untuk segera bangkit menegakkan agen of change, intellectual dan control yang selama ini justru
dirobohkan oleh mahasiswa dan agen-agennya sendiri.
Hingga tulisan ini ditulis, mahasiswa hanya
puas mengagumi apa yang dilakukan Sondang, ada yang mencaci maki tapi tak punya
solusi apa-apa dengan persoalan HAM. Padahal, sepanjang sejarah bangsa ini
mahasiswa tergolong elemen masyarakat yang juga banyak mendapat pelanggaran HAM
dari penguasa dan aparat. Mahasiswa tak jarang di-jahili oleh penguasa atas pembelaan-pembelaannya di jalanan. Sangat
disayangkan apa yang dilakukan Sondang tidak dilakukan “upaya gayung
bersambut”. Beberapa organ-organ yang mengaku gerakan mahasiswa sedikitpun tak
punya empati dan simpati. Tentu ini menjadi kabar buruk bagi masa depan HAM
dibangsa ini.
0 Comments