Oleh: Herlianto A
Sumber: hesiaialqolam.blogspot.com |
Untuk
Pertama melangkah sebagai mahasiswa, secara otomatis, tanpa menghilangkan peran
pemuda lainnya, dicatat sebagai agen pembaru dan tunas masa depan bangsa.
Menjadi suatu keniscayaan bahwa mereka akan dihadapkan dengan kumpulan-kumpulan
manusia yang kita kerap kenal dengan istilah Organisasi. Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli
tentang organisasi. Misalnya James D. Mooney mengemukakan bahwa
organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan
bersama.
Chester
I. Bernard
berpendapat bahwa organisasi adalah merupakan suatu sistem aktivitas kerja sama
yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Stephen P. Robbins menyatakan
bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity)
sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif
dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk
mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Secara sederhana Organisasi adalah sekumpulan orang dimana segenap
warga di dalammya mempunyai kepentingan atau pandangan yang sama kemudian menyatukan
diri dan bekerja sama dalam satu wadah untuk mencapai tujuan itu.
Kumpulan ini
didasari oleh hakikat manusia sebagai mahluk sosial yang perlu berinteraksi
dengan manusia lain atau secara radikal
manusia tidak bisa hidup tanpa adanya dan bantuan orang lain. Sang filsuf
Yunani kuno, Aristoteles, sejak ribuan tahun yang lalu telah merumuskan konsep
yang disebut dengan istilah zoonpoliticon
(mahluk sosial). Dengan ini diyakini bahwa manusaia memiliki kepentingan dan
kemauan yang tidak mungkin dipenuhi oleh kemampuannya yang terbatas, maka
diperlukan tangan orang lain.
Sedangkan Thomas
Aquinas, pakar hukum zaman Romawi Kuno, menginterpretasikan zoonpoliticon tidak hanya sebagai mahluk
sosial tetapi lebih luas dari itu sebagai mahluk politik.[1]
Artinya kehidupan bermasyarakat dan berorganisasi tidak terlepas dari aktifitas
sosial dan politik meskipun sebagian orang dengan terang-terangan tidak mau
tahu dengan politik (mentabukan politik) atau bahkan mencerca politik. Ini
wajar karena wajah perpolitikan dinegara ini memang tengah kacau balau. Politik
di negeri ini adalah kerakusan dengan kekuasaan dan kebohongan – kebohongan.
Ini menjadi pengalaman empiris yang cukup bagi mahasiswa, pemuda dan masyarakat
untuk antiterhadap politik.
Namun ada celah
lain mengapa kita mesti melek politik
tetapi bukan terlibat dalam politik praktis. Ada ilustrasi sederhana, kita tahu
harga beras sepuluh tahun yang lalu sekitar Rp 2000an, kemudian saat ini sudah
mencapai lebih dari Rp 7000, sistem pendidikan jaman Orde lama lebih kepada
Sosialis, pada Orde baru sentralistik dan pada reformasi desentralistik. Masing
–masing sekolah berhak mengembangkan segala dari satuan pendidikannya.
Sementara kita tiap hari makan nasi dan menyekolahkan anak-anak, bahkan yang
lebih mudah dipahami setiap lima tahun kita diminta memilih pemimpin meski kita
tidak pernah merasakan perubahan yang lebih baik dari setiap pergantian pemimpin.
Kasus itu adalah
politik, naiknya harga beras, pendidikan yang mahal, sistem pendidikan yang
gonta-ganti dan ketundukan kita untuk datang ke TPS (Tempat pemungutan Suara)
adalah kegiatan politis yang kita lakukan dan kita rasakan akibatnya dalam keseharian kita. Segala bentuk
perubahan itu merupakan proses dan kebijakan politik, memilih atau tidak
memilih pemimpin adalah satu hak politik yang pasti dimiliki oleh setiap orang.
Dengan demikian manusaia tidak bisa lepas dari politik. Maka menjadi perlu mengerti politik agar mampu
memahami peta perkembangan politik dan bisa melakukan kontrol.
Sementara,
konsep organisasi modern medefinisikan organisasi tidak semata-mata pada adanya
satu pandangan yang sama atau kepentingan kolektif, tetapi juga terikat pada
perangkat-perangkat berorganisasi yang lebih rigid. Seperti struktur
organisasi, AD/ART, prinsip organisasi, komando organisasi dll yang harus
dipatuhi oleh setiap anggota. Namun kita
perlu forum lain untuk mendiskusikan secara detail persoalan organisasi karena
yang menjadi sorotan dalam tulisan ini lebih kepada gerakan yang terbangun
sebagai implikasi dari adanya wadah organisasi bukan bagaimana membuat organisasi.
Omek (Organisasi
Mahasiswa Ekstra Kampus) dan Omik (Organisasi Mahasiswa Intra Kampus) adalah
pemetaan organisasi mahasiswa berdasarkan lingkungan kegiatannya. Dalam hal ini
Nugroho Notosusanto (mantan rektor UI) menggunakan istilah Organsasi Mahasiswa
Extra universiter dan Organisasi mahasiswa Intra Universiter.[2]
OMEK
Omek adalah
jenis organisasi yang tidak terikat secara struktural maupun fungsional
terhadap suatu kampus tertentu. Ia berdiri secara independen memiliki fungsi kontrol
terhadap kebijakan kampus maupun kebijakan publik. Kontrol yang diberikan lebih
bersifat ekstra parlemen yaitu pengawasan dari luar pagar sehingga lebih
bersifat moral of force. Sementara
anggotanya berasal dari kampus yang
berbeda atau berbeda latar belakang budaya serta keyakinan.
Omek memiliki
garis struktur organisasi yang cukup detail mulai dari tingkat pusat, wilayah,
kabupaten/kotamadya, kampus hingga tingkat fakultas. Ini tentu dimaksudkan
untuk mempermudah distribusi informasi, advokasi, edukasi atau bahkan agitasi
yang di instruksikan langsung dari pimpinan pusat atau dari daerah tertentu
yang dikirim ke pusat lalu oleh pusat di disebarkan lagi ke seluruh daerah
lain. Hal ini dilakukan jika isu yang ditransfer dari daerah ke pusat dirasa
cukup penting untuk disikapi secara nasional. Nugroho Notosusanto
memetakan Omek yang pernah ada di
Indonesia ke dalam 3 jenis:[3]
Berdasarkan Agama:
Berdasar agama
karena nuansa perjuangannya atas nama keutuhan eksistensi agama tertentu atau
berupa gerakan pembelaan terhadap suatu agama. Sehingga cara-cara perjuangannya
sarat akan nilai-nilai agama. Misalnya, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI
(Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), GMKI(Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia) PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan
Mahasiswa Muhammdiyah) dll.
Berdasarkan Parpol/Golongan.
Berdasar parpol
karena semangat perjuangannya adalah untuk kepentingan atau menjalankan visi
dan misi parpol tertentu. Sehingga modus-modus perjuangan yang digunakan adalah
semangat kepartaian atau pembelan-pembelaan terhadap partai. Atau para aktivis
menggunakan istilah underbouw untuk
mengatakan Omek yang demikian. Misalnya, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia), GMSos (Gerakan Mahasiswa Sosialis), CGMI (Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia)
Berdasarkan Lokalitas.
Jelas semangat
perjuangannya adalah atas nama aspirasi lokal, organ ini memiliki kecendrungan
berafiliasi dengan organ gerakan yang lain dalam menjalankan fungsi kontrolnya.
Seperti, FORBAS (Forum Belajar Bebas) Malang, Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta),
PMPL (Perstuan Mahasiswa dan Pemuda Lampung), DRMS (Dewan Reformasi Mahasiswa
Surakarta) dll.
Klasifikasi ini menitik beratkan pada
sentral gerakan organisasi serta tujuan yang dimaksud. Pemetaan ini tidak cukup
representatif untuk mengilustrasikan petakan-petakan gerakan mahasiswa, karena
di beberapa literatur lain disangkal, pemetaan berdasarkan agama tenyata juga
terlibat dalam partai politik, karena ternyata banyak parpol yang lahir
berasaskan agama. Jadi, lahirnya beberapa Omek disupport/diinspirasi oleh
parpol yang memiliki kesamaan idiologis dan setelah berdiri Omek terikat secara
struktural. Misalnya PMII dengan partai NU, SEMI dengan partai PSII, GMKI se-ideologi
dengan Parkindo, HMI dengan Masyumi dsb[4].
Pilihan Omek untuk menjadi bagian dari
parpol tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi liberal yang dianut
Indonesia yang terpancang antara 1950an hingga 1959an. Suasana ini memberikan
kebebasan untuk membangun partai dan semangat berserikat bagi seluruh
masyarakat Indonesia. Sehingga partai-partai lahir tanpa kendali bak jamur
dimusim penghujan. Untuk memperkuat eksistensinya, partai menempatkan pemuda
sebagai lahan potensial dalam rangka melindungi legitimasi dan pencitraan
dimasyarakat.
Bahkan Omek yang telah berikrar untuk
mempertahankan satu organisasi kemahasiswaan saja ternyata pecah karena
partainya pecah. Misalnya apa yang dilakukan oleh HMI dengan perjanjian
Seni-Sono yang salah satu isinya adalah Pengakuan
terhadap HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia[5],
tetapi kemudian HMI ini pecah dan melahirkan organisasi mahasiswa baru lagi
diantaranya: Serikat Mahasiswa
Muslimin Indonesia (SEMI) berdiri pada 2 April 1956, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
berdiri pada 17 April 1960, Ikatan
Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) berdiri pada 4 April 1964, Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri pada
20 Januari 1964, dan Himpunan
Mahasiswa Al-Jamiatul Wasliyah (HIMMAH) berdiri pada 8 Mei 1961.
Hal senada
pernah diikrarkan oleh partai Masyumi untuk menjadi satu-satunya partai politik
Islam tetapi ternyata goyah dan pecah oleh benturan kepentingan masing-masing
sekte (conflict of interest). Konflik internal ini diduga merembet
terhadap perpecahan Omek Islam yaitu HMI. Setelah itu serpihan-serpihan HMI,
seperti PMII menjadi bagian dari partai NU, SEMI menyatu ke PSII, dan IMM sudah
pasti ke Muhammdiyah.
Kepingan-kepingan
sejarah ini yang menjadi awal disharmoni antar organisasi. Masing-masing Omek
berlomba untuk mendulang anggota sebanyak mungkin diberbagai kampus, gesekan
antar Omek pun tak bisa dihindari. Muncul tuding-menuding antar Omek yang sampai saat ini masih menyisakan
persoalan yang kadang menyulut kontak fisik. Jadi di era 1950 setiap mahasiswa
sudah dihadapkan dengan dua jenis organisasi (Omek dan Omik).
OMIK
Sementara Omik,
secara struktural ataupun fungsional terikat terhadap struktur atau birokrasi kampus tertentu, yang sering kita kenal ada
BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang terbagi kedalam BEM Universitas dan
Fakultas. Umumnya BEM fakultas masih membawahi beberapa organisasi jurusan
dengan nama dan visi misi disesuaikan dengan keinginan jurusan yang kita tahu
yaitu HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan). Keterikatan itu yang membuat Omik tidak
bernyali membeberkan polemik para petinggi kampus, keberaniannya dapat diredam
secara struktural oleh pihak kampus hingga ancaman DO (Drop Out), sehingga
rutinitas Omik hanya sebagai “kaki tangan” petinggi kampus dan pelaksana event organizer dengan mengadakan
acara-acara tertentu yang jauh dari nilai-nilai kritis.
Omik
sepenuhnya berada dibawah kontrol pembantu rektor dan pembantu dekan bidang
kemahasiswaan. Sistem perkuliahan kemudian direstrukturiasai dengan menerapkan
model SKS, pemberlakuan absensi dan tatatertib yang sangat ketat. Dengan ini
mahasiswa dikurung dikampus untuk segera menyelesaikan studinya. Segala bentuk
kegiatan intra harus dilaporkan dan disahkan oleh PR dan PD bidang
kemahasiswaan, strukrur keorganisasian Omik berada tepat dibawah
perangkat-perangkat kampus.
Sementara
kegiatan Omek dikendalikan melalui satu wadah tunggal yaitu KNPI (Komite Nasional
Pemuda Indonesia)[6]
lembaga ini kemudian menjadi satelit pemerintah untuk memantau kegiatan Omek
dan pemuda. Sebagai alat kooptasi dan hegemonik terhadap gerakan Omek, KNPI
kemudian dimasukkan dalam GBHN.
Karena Omik terikat
dengan kampus, tentu yang menjadi anggota terbatas pada mahasiswa dalam kampus
tersebut. Antara Omek dengan Omik mulai renggang relasinya karena terbentur
oleh palang pintu kebijakan kampus. Secara kaderisasi Omek terancam untuk terus
membumikan ideologinya karena Omek dilarang masuk dan baraktifitas di kampus
pada dekade 1980an, tetapi Omek mengambil langkah untuk menyusup ke tubuh-tubuh
Omik dan mengajarkan doktrinnya. Maka persaingan antar Omek bergejolak untuk
menguasai Omik demi mendapat kader sebanyak mungkin melalui penguasaan
organisasi intra kampus. Setiap Omek mengupayakan menjadi pucuk pimpinan
diberbagai kampus agar leluasa bermanuver.
Para mahasiswa
perlu berkompetisi dalam sebuah pemilihan agar dikukuhkan sebagai ketua atau
pengurus dibawahnya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa yang tidak
punya latar belakang Omek untuk bisa terlibat dalam kepengurusan intra karena
selain disebabkan oleh aturan kampus yang ribet juga tergesek oleh persaingan
peserta yang punya latar belakang Omek. Kesulitan itu tak ubahnya kesulitan
calon pemimpin independen dalam pemilu dinegeri ini. Maka wajar jika ada
pernyataan bahwa Omik menjadi lahan Omek untuk mengukuhkan eksistensi atau
kalau perlu mendominasi suatu kampus tertentu. Ini menjadi pertanda pergeseran
idealisme Omek dari mengontrol kekuasaan ke penumpukan massa.
Adalah dengan
jalan demokrasi untuk meminimalisir gejolak pertentangan antar Omek dalam suatu
kampus yaitu pemilihan secara langsung untuk menentukan pengurus Omik. Sudah
lumrah kampus-kampus mengadakan pemilu raya untuk menengahi nafsu mengusai para
Omek. Dibentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan panwaslu agar proses pemilihan
berjalan lancar.
Pemilu serentak
dilakukan untuk menentukan presiden mahasiswa atau ketua BEM Universitas dan
Fakultas serta DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa). Pada kondisi ini Omek seakan
berperan sebagai partai dalam pemilu. Sementara kampus menjadi Negara yang direbut oleh kandidat
partai sehingga proses pemilu menuntut Omek untuk mengirim kader terbaik agar
bisa bersaing dengan calon dari Omek lain. Kemenangan kadernya menjadi penentu
masa depan keberadaan Omek dalam kampus tertentu.
Proses pemilu
ini menjadikan kampus tidak hanya sebagai laboratorium fisika dan biologi,
tetapi sebagai laboratorium demokrasi karena aktifitasnya tidak jauh beda
dengan Negara Indonesia dalam hal pemilu.
Namun demikian,
proses pemilu dikampus di harapkan dapat bermanfaat bagi pencerdasan dalam
memahami demokrasi dan demokratisasi dalam perbedaan pandangan dan
multikebiasaan (adat). Meskipun juga sering terjadi bentrok karena ketidak
puasan satu pihak terhadap keputusan hasil pemilu. Ketidak puasan yang berujung
bentrok tidak hanya terjadi di senayan di kampus juga tak dapat dihindarkan.
Melalui demokrasi secara prosedural ini mahasiswa sudah di hadapkan panorama
konflik (bentrok) dalam berpolitik. Entah ini sebagai akibat logis dari sistem
demokrasi, atau mahasiswa terpana oleh konflik para politisi dalam pemilu.
Diakui atau
tidak sifat dari Omek adalah visioner atau kaderisasi untuk mempempertahankan
eksistensinya dari waktu ke waktu. Sementara kampus adalah lahan satu-satunya
yang bisa untuk itu. Persaingan antar Omek menjadi keniscayaan, sering terjadi
friksi antar Omek dikampus dalam memperebutkan mahasiswa sebagai kader,
lebih-lebih pada waktu penerimaan mahasiswa baru. Setiap Omek punya strategi
dan perangkap sendiri dalam menggaet mahasiswa baru.
Benturan-benturan
Stratak (strategi dan taktik) ini yang sering memanas dan memercikkan api
konflik dan membakar seluruh niat baiknya. Misalnya, friksi antara PMII dan HMI
di Universitas Islam Malang yang berujung “adu jotos” pada Agustus 2009,
dilaporkan ketua komisariat dari kedua organisasi sama-sama “bonyok”, IMM dan
HMI di Universitas Muhammadiyah Ponorogo pada September 2011 hanya karena persoalan
sepanduk.
Dikampus-kampus
tertentu jumlah massa Omek yang ada terkadang tidak berimbang. Artinya suatu
Omek tertentu mendominasi kampus baik anggota maupun birokrasi kampus dikuasai.
Beberapa hal yang melatar belakangi mendominsinya Omek dalam suatu kampus: Pertama,
kesamaan pandangan ideologis antara Omek dengan kampus, misalnya UNISMA (Universitas
Islam Malang) yang berhaluan Aswaja Ahlusunah Wal’jamaah maka OMEK yang
mendominasi adalah PMII yang juga berideologi Aswaja atau di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) maka yang
besar adalah IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah).
Kedua, besarnya
jumlah dosen yang berlatar belakang Omek tertentu, ini menjadi kekuatan
tersendiri bagi Omek untuk melebarkan sayap disuatu kampus atau dengan kata
lain ini adalah kekuatan dibelakang layar yang memberikan konsep atau strategi
terhadap pengukuhan eksistensi Omek yang pernah membesarkan. Jadi secara
normatif mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga keletarian Omeknya.
Kalau
diibaratkan dengan film mereka adalah sutradara sekaligus sekenario, sementara
para mahasiswa menjadi lakon untuk mewujudkan skenario dan konsep tadi. Para
dosen ini punya pengaruh besar terhadap tumbuhnya Omek secara kuantitas. Bahkan
untuk melamar jadi dosen di beberapa fakultas kampus tertentu yang menjadi
syarat utama adalah latar belakang Omek, berkas-berkas dan yang lain adalah formalitas semata.
Ketiga, murni usaha
dari Omek tertentu, ini biasanya dipraktekkan oleh Omek yang tidak memiliki
dukungan atas dasar kesamaan ideologis maupun sejumlah dosen dalam kampus.
Perjuangan Omek semacam ini jarang sekali kita temukan, karena butuh
kekompakan, pengorbanan yang besar dan komitmen yang betul-betul kuat dari para
petinggi maupun anggota. Secara tidak langsung Omek yang berkembang secara
ideologis natural dan yang berkembang melalui sejumlah dosen yang dimiliki
adalah rintangan bagi Omek yang bekerja
sendiri.
[1] E. Sumaryono. Etika
dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kondrat Thomas Aquinas Yogyakarta:
Kanisius. 2002 hal 39.
[4] Achmad Suhawi. Gimnastik politik nasionalis radikal: fluktuasi gerakan mahasiswa
nasional Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2009. hal 65.
[5] Dalam
Sejarah Perjuangan HMI (1947 – 1975) Tulisan Drs. Agus Salim
Sitompul :Untuk meningkatkan persatuan
ummat Islam itu, yang menyangkut semua lapangan perjuangan di Gedung Seni Sono
(sebelah selatan Gedung Agung) Yogjakarta dari tanggal 20 – 25 Desember 1949,
dilangsungkan kongres Muslimin II setelah Indonesia Merdeka. Sebanyak 129
organisasi dari berbagai jenis dan tingkatan, dari segenap penjuru tanah air,
sama-sama bersepakat mengambil keputusan antara lain : (1) Mendirikan badan penghubung, mengkoordinir
kerjasama antar organisasi Islam, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dengan
nama Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dibawah pimpinan satu sekretariat.
(2) Menyatukan organisasi pelajar
Islam, bernama Pelajar Islam Indonesia (PII). (3) Menyatukan organisasi guru Islam dengan nama
Persatuan Guru Islam Indonesia (PGI). (4) Menggabungkan organisasi-organisasi pemuda dalam satu badan yang
bernama Dewan Pemuda Islam Indonesia. (5) Hanya satu organisasi mahasiswa Islam Indonesia, yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi.
http://www.pmiipost.com/catatan-sejarah/sejarah-pasang-surut-hubungan-pmii-dan-hmi.html
[6] KNPI dibentuk melalui deklarasi pemuda pada 23 Juli
1973 di Gedung Joang Jl. Menteng Raya No. 31 Jakarta Pusat yang di ikuti oleh
14 organisasi pemuda: Pemuda Muslimin, Pemuda Demokrat Indonesia, GAMKI, Pemuda
Khatolik, Pemuda Muhammadiyah, GPI, GMNI, HMI, PMKRI, PMII, Pemuda Pancasila,
Pelajar, Mahasiswa golongan Karya. Dalam Gimnastik
politik nasionalis radikal. hal 139,
0 Comments