Mahasiswa Dan Skenario Indonesia Kedepan

Oleh: Herlianto A
Sumber: tonisolih.com
Tidak bisa dipungkiri bahwa maju mundurnya suatu bangsa bergantung pada pemuda. Penataan atau pemberdayaan pemuda menjadi penting dilakukan jika negara ini masih berharap bertahan di masa yang akan datang atau masih memiliki impian untuk menjadi suatu negara yang tangguh baik secara pertahanan yang menyangkut kedaulatan, ketahanan ekonomi, maupun menyangkut kesejahteraan dan budaya yang berkait erat dengan kepribadian bangsa.  Berbicara pemuda sama artinya dengan berbicara masa depan negara. Masa depan adalah ketidak pastian, namun persiapan menghadapi masa depan adalah jalan kepastian.

Konteks pemuda tidak bisa dilepaskan dari mahasiswa. Penyebutan mahasiswa sebagai yang berbeda dengan pemuda pada umumnya adalah karena kesempatan yang dimiliki untuk belajar kejenjang yang lebih tinggi. Peluang untuk memperkaya khazanah keilmuan dan memperluas cakrawala pengetahuannya untuk membentuk suatu world view yang tidak kolot. Mempertajam daya kritis dan mengasah sensitifitas sosialnya agar mampu berdialektika dengan realitas maka mereka disebut agent of intellectual.

Andil pemuda dan mahasiswa sudah tidak diragukan lagi dalam konstelasi sejarah negara ini baik pra kemerdekaan, kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga reformasi bergulir. Semangat yang menggebu memungkinkan mereka menjadi aktor dimana perubahan menderu, maka tepat jika mereka disebut agent of change. Mereka hilir-mudik memonitor langkah- langkah pembangunan, memberi kritik dan saran pada penguasa, dan menuntut dikala keadilan tidak menjadi prinsip dalam bermasyarakat untuk itu layak mereka disebut sebagai agent of control. Peran sentral itu memberi kesempatan pada mahasiswa untuk dimitoskan sebagai pahlawan Ampera.


Namun meski demikian masih ada sisi-sisi lain yang perlu dievaluasi dan dikritisi dari arus gerakan mahasiswa. Mengalirnya kekuatan perlawanan oleh pemuda dan mahasiswa tak jarang menyisakan pengkhianatan terhadap nurani rakyat. Daya gerakannya tak jarang dijadikan kuda tunggangan oleh ketamakan nafsu berkuasa orang-orang tertentu, dan sejarah telah membuktikan itu. Disetiap sela-sela pergantian rezim selalu tampak penghiatan terhadap nurani rakyat. Mereka hampir tak ada bedanya dengan bermain drama. Yang dikontrol, demi keuntungan financial atau popularitas belaka.

Kini mereka tampak telah lesu dengan kondisinya, berbagai rongrongan muncul agar gerakan mahasiswa tidak lagi dominan dalam menangangi perubahan. Mulai dari tekanan di lingkungan pendidikan, semangat bernegara dan jiwa patriotismenya. Ini mesti segera diantisipasi, dan menyelamatkan mahasiswa dari kubangan kepalsuan hidup yang telah direkayasa oleh kepentingan tertentu baik kepentingan nasional maupun kepentingan global. Masa depan negara dan bangsa tengah direkayasa, miniatur masa depan tengah disetting tinggal bagaimana implementasinya.  
   
Belum lama ini beberapa kali koran Kompas memuat suatu ulasan yang sangat menarik kaitannya dengan rekayasa kondisi dan peluang Indonesia dimasa depan. Ulasan itu dibuat dalam bentuk laporan diskusi dan opini, yaitu Indonesia: Skenario 2025[1] dan  Menuju Negara Adikuasa 2045[2] Dalam tulisan ini digambarkan bagaimana prospek Indonesia ditengah ketatnya persaingan negara-negara maju baik dibidang politik, strategi, ekonomi maupun budaya. Indonesia diprediksi akan masuk jajaran tujuh prekonomian terbesar dunia bersama Brasil, Rusia, India, China (BRIC), Meksiko dan Turki.

Dengan produk Domestik Bruto (PDB) kira-kira 5,1 triliun dolar AS dan PDB perkapita 18.000 dolar AS pada tahun 2030 dan proses industrialisasi akan menjadi satu ujung tombak dan akumulasi modal menuju negara maju. Prediksi  itu didasarkan pada kondisi Indonesia dengan skala ekonomi dan jumlah penduduk yang besar serta secara geografis Indonesia terletak di jalur yang strategis yaitu ditengah negara-negara Asia timur yang belakangan sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia.

Menyikapi prediksi ini beberapa komentator mengatakan bahwa dugaan ini itu bukanlah sekedar ramalan atau prediksi yang khayali dan mengada-ada, melainkan  merupakan sesuatu yang mungkin bisa terjadi apabila didasarkan pada kalkulasi yang tepat dan mengacu  pada analisis dan data yang sah. Kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara target pasar dunia saat ini harus kita iakan, ini melihat pertumbuhan kelas menengah (middle class) yang sangat pesat dengan daya konsumtif yang tinggi. Walaupun kemungkinan lain justru memunculkan kondisi yang berlawanan dengan skenario itu. Bahwa Indonesia sebagai target pasar akan menjadikan bangsa ini kurang produktif dan menjadi bangsa penikmat.

Ketatnya persaingan antar negara dibidang investasi, inovasi dan akuisisi teknologi akan diwarnai oleh friksi dan rivalitas yang kian massif dan kemungkinan  berujung pada ketegangan militer dan perebutan perbatasan sangat besar sekali. Perubahan pemain global juga memunculkan tantangan, pertumbuhan penduduk yang pesat serta urbanisasi yang overload akan memunculkan banyak masalah yang luar biasa diperkotaan mulai dari pemenuhan lapangan kerja, pendidikan, infrastruktur, perumahan, air bersih, transportasi fasilitas publik dan lain sebagainya.

Namun apapun alasannya, masyarakat normal akan tetap menginginkan Indonesia sebagaimana yang diskenariokan yaitu menjadi negara adikuasa, berkesejahteraan, berkeadilan, demokratis dan damai. Untuk menjawab itu bukanlah sesuatu yang mudah, perlu ada upaya  panjang, butuh kesabaran dan kesadaran kolektif dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan segala sumber daya yang dimiliki, lebih-lebih sumber daya manusia, perlu dibesarkan manusia-manusia yang jujur, tangguh dan bermental pejuang, bukan manusia-manusia munafik yang justru menambah derita negara dan rakyat karena prilaku koruptif mislanya sebagaimana kita saksikan belakangan ini. 

Jepang, Hongkong dan Singapura bukanlah negara yang kaya sumber daya alam, tetapi berkat pemberdayaan manusia yang tepat dan serius, serta mental pahlawan dengan segudang keberanian. Maka keterbatasan SDA justru menempatkan mereka sebagai negara makmur dan diakui kekuatan ekonominya. 

Sebaliknya, Indonesia diakui sebagai negara yang kaya SDA tetapi kita tidak mampu hidup sejahtera. Kekayaan alam yang kita miliki malah dinikmati oleh asing, lihat saja Freeport di Papua, Blok Cepu di NTB, tambang emas di Banyuwangi, Exxon mobile dan Chevron di Bojonegoro. Ini jelas suatu ketidak beranian negara untuk menasionalisasi semua kekayaan alam. Keterbatasan SDM yang mampu mengolah SDA yang ada masih diangkat sebagai suatu permasalahan ditundanya nasionalisasi. Lalu bagaimana dengan 54 tahun lalu ketika Sukarno menasionalisasi kekayaan Indonesia. Apakah benar kemampuan manusia kita semakin mundur? Atau sistem ekonomi kita yang tidak tepat? Atau justru kita tidak mampu menepis neoliberalisme, neokolonialisme dan kapitalisme.

Lalu siapa kemudian yang akan melawan? Persoalan negara ini harus kita hadapi secara kolektif karena ini bukan perkara pribadi melainkan, problem kita bersama. Para pemuda dan mahasiswa harus menyiapkan diri untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik. Mahasiswa harus cakap untuk mencari teladan yang patut dicontoh, mengingat para tetua kita tidak sedikit yang bejat jiwa dan moralnya. Ini juga bukan upaya untuk memaksa mahasiswa menanggung derita negara seorang diri, tetapi terlalu beresiko jika negara ini dipasrahkan hanya pada para tetua yang telah terlilit oleh budaya KKN.

Nugroho dan Hanurita (2005) Setidaknya ada 5 persoalan yang menjadi tantangan Indonesia bagi masa depan sebagai negara dengan satus negara berkembang. Tantangan itu mulai dari demokrasi, globalisasi, konflik, korupsi dan governansi. Kelima persoalan itu telah mengililingi Indonesia dengan orbitnya masing-masing.  Pada wilayah demokrasi, mayoritas menjadi hantu (evil) bagi minoritas, hak-hak minoritas kerap diabaikan. Demokrasi menjadi prosedur-prosedur mekanis dengan meluruhkan makna substantifnya dalam bermasyarakat. Kontrol rakyat telah dikebiri oleh para penguasa melalui uang yang dimiliki. Sementara negara ini sudah terlanjur memilih jalan demokrasi karena kisah-kisah diktator telah menistakan bangsa dan rakyat.

Hadirnya globalisasi menjadi petanda buruk bagi kehidupan bermasyarakat, ia menjadi perusak terhadap perekat-perekat sosial. Melalui perkembangan teknologi dan diterapkannya pasar bebas masyarakat menjadi dirinya sendiri, rakyat terkontaminasi oleh sikap individualistis yang berlebihan sehingga tak mampu menyatukan dan mengkonsolidasikan perlawanan-perlawanan. Rakyat menjadi apatis dengan persoalan yang menimpa saudaranya selama masalah itu tidak menyentuh hidupnya dan kebutuhan perutnya.

Secara ekonomi muncul korporasi-korporasi asing yang bergerilya mengeruk kekayaan negara berkembang atas nama free trade. Buah dari pengerukan ini adalah pertikaian. Konflik menjadi suatu niscaya karena masing-masing pribadi menganggap dirinya benar. Dan merasa tak punya tanggung jawab terhadap keamanan sosial, semua penataan kenegaraan dipasrahkan pada negara yang ternyata belum kunjung sukses. Konflik tidak hanya vertikal, tetapi horizontal, gabungan vertikal dengan horizontal, konflik elit dan konflik separatis. Sementara korupsi terus mewabah, berbagai mega skandal KKN gagal diproses dipengadilan.

Para pelakunya masih hidup bebas berkeliaran di luar negeri maupun di dalam negeri. Para wakil rakyat yang berasal dari partai justru menjadi mesin uang untuk partai. Sementara dari segi governansi seakan belum menemukan formula yang tepat baik disektor pemerintahan maupun disektor bisnis. Para birokrat belum punya peran apa-apa terhadap negara selain mencipta keuntungan bagi dirinya. Ini menjadi negara birokrasi tetapi tanpa birokrat. 



[1] Kompas, 25/11/2011
[2] Kompas,11/11/2011.

Post a Comment

0 Comments