Ber-PMII di Rayon Bukan di Cabang

Oleh: Herlianto A, alumni PMII Rayon Al Khindi Unisma 
 
Sumber: tribunnews.com
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk menelusuri sejarah PMII Unisma (Universitas Islam Malang) dengan mewawancarai beberapa IKAPMII pelaku sejarah. Rencananya napak tilas ini akan dibukukan, semoga Tuhan masih memberi kesempatan untuk itu. Dari penelusuran ini ada kesimpulan awal yang saya dapatkan, bahwa rayon adalah tempat ber-PMII sesungguhnya. Di Rayonlah ideal-ideal PMII disampaikan dalam arti yang sebenar-benarnya dan dilaksanakan dalam praktik.

Aggota Rayon adalah orang-orang baru yang world view-nya masih satu warna. Orang yang baru saja mendapatkan cerita-cerita PMII yang historis-herois lewat mapaba atau diskusi-diskusi terbatas. World view ini menjadi kerangka epistemik yang membentuk tindakannya di realitas. Alhasil, tindakan berorganisasinya berkorespondensi dengan konsep-kosep yang didapat di Rayon. Mereka kemudian membentuk PMII ideal dalam arti kesatuan pemahaman (teoritis) dan prilaku organisasi (praksis). Mekanisme organisasi dilakukan dan ditempatkan sebagaimana fungsinya, juag ditemukan di Rayon.

Sisi lain, tak terlalu banyak kepentingan di Rayon. Orang-orang yang masuk di Rayon berangkat dari niat polosnya: ingin belajar berorganisasi dan bukan untuk kepentingan penguasaan tertentu. Mereka ingin mendalami bagaimana menjadi seorang organisatoris dengan bekal dirinya sebagai mahluk sosial (zoonpolitocon)—yang mutlak berelasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Para senior yang datang, baik yang memberi materi atau pendampingan, juga pada taraf ketulusan niatnya yaitu berbagi pengalaman berorganisasi. Di Rayon betul-betul ada take and give yang sesungguhnya dalam berorganisasi antara pendatang baru dan yang sudah lama.

Mulai Hendak Bergeser

Memasuki komisariat praktik-praktik ber-PMII mulai hendak bergeser. Komisariat harus menampung berbagai wakil dari setiap Rayon yang masing-masing memiliki kepentingannya sendiri. Komisariat menjadi rimba pertarungan antar Rayon untuk mengusung satu upaya dominatif atas Rayon lain baik secara struktural maupun kultural. Tentu saja kompetisi macam ini jika dikelola dengan baik akan menjadi satu iklim yang kondusif bagi peningkatan kepasitas berorganisasi, tetapi jika tidak tentulah potensi konflik yang amat besar.

Sejauh ini, dalam pengalaman saya, komisariat cukup berhasil mengelola potensi konflik tersebut sehingga menjadikan perbedaan kepentingan sebagai suatu sinergi yang saling memacu diri. Hal itu karena Komisariat memaksimalkan mekanisme dan aturan-aturan organisasi untuk menetralisir ambisi-ambisi yang membabi buta. Sekalipun konflik mengemuka dengan cepat diatasi, karena memang konflik yang muncul bukan lantaran penyalahgunaan organisasi tetapi akibat persaingan yang ketat di antara pengusung kepentingan itu sendiri.

Di Komisariat masih ditemukan aksi-aksi berdasarkan kajian yang matang. Aksi yang lahir dari nurani atas fakta realitas yang tidak selaras dengan konsepsi ideal yang didapatkan di PMII. Gerakan eksraparlemennya masih kental sikap independen. Komisariat sering maju ke jalan karena murni atas pemahamannya bahwa yang terpinggirkan baik oleh struktur sosial atau struktur kekuasaan layak dibela.

Semakin Bergeser 

Saat memasuki cabang  yang ditampung semakin luas. Warna-warni konsepsinya semakin beragam, kepentingan kian aneh-aneh. Otoritas struktur yang lebih tinggi secara otomatis memiliki massa yang semakin banyak, paling tidak cakupannya se-Kota Malang. Kenyataan ini adalah daya tarik bagi pemilik kepentingan tertentu yang tidak hanya kepentingan internal: antar komisariat dan  kalangan IKAPMII sendiri, tetapi juga eksternal: pemilik ineterest yang bernafsu untuk menggunakan massa yang dimiliki PMII baik untuk tujuan advokasi pun provokasi.

Dalam konteks ini saya lebih nyaman bercerita pengalaman. Suatu hari (kepemimpinan Iden) komisariat Unisma diundang ke Cabang kabarnya untuk persiapan aksi. Saya tertarik untuk menghadiri undangan tersebut sekalipun belum tahu aksi untuk apa dan isu apa. Tiba di lokasi, kajian dibuka dengan isu nasional yaitu soal kebijakan SBY. Menghadirkan kontributor Kompas (Yatimul Ainun) sebagai pembicara yang juga “berdarah kuning”.  Kajian sekitar satu jam, tiba-tiba forum diarahkan untuk setting aksi menolak atas kebijakan nasional SBY.

Saya yang masih tidak menemukan urgensi dalam kajian tersebut apalagi hingga ditindak lanjuti dalam bentuk aski mencoba mencerna. Sejauh ini yang saya pelajari di Rayon, aksi dilakukan sebagai upaya terakhir jika segala upaya mengalami kebuntuan. Aksi bukanlah gerakan jalanan yang dibayar sekardus air minum atau segepuk uang, demikian ajaran di Rayon. Aksi seharusnya dilakukan sedekat mungkin dengan masyarakat yang mengalami penindasan. Dan edukasi—sebagaimana yang lagi-lagi diajarkan pada saya di Rayon—mestinya matang. Perlu waktu berhari-hari dan berkali-kali kajian untuk satu isu penting. Satu jam edukasi dipastikan tidak cukup. Itulah  yang disepakati sahabat-sahabat di Rayon bahwa yang dibangun adalah “aksi massa” bukan “massa aksi” yang tak tahu apa-apa asal ikut-ikutan.

Berbekal apa yang didapat di Rayon, saya mencoba berargumentasi dan memberi challenge argumen saai itu. Karena pada saat yang sama ada ratusan pedagang pasar Dinoyo yang digusur untuk pembangunan mal. Sedehana sekali pertanyaanya, mengapa tidak sebaiknya gerakan PMII cabang diarahkan untuk orang yang sedang mengalami penzaliman dan itu ada “di depan mata” PMII. Pertanyaan ini ditanggapi emosional dan menggebrak lantai. Dan jawaban  terakhirnya aksi ini untuk senior. Meski saya tidak senior yang mana, tetapi saya membuat underline disitu.

Pengalaman selanjutnya, baru-baru ini (April 2016) saya bertemu seorang sahabat dan bercerita soal bursa kader-kader Cabang Malang yang akan dikirim ke Konkoorcab 2016 di Ponorogo. Tetapi rupanya dia dibarisan yang dizalimi secara struktur. Betapa tidak, dengan sewenang-wenang Cabang melakukan penunjukkan pada kader tertentu sementara kader lain juga masih siap bertarung di bursa itu. Padahal sebelumnya sudah melalui mekanisme yang benar yaitu musyawarah mufakat. Ada empat kader sebelumnya, yang dua secara sukarela mengundurkan diri. Tinggal dua orang yaitu A dan B yang masih sama-sama siap maju. Mestinya, kalau situasi seperti ini di Rayon diajari untuk diselesaikan dengan mekanisme konvensi sebagaimana diatur.

Namun, tidak demikian faktanya. Tiba-tiba SMS masuk ke HP B yang bunyinya “atas dasar pemikiran dan kontemplasi matang, dan mengkomparasikan niat dan totalitas. Saya merekom ******* untuk PKC. Mohon maaf dan maklum, harap kerjasamanya.” Artinya kader B secara subjketif dinilai tidak memiliki niat, dan secara subjektif pula kader A yang pantes. Tentu saja penilaian ini kabur dan cenderung melanggar AD/ART, karena pimpinan cabang tidak memiliki kriteria yang terukur untuk menilai kader yang direkomendasikan. Padahal jika dilihat sejarahnya kader B pernah menduduki struktur penting di Cabang. Tak hanya itu kader B juga mengambil peran penting diwilayah pendampingan komisariat-komisariat. Tetapi itulah faktanya.

Tak puas, B sebagai kader yang baik berupaya menemui pimpinan Cabang minta klarifikasi soal SMS sepihak dan mengapa mikanisme konvensi diabaikan. Ternyata jawabannya tak ada bedanya dengan yang saya alami, bahwa ada kekuatan senior yang terus merongrong. Entah apa yang membuat dia lemah, apakah sebelum jadi ketum Cabang pimpinan punya hutang budi pada senior tertentu sehingga dia harus balas budi. Tetapi apapun itu tetap mencederai roh ber-PMII yang ditanamkan sejak di Rayon.

Dari dua kisah inilah saya berefleksi hari ini, yang merupakan hari lahir ke 56 PMII (17 April), bahwa trend PMII saat ini ada ketidak-koherenan antara ajaran di Rayon dan praktik-praktik kotor di tingkat Cabang. PMII ditanamkan dengan baik di Rayon sebagaimana semangat awal orgnisasi kuning ini dibangun dengan susah payah oleh 13 inisiatornya.Tetapi kemudian dirusak sendiri oleh penumpang gelap yang menamakan diri PMII di tingkat Cabang. Mekanisme organisasi diabaikan demi politik praktis yang sama sekali bertentagan dengan semangat ber-PMII.

Maka, saat ini saya tidak menemukan PMII di Cabang. Cabang menjadi kumpulan para pengampu kepentingan yang justru menodai PMII dengan mensimbolisasi PMII. Cabang menjadi ujung tombak dari pemegang tombak yang rakus. Karena itu bagi saya saat ini ber-PMII itu bukan di Cabang tetapi di Rayon.

Jika ber-PMII di Cabang sudah tidak singkrong dengan di-Rayon, bagaimana dengan ber-PMII di Koorcab atau bahkan di PB. Bukan tidak mungkin jika di Cabang hanya “semakin bergeser”, di Koorcab “terus bergeser” maka di PB sudah tidak ditemukan lagi PMII. Bisa jadi PB hanya organisasi menggunakan simbol PMII dan dihuni oleh orang-orang yang haus kekuasaan, dimana PMII sesungguhnya sudah mati. Otoritas PB dijadikan simbol dan digunakan untuk meraup keuntungan pribadi.

Tetapi, semoga ini tidak terjadi. Semoga PB dan PMII secara umum segera berefleksi diri bersama datangnya hari lahir ini. Refleksi diri yang sesungguhnya bukan yang dibuat-buat atau seolah-olah. Sehingga marwah PMII tidak berpaling dari spirit kelahiran PMII itu sendiri. Jika tidak, maka tidak hanya masyarakat luar yang kecewa tetapi kader PMII sendiri akan kecewa.

Salam perjuangan!  

Post a Comment

0 Comments