Soe Hoek Gie, Arwahmu!



Oleh: Herlianto A, alumni Universitas Islam Malang
Sumber: pamflet.or.id
Hari-hari kuliah semakin menjemukan saat itu, ada ketidakpuasan dari apa yang kami bayar pada kampus dan apa yang kami dapat. Hampir setiap dari kami merasa ada ketidak-beresan di jajaran manajemen fakultas. Tak sedikit dosen absen, mengabaikan tanggung jawabnya terhadap mahasiswa. Pelayanan administasi fakultas juga acuh tak acuh. Petugas administrasi selalu pasang muka masam dan galak tak mengenakkan hati yang bayar yang mestinya mendapat layanan baik. 

Kami kemudian mencoba melakukan investigasi kecil di seputar fakultas, sambil lalu menyampaikan kejanggalan itu pada dewan perwakilan mahasiswa dan lembaga gubernuran mahasiswa (BEM Fakultas). Dari investigasi kecil ini ditemukan ternyata pimpinan fakultas pembolos, entah kemana? Kemudian bayaran dosen dan petugas administasi sering nunggak dan sangat kecil, membuat dosen mencari pemasukan di luar dan meninggalkan mahasiswa. Padahal menurut kami bayaran pada kampus cukup besar waktu itu.  

Dari kenyataan “memuakkan” ini kami mendiskusikan dengan kawan-kawan di organisasi, mencari mereka yang juga merasa “terzalimi” dengan keadaan ini dan mengajaknya merapatkan barisan. Dari warung kopi ke warung kopi kami membincangkannya. Di perpustakaan kami membedahnya dan menerawang kemungkinan untuk melawan. 

Dari diskusi emperan itu, kalau tidak salah, kami berlima menemui gubernur mahasiswa menyatakan niat kami untuk melawan. Kami harus turun jalan, membentangkan spanduk, dan berorasi. Itulah satu-satunya cara yang paling mungkin kami lakukan. Alhasil gubernur mahasiswa merespon positif semi emosional, dan menyatakan siap menjadi kordinator lapangan (korlap). 

Dalam situasi semacam itulah saya secara pribadi mula-mula diajak bertatapan dengan Soe Hok Gie melalui film GIE yang disutradarai oleh Riri Reza dan Mira Lesmana. Moh Didit Saleh adalah kawan yang mengajak saya berkenalan dengan Gie lewat film yang tayang tahun 2005. Kami berdua memutar film yang dibintangi oleh Nicholas Saputra itu dikamar Didit, saya memanggilnya, yang sudah sesak dengan tumpukan buku-buku, kertas, dan beberapa copian tulisannya yang dimuat di koran. 

Anak Tabanan Bali ini memang sudah lama mengenal Gie bahkan sejak SMP, ceritanya. Sebelum film itu diputar, kami membuat spanduk pada lembaran karton. Beberapa coretan dispanduk itu di antaranya: “Turunkan Dekan FKIP”, “Kami Muak Dengan Kebohongan”, “Lawan Tirani”. Kami juga membuat selebaran hasil kajian dan investigasi kami tentang siapa yang akan dilawan. Itu semua adalah untuk persiapan aksi yang direncanakan digelar esok hari.

GIE diputar, saya mencoba menyimak dengan sungguh film yang mengambil background syuting tiga tempat utama: Jakarta, Semarang, Jogjakarta, hingga lembah Mandalawangi, tempat favorit Gie sendiri. Saya anak pulau nun jauh, yang baru melihat dunia aktivisme mahasiswa merasa terkesiap. Jiwaku merasa diobok-obok oleh Gie, mentalku seperti dibawa ke pandai besi, dibakar, lalu ditempa. Perasaanku berkecamuk, bulu kuduk merinding mendengar untaian-untaian mulut GIE. 

“Lebih baik terasingkan daripada menyerah pada kemunafikan,” satu kalimat membenam dihati hingga kini. Gie yang melankolis, tak banyak bicara, banyak merenung, dan banyak menulis menjadi semacam image baru bagi saya tentang betapa gerakan mahasiswa masa lalu memiliki arti penting dalam pergolakan politik masa lalu. 

Sementara saat saya menoleh kehidupan mahasiswa di tahun 2009 ini (red: kala itu) bagai plastik dipanasi, mengkerut, mengecil, dan bahkan kerdil. Reformasi membawa kami ke dunia impotensi gerakan, demokrasi yang bersemi justru menumbuk kami dari atas. Selalu muncul alasan untuk membuat kami nyaman berpangku tangan, sembari membayangkan hadirnya ratu adil. 

Kami berdua terdiam menyaksikan adegan-adegan Nicholas Saputra selama 2 jam 45 menit. Saat Soekarno lengser, Gie sebagai man of the action. Hadirlah Orde Baru, kawan-kawan Gie seperti Han memilih masuk partai, dan berebut kursi kekuasaan menginginkan kesejahteraan lewat kursi itu. Gie tidak, dia memilih kembali sebagai koboi Shane sebagaimana yang dia tulis sendiri di Zaman Peralihan

“Yang mengusik” lainnya adalah kisah cinta Gie yang tak pernah bersambut. Seakan hidup idealis ditakdirkan bersemberangan dengan romantisme. Dijauhkan dari hangatnya cinta, dan kasih sayang lawan jenis. Tapi Gie tak pernah mengubah sikap lantaran “cinta rasa tai kucing” itu. Pada bagian ini kawan Didit hampir seperti Gie dalam bercinta. 

Setelah pemutaran film. Kami beranjak ke suatu tempat dimana para massa aksi hadir untuk setting aksi. Dari awal berjalan lancar, beberapa orang ditempatkan sebagai orator, aster, dan tim lobbying, tinggal merencanakan korlap aksi. Tiba-tiba datang dua orang senior yang merupakan oknum dosen. Dua orang ini kemudian mengobok-ngobok rencana perlawanan kami. 

Berbagai argumentasi diajukan mulai dari yang sifatnya damai, dengan mengajak audiensi, hingga ancaman DO (Drop Out) bagi yang nekat turun jalan. Ancaman itu menciutkan nyali kami yang baru semester tiga. Beberapa dari kami terpengaruh dan mengubah pandangan, perlahan mundur dan membatalkan niatnya, hingga pada akhirnya hanya saya dan kawan Didit yang berniat turun jalan. Merasa hanya berdua kamipun memilih membatalkan rencana aksi. Aksi Batal. Kami balik ke kos masing-masing.

Namun, sosok Gie tetap menjadi inspirasi baru dalam hidupku untuk memahami gerakan mahasiswa. Saya hunting buku-buku yang ditulis Gie, saya membaca Di Bawah Lentera Merah yang didapat dari sebuah toko buku di Jogjakarta. Buku ini—diolah dari skripsi Gie—memotret perjumpaan Syarikat Dagang Islam (SDI) dengan cikal bakal PKI—ISDV yang dibawa H. Sneeliet. Zaman Peralihan merupakan kumpulan catatan Gie, dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, catatan tentang orang-orang PKI. Kemudian buku terpenting Gie Catatan Seorang Demonstran (CSD) yang menginspirasi Riri Reza membuat film GIE. 

Di buku inilah dia menumpahkan pemikirannya tidak hanya soal politik, tetapi juga pengkhianatan dan cinta. Dari buku-buku ini saya menangkap banyak soal makna gerakan dan tentang Gie sendiri. Gie sebenarnya anti PKI karenanya dia tidak mau ajakan Han masuk partai berlambang Palu Arit ini. Tetapi dia menjadi orang pertama yang membela saat kader PKI dibantai tanpa pengadilan. 

Dia adalah orang pertama menulis seputar pembantaian orang-orang PKI di Bali. Itulah kemanusiaan Gie, seorang anak Tionghoa yang tak pernah mau mengubah namanya ala Indonesia. Nasionalisme bukan soal nama, nasionalisme adalah kesungguhan bersikap dan berada dibarisan depan jika nilai-nilai kenasionalan dinistakan. 

Saya juga menemukan tulisan-tulisan Gie di buku kompilasi Soe Hoek Gie Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Di buku ini setidaknya ada satu artikel menarik yang ditulis oleh Riri Reza. Riri menceritakan bagaimana proses pembuatan film dari awal perkenalannya dengan Gie. 

Rupanya dia termasuk orang yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan Gie dan tertantang untuk memfilmkan. Sutradara keriting ini membuat skrip selama dua tahun. Sementara proses shooting dilakukan selama 76 hari di 30 lokasi dan menghabiskan 285 roll film serta melibatkan ribuan pemeran figuran. Suatu karya film terbesar pertama yang pernah disutradarai Riri Reza dan Mira Lesmana. 

Selama proses pengambilan gambar, khusus saat adegan pawai PKI, Riri mengatakan bahwa massa meneriakkan Hidup PKI, Hidup Aidit, Bung Karno Bapak Revolusi terus menerus, sekalipun dalam perintah syuting menyatakan cut. Seakan mereka lupa bahwa sebenarnya itu hanya adegan. Ada semacam kerinduan dan kebanggan mereka pada para pejuang-pejuang buruh dan orang-orang desa masa lalu. Disisi birokrasi yang terjadi sebaliknya, saat syuting membutuhkan atribut PKI, harus lapor aparat dan setelah itu segala atribut diserahkan aparat untuk dibakar. Disitu ada PKI phobia yang tak berkesudahan. 

Dari semua ini, buku-buku yang ditulis Gie dan film biorgafinya menunjukkan bahwa arwah Gie, idealisme, dan komitmennya pada kebenaran masih menjadi sesuatu yang penting dan berharga bagi generasai bangsa ini. Di tengah maraknya para mantan aktivis gerakan (1998) yang kini sudah senyum manis di kursi kekuasaan. 

Lihat saja Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, Teten Masduki, Fajroal Rahman yang baru saja dapat bagian dari Jokowi. Akankah mereka ini seperti Han dan kawan-kawan? Jika ia, berarti layak kita kirimi mereka seperangkat kosmetik agar terus berdandan sebagaimana Gie mengkritik rekan-rekannya. Tetapi untuk menyatakan bahwa mereka berbeda dengan Han dan gerombolannya, juga tidak ada bukti yang ditunjukkan mereka. 

Adain Napitupulu juga nyenyak tidur di Parlemen saat sidang, Sudjatmiko juga pelesir keluar negeri menggunakan uang rakyat. Teten Masduki juga tidak jelas fungsi dan kedudukan. Apa yang diperankan Masduki sekarang tidak ditemukan dalam struktur bernegara kita. Perannya lebih sebagai imbalan Jokowi padanya lantaran pernah menjadi tim sukses. Gie, beginilah tragisnya pentas gerakan aktivis di negara ini!   
                

Post a Comment

0 Comments