Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com |
“Jabatan”
mahasiswa sebagai mahluk intelektual, maka secara alamiah tertuntut untuk
melakukan kerja-kerja kritis-edukatif dan kritis-teoritis, selalu mengasah
pengetahuan dan mematangkan kerangka teorinya. Sikap kritis-teoritis saja tidak
cukup hanya hasil copy paste dari
teori kritis yang suda ada tetapi perlu ada pembuktian lebih lanjut mulai dari
penelitian paling sederhana hingga yang paling kompleks.
Sikap
diatas sekali lagi dibakukan menjadi apa yang disebut Tri Dharma Pendidikan Tinggi: education,
research dan dedication. Rumusan ini sungguh ideal untuk dipraktekkan oleh mahasiswa,
dengan pendidikan akan tertata moralnya dan menjadi manusia humanis, penelitian
akan menjawab keraguan-keraguan yang ada, dan dengan dedikasi tercipta semangat
patriotisme, rasa memiliki terhadap masyarakat dan mental bertanggung jawab.
Jika
tiga hal ini mampu diapplikasikan dengan baik, benar dan jujur kemungkinan
besar tidak banyak kebijakan-kebijakan penguasa yang menjerat leher rakyat. Dan
generasi “abu-abu”[1]
yang kita semua maklum dengan prilakunya di senayan akan terpotong, sebagai
gantinya generasi amanah yang cinta negeri akan lahir, namun sebaliknya
celakalah bangsa ini jika generasi yang masih mudah sudah “abu-abu”.
Generasi
“abu-abu” terbina manakala Tri Dharma sebagai senjata Universitas dalam
membebaskan generasi muda justru “dipelintir” oleh kampus yang menginginkan
ketundukan para mahasiswa atas nama moral dan kesopanan dengan mengabaikan
kebenaran. Edukasi direduksi kedalam aktifitas akademis belaka dan seputar
ruang kelas dengan janji nilai.
Bukti
edukasi yang baik bagi kampus adalah nilai yang baik, kehadiran yang 100% dan
dapat selesai kuliah tepat waktu, nurut pada dosen, mendebat dosen berarti
mengurangi nilai diri-sendiri. Penelitian mahasiswa selalu diarahkan dengan
sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan transparansi kampus, misalnya
pengelolaan pendanaan kampus menjadi bagian vital kampus yang sulit ditembus
untuk diteliti dan dibuktikan.
Bisa
dipastikan penelitian yang menyangkut transparansi kampus pasti dicekal,
modusnya biasanya dipersulit diadministrasi atau diberikan data yang tidak
lengkap. Aneh memang, mengapa problem dikampus lebih-lebih yang berkaitan
dengan keuangan menjadi begitu tabu untuk diteliti? Barangkali kampus sudah
menjadi lembaga “abu-abu” juga?
Proposal
penelitian mahasiswa yang mengungkit transparansi kampus akan diarahkan pada
institusi lain, atau ganti judul yang lebih mengarah pada proposal kreatifitas
(PKM: Proposal Kegiatan Mahasiswa) yang didanai dikti dan kemendiknas. Sehingga
kemuliaan dan urgensi research
menjadi tak bernilai pembebasan dan dekat dengan keambiguan bagi mahasiswa.
Ia
lebih kepada sebagai instrument untuk membentuk sebuah paradigma bahwa status quo memiliki fatwa yang tidak
bisa digugat. Bahkan dengan diarahkan pada PKM yang terekam oleh mahasiswa
adalah bahwa penelitian dalam Tri Darma merupakan aktifitas project oriented dan profit oriented yang dibiayai oleh suatu lembaga. Penelitian yang
telah diformulasi ke dalam proyek-proyek money
oriented membuat mahasiswa berlomba-lomba membuat PKM
untuk diusulkan ke dikti atau diknas.
Bahkan
mahasiswa yang sudah menerima beasiswa masih dibebankan membuat proposal PKM.
Program ini banyak diminati karena menyediakan sejumlah rupiah bagi tim
penulisnya. Para dosen pun banyak terlibat dengan mengatasnamakan mahasiswa
atas karyanya dengan syarat bagi hasil jika lolos.
Sementara
Universitas dapat menaikkan citranya, yang kemudian secara berulang-ulang diberitakan
di media bahwa kampus telah berhasil meloloskan beberapa mahasiwanya dipimnas.
Pada tahun berikutnya tidak sungkan lagi menaikkan SPP dan DPP karena kampus
dianggap sudah berprestasi.
Tidak
bisa dinafikan, bahwa kegiatan meneliti butuh dana, tetapi menjadi ironi
kemudian jika motivasi dalam meneliti adalah uang yang disiapkan dikti dan
kemendikbud itu.
Apalagi setelah uang “cair” penelitian tidak terealisasi,
sehingga LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) fiktif, atau terealisasi tapi tidak
maksimal karena dana yang didapat sudah habis untuk kebutuhan pribadi. Ini
sepenuhnya bukan kesalahan mahasiswa tetapi juga kelalaian pengelola pendidikan
yang tidak disertai dengan kontrol yang baik.
Dengan
PKM pengelola pendidikan kita terkesan sebatas menghabiskan anggaran dana yang
ada, bisa saja erat kaitannya dengan pringkat kementrian terkorup kedua setelah
kementrian agama dinegeri ini. Sehingga alibi mahasiswa, dari pada uang rakyat
dikorup oleh yang berkuasa lebih baik diambil sendiri, toh kuliah juga membayar
mahal harus mengeluarkan jutaan rupiah.
Jika
konsep Tri Dharma lahir setelah menyimpulkan peran dan tingkah laku mahasiswa,
lantas bagaimana kini kita memaknai Tri Darma? Dan bagaimana jika senjata
kampus justru dipermainkan? Siapa yang harus turun tangan sebagai “pendekar”?
Sementara negara ini memerlukan suatu bentuk edukasi yang membebaskan untuk
melahirkan kader bangsa yang militan. Jawabnya sederhana, jika kampus tidak
memberikan itu, maka mahasiswa perlu membebaskan diri dan mencarinya.
Bukti
edukasi yang membebaskan bukanlah angka-angka dan huruf-huruf pada selembar
kertas di setiap ujian, juga buka kehadiran yang tidak pernah absen. Yang mana
angka akan berubah dan huruf akan berganti selama mahasiswa secara emosional
punya kedekatan dengan “sang pemberi nilai” (dosen). Edukasi yang membebaskan
adalah membuka tabir yang selama ini memalsukan apa yang diindra oleh
mahasiswa.
Pendidikan
yang membebaskan kata Paulo Freire adalah pendidikan yang tidak menempatkan
murid sebagai objek dan guru sebagai objek, dosen paling bijak dan mahasiswa
bejat, dosen boleh telat mahasiswa harus disiplin. Pendidikan yang hakiki
adalah menghadapkan langsung mahasiswa pada pokok persoalan. Misalnya, bertanya kenapa biaya pendidikan
mahal dan mesti tiap tahun naik secara perlahan, meski harga segelas air minum
tidak naik setiap tahun.
Para
dosen juga mestinya berani menghadirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan
menejemen pendidikan tinggi. Itulah sebetulnya yang diinginkan oleh pendidikan
pembebasan. Jadi mahasiswa yang baik adalah yang tidak pernah sepakat dengan
dosen, dan dosen yang baik adalah dosen yang belajar banyak dari
mahasiswanya.
Masalah
pengabdian pun perlu ditarik satu garis demarkasi yang tegas antara pengabdian
dengan perbudakan atau sebatas suka rela. Antara perploncoan dengan membangun
mental. Mahasiswa perlu mengabdikan diri dan bukan menghambakan diri pada
masyarakat dan “level-level” sosial lainnya. Pengabdian adalah pemberdayaan
untuk melahirkan semua potensi yang dimiliki oleh masyarakat.
Posisi
para pengabdi laksana sang bidan yang melahirkan dan menyelamatkan kelahiran
aspirasi masyarakat, termasuk potensi melawan terhadap apa yang selama ini
menderanya. Dan bukan bak penceramah yang menjustice
prilaku frontal rakyat sebagai bentuk anarkisme dan salah. Pengabdian tidak
harus berupa menyapu halaman masjid, toh kalaupun itu baik, tetapi pengabdian
yang hakiki adalah memberikan alternatif-alternatif bagi rakyat agar secara
bebas menentukan pilihannya.
Bagi
Ahmad Wahib mengabdi adalah menjadikan sikap simpati inherent dalam diri, merasakan keadaan dan menyelami
kehendak-kehendak masyarakat serta mendidik masyarakat berfikir realistis[2]. Dengan
begitu mahasiswa sebagai kelompok yang mempelajari logika melalui pengabdiannya
bersama rakyat dapat menelanjangi slogan-slogan palsu dan mengganti dengan
slogan yang masuk akal dan realistis. Dengan kata lain pengabdi memberi
supervisi dan mengajak secara bersama menyelami dasar realitas yang kini
dikeramatkan kepalsuannya.
Pengabdian
bukan aktifitas semacam KKN (Kuliah Kerja Nyata) yang saat ini dipraktekkan
oleh kampus terhadap mahasiswa. Mereka datang ke desa yang dianggap pedalaman
dan tertinggal atau pinggiran kota. Kemudian mereka terjun kemasyarakat untuk
membersihkan kampung, musholla, sekolah, ngecat rumah penduduk dan paling
mentok ngajar disekolah atau memberikan tausiah dimasjid.
Bagi
penulis jika esensi KKN adalah pengabdian-pengabdian semacam itu, maka program
KKN ini perlu dikritisi untuk dilanjutkan karena tidak memiliki semangat
pembebasan selain sebatas motivasi mengasihani rakyat, dan bukan itu yang
menjadi prasyarat masyarakat maju yang diinginkan rakyat saat ini. Masyarakat
maju adalah terbebas dari ideologisasi dan doktrin simbolis serta mengerti
kondisinya dan tau apa yang harus dilakukan.
Jika
memang KKN adalah pengabdian masyarakat dan bukan KKN “abu-abu” mestinya yang
dilakukan adalah pemberdayaan kemandirian dalam maknanya yang kritis bukan bersih-bersih.
Untuk melakukan bersih-bersih kampung, masyarakat tidak perlu mahasiswa,
mending mahasiswa bersih-bersih kampusnya saja biar tidak dikenai uang
kebersihan.
Ekspektasi
dari masyarakat adalah pendampingan bagi dirinya untuk menunjukkan jalan yang saat
ini tengah ditumpuki duri-duri hegemoni kepentingan kuasa. Masyarakat jemu
dengan drama para wakilnya di senayan. Mereka tidak habis pikir dan ingin
mengerti dengan kongkalikong ekonomi, politik hingga hukum yang tidak pernah
tegak.
Terus
terang masyarakat sudah pesimis dengan gonjang-ganjing abuse of power yang dilakukan wakil-wakil rakyat di senayan,
rakyat dalam kondisi terkhianati dan hilang kepercayaan pada penguasa. Sialnya
lagi mereka tidak punya tempat dimana mereka akan menuntut janji para wakilnya,
tidak ada pendadilan janji. Disinilah salah satu bentuk langkah solutif
mahasiswa diperlukan sebagai suatu pengabdian jika memang mengabdi.
Masyarakat
juga perlu tambahan asupan motivasi dalam bermasyarakat yang damai dan toleran,
saling menghargai satu sama lain dengan segala perbedaan yang ada. Masyarakat yang
siap hidup berdampingan dengan latar belakang etnis dan agama yang berbeda.
Saling menghargai perbedaan sebagai keadaan hakiki dari masyarakat Indonesia sebagaimana
sejarah menuturkan bahwa tapakan sejarah bangsa ini adalah pluralisme jauh hari
sebelum pancasila dinobatkan sebagai pilar bangsa, Nusantara telah berpancasila
dengan perbedaan yang ada.
0 Comments