Ideologi Cinta, Tanpa Hulu dan Hilir


By: Herlianto A
Sumber: fimela.com

Secara universal belum ada dokumen sejarah yang mencatat secara pasti tentang kapan dan di mana benih dan persoalan cinta itu muncul. Tetapi secara partikular  ada yang mencatat bahwa cinta tumbuh ketika sang khalik menciptakan hambanya.

Ketika Adam menginginkan Hawa sebagai pendamping hidupnya. Ketika Qaiz sang penyair dari bani Amir  menumbalkan seluruh hidupnya untuk bidadari surga, si anggun Layla dari kabilah  qathibiyah.Saat Romeo menyandra jiwa raganya sebagai wujud pengabdian cinta kasihnya kepada sang putri jelita Juliet.

Secara definitif tak ada satu kamus pun yang secara paten mampu menerjemah dan menginterpretasikan hakikat CINTA. Cinta menjadi sesuatu yang debatable, kompleks, relatif dan elastis dalam diri pemahaman manusia. Sehingga setiap orang mempunyai definisinya sendiri tentang misteri yang satu ini.

Saya secara pribadi mentashih bahwa cinta sebagai kekuatan terbesar pada manusia yang dengannya manusia mampu hidup, berinteraksi, berjuang dan berkembang biak.

Sementara, ideologi mulai diperbincangkan sejak abad ke 18 di dunia. Secara terminologi berikut beberapa pemikir (filsuf) yang mencoba menafsiri makna ideologi. Pertama,  Destutt de Tracy: Ideologi adalah studi terhadap ide-ide/pemikiran tertentu. Kedua, Rene Descartes: ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia.

Ketiga, Machiavelli: ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Ketiga, Thomas Hobbes: ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya. Keempat, Francis Bacon: Ideologi adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. 

Kelima, Karl Marx: ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Keenam, Napoleon: Ideologi adalah keseluruhan pemikiran politik dari rival-rivalnya.

Secara sederhana  dapat disimpulkan dari makna ideologi di atas adalah pedoman atau sebongkah cahaya dalam hidup yang akan kita gunakan untuk mencapai titik kesejatian diri. Perdebatan ideologi sebenarnya merupakan perdebatan yang alot antara para pemikir (filsuf) Barat maupun Timur, Islam maupun non-Islam untuk merumuskan suatu ideologi ideal di dalam hidup ini.

Namun lagi-lagi ia bukanlah persoalan satu tambah satu sama dengan dua (eksakta), tetapi begitu rigid dan kompleks. Sehingga masing-masing konsep mempunyai kebenaran dan kelemahannya sendiri-sendiri.

Pada tataran itu maka cinta hadir sebagai ideologi yang juga multi tafsir serta membingungkan. Cinta bukanlah suatu fenomena yang dapat dianalisis oleh semua disiplin ilmu. Tak satupun disiplin ilmu mampu mematenkannya. Cinta itu ada dan menjelma dalam bentuk kegelisahan-kegelisahan atau bahkan berupa paranoid.

Ketika  kejahatan dan kemunafikan muncul atas nama cinta dan merongrong kesucian hidup kedalam curam penuh noda. Maka bukanlah cinta yang salah, tetapi keterbatasan dan ketakmampuan manusia dalam menafsiri cinta.

Menariknya, ada sebagian golongan yang mencoba mempersempit cinta kedalam kolong-kolong nafsu birahi. Sehingga ketika cinta diangkat maka yang tampak adalah lawan jenis dan kenikmatan-kenikmatan. Sungguh suatu ketidakbenaran ketika ketakberhinggaan cinta diukur dengan keterbatasan, apalagi keterbatasan duniawiah.

Sang khalik  telah meneteskan secuil cintanya pada semesta dan ditaburkan ke seluruh ummatnya.  Sehingga semesta berputar tanpa henti. Kehidupan bermetamorfosis dari sederhana, menuju biasa dan sempurna. Dari tiada ke menjadi lalu ke ada, begitulah kekekalan cinta. Cinta ada dan tak mungkin tiada.

Lalu di manakah hulu dan hilir cinta itu untuk kemudia aku tapaki dan memburu kesuciannya? Serta di mana cinta harus diposisikan? Ternyata hulu dan hilir cinta tidak berada pada suatu tempat tetapi ia adalah kesadaran (cogito). Panas tak akan jadi panas tatkala kita menyadarinya sebagai es batu.

Dan begitu sebaliknya dingin tak akan menjadi dingin tatkala kita menyadarinya sebagai api. Di situlah kekuatan cinta, maka tidak heran ketika seseorang hanya mampu berjalan 2000 meter, tetapi demi cinta ia mampu berjalan 10.000 meter atau bahkan lebih. Semua akan hilang dan beralih pada satu tujuan yaitu cinta.

Memposisikan cinta bukanlah memposisikan jabatan tertentu, dan tidak pula memposisikan ger-ger mekanik dalam teknik permesinan sehingga mesin dapat berputar dan menghasilkan energi namun tidak  mampu satu posisi menjangkau posisi yang lain. Tetapi cinta harus mengkover  keseluruhan diri manusia dari dalam dan luar agar menghasilkan suatu energi luar biasa dahsyat.

Pembahasan cinta ini tak ada ujung pangkalnya. Terus berubah dan berkembang sebagai mana hidup ini berkembang, dan saya berkeyakinan bahwa cinta menjadi power utama dengan peran utama memberi kekuatan jiwa raga pada manusia. Sehingga di mana kita memposisikan cinta maka ke situlah nurani dan lahiriah kita akan bergerak. Hati-hati dengan CINTA!!

Catatan ini ditulis tahun 2013 silam.


Post a Comment

0 Comments