Oleh: Herlianto
A
Secara konseptual demokrasi sudah muncul sejak 500 tahun
SM di Yunani kuno, tetapi belum terlembagakan. Demokrasi yang dicetuskan oleh
para filsuf pada waktu itu adalah pelibatan masyarakat langsung dalam memutuskan
suatu kebijakan atau dalam istilah modernnya direct democracy.
Semua masyarakat beserta para filsuf berada dalam suatu
tempat berdiskusi hingga mencapai suatu kesepakatan. Diskusi secara deliberatif
ini dapat dilakukan karena memang jumlah penduduk dalam negara kota (polis) hanya 500an orang. Namun sejak
kemunculannya, pola demokrasi menuai kritik dari para filsuf.
Aristoteles dan Plato beranggapan bahwa demokarsi yang
melibatkan seluruh rakyat dalam mencapai suatu keputusan adalah buruk. Kerena
yang paham tentang kebenaran adalah para filsuf bukan rakyat, maka sudah
selayaknya kehidupan dalam masyarakat dipimpin oleh filsuf dan keputusan pun
seharusnya diambil oleh filsuf.
Namun model demokrasi ini menjadi tidak bisa diterapkan
di Indonesia dengan jumlah penduduk yang berjuta-juta dan dengan jarak wilayah
yang begitu berjauhan. Maka sebagai pengejawantahan lain dari demokrasi
adalah indirect democracy. Yaitu melalui wakil-wakil (house of lord) rakyat atau dikenal
dengan DPR. Para wakil rakyat berjuang membawa aspirasi rakyat untuk dijadikan
pertimbangan dalam suatu diskusi merumus aturan bernegara beserta pengawasannya.
Namun dalam perjuangannya untuk mengakarkan demokrasi
(demokrasi perwakilan) di Indonesia menjadi sebuah rute yang kusut dan susah
untuk dipahami. Demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila
adalah beberapa upaya dari percobaan aplikasi demokrasi di Indonesia. Tetapi
sampai saat ini tak ada satu model demokrasi pun yang mampu menjawab
kegelisahan dan penderitaan rakyat secara tepat.
Demokrasi yang ada hanyalah demokrasi prosedural bukan
substansial. Demokrasi bergema berupa keikutsertaan rakyat hanya pada saat
proses pemilu. Setelah pesta rakyat itu berakhir, demokrasi yang terwujud tidak
lebih dari monarki absolut, dan lahirnya para kliptokrasi di DPR.
Beberapa kasus yang mencederai demokrasi seperti pelanggaran
HAM penculikan para aktitivis gerakan, seperti Widji Thukul, Munir dll, belum
tersentuh atau bahkan sengaja dipeti-eskan karena itu menyangkut pengkhianatan
suatu rezim terhadap demokrasi.
Penggulingan Suharto di tahun 1998 yang sekaligus
jadi nafas terakhir bagi Orde Baru dan awal lahirnya era reformasi tidak
semata-mata hasil jerih payah gerakan mahasiswa dan pemuda. Saat itu Suharto
tak lagi mendapat kepercayaan dari negara adikuasa, Amerika, untuk menjadi kaki
tangannya. Hutang negara terlalu banyak terhadap IMF dan World Bank akibat krisis ekonomi yang melanda kawasan benua
Asia dan merambah ke Indonesia.
Akumulasi dari dua kekuatan ini, antara desakan mahasiswa
bersama desakan ekonomi menjadikan Suharto secara hormat menyerahkan tampuk
kepemimpinannya kepada BJ. Habibie yang sebenarnya juga anak emas The Smiling General.
Habibie pun tak bertahan lama karena pemilu 2001 segera
dihelat. PDIP yang dikomandani oleh Megawati Soekarno Putri dengan jargon
partai orang marhaen dan wong cilik
mampu menduduki urutan teratas. Namun Megawati belum beruntung kerena proses
penentuan presiden masih berada di tangan MPR.
Meskipun di pemilihan langsung Megawati unggul, namun
Abdurrahman Wahidlah yang memiliki kesempatan untuk jadi orang nomer satu
di negara ini. Pertimbangan yang mungkin di lakukan oleh MPR hingga keputusan
jatuh pada Gus Dur adalah karena posisinya yang netral terhadap ekstrim kiri
(PDIP) dan ekstrim kanan (Golkar).
Namun Gus Dur pun tak bertahan lama, akibat gesekan
politik yang terlalu panas membuat dirinya harus turun jabatan sebelum masa
jabatan berakhir. Amien Rais menjadi sosok yang paling bertangung jawab.
Di tangan Gus Dur Indonesia mulai menemukan demokrasi
substansialnya. Dia menelanjangi borok-borok demokrasi dengan beberapa
kebijakannya yang dinilai terlalu polos memahami demokrasi oleh para lawan
politiknya. Beberapa menteri dipecat. Dekrit presiden hendak dilakukan melihat
DPR yang tak punya kinerja yang jelas. DPR seperti anak TK, ujar Gus Dur.
Lagi-lagi tindakan ini apes, karena sebelum dekrit itu
keluar. Melalui sidang istimewa MPR yang dimotori oleh Megawati dan Amien Rais
berhasil meng-impeach tokoh NU itu.
Tontonan lepas baju dari Gus Dur menjadi panorama baru di depan istana negara
seakan mengajak bangsa ini untuk berpikir substansial bukan kesing
doang.
Saatnya Megawati mengambil alih tampuk pemerintahan yang
tengah kosong. Di tangan putri proklamator itu kondisi negara pun tak lebih
baik dari sebelumnya. Bencana sosial muncul di berbagai daerah sebagai wujud
ketak puasan rakyat terhadap kepemimpinannya.
Secara teoritis, menurut Samuel P. Huntington dalam
bukunya Gelombang Demokratisasi Ketiga,
bahwa dalam transisi menuju demokrasi setidaknya ditandai oleh dua kali
penyerahan kekuasaan tanpa konflik. Maka suatu negara sudah layak diberi
predikat demokrasi. Di Indonesia tes pertama bisa kita lihat pada pemilu 2001
dan tes kedua pemilu 2004.
Keduanya yang berlangsung tanpa perpecahan. Untuk itu
proses pemerintahan berikutnya di tahun 2009 bukan lagi transisi demokrasi
tetapi konsolidasi demokrasi yaitu penataan pemerintahan dan birokrasinya.
Tetapi apalah arti sebuah status negara demokratis jika
di dalamnya tidak ditemukan keadilan dan kesejahteraan. Justru angkara murka
dan perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara sekalipun mengorbankan
rakyat kecil.
Berbagai kasus negara tidak terselesaikan mulai dari bank
Century, mafia pajak, mafia hukum, mafia anggaran. Penderitaan masyarakat
akibat bencana lumpur Lapindo dan beberapa kasus di kementerian. Ibarat sebuah
pedang hukum tumpul ke atas tapi tajam kebawah. Seakan pengadilan hanya untuk
rakyat kecil yang tak berdosa.
Pertarungan antarr elite
di senayan demi kepentingan pribadinya membuat rakyat muak dengan demokrasi. Demokrasi
yang ada adalah kepentingan negara adikuasa dan para komprador busuk.
Jika demikian, apakah kita perlu kembali pada model pemerintahan kerajaan
yang pernah jaya dulu jamannya Majapahit dulu?
Pertanyaan itu patut digelisahkan mengingat sistem
pemerintahan yang ada terkesan banci alias tanpa kelamin. Lihat saja dua sistem
pemerintahan yang sejatinya bertentangan dianut di Indonesia: antara
parlementer dan presidensil. Memang konstitusi kita mengatakan bahwa Indonesia
adalah presidensil.
Tetapi melihat dominanya peran DPR dan sistem multi
partai dengan model koalisi justru mencirikan sebuah negara parlementer. Di sisi
lain melihat peran presiden sebagai kepala negara merip presidensil. Lalu
dianutnya trias politica ala Montesquieu:
lgislatif, yudikatif dan eksekutif menguatkan sistem presidensil.
Melihat ini, Kacung Marijan menyebut bahwa Indonesia
menganut sistem parlementer quasi presidensil. Suatu sistem yang jarang
ditemukan di negara-negara dunia.
Sedikit dilema memang ketika negara ini dipaksa untuk
menganut presidensil dengan dwi partai sebagaimana Amerika. Indonesia tidak
dibangun diatas pondasi monokultur, tetapi dibangun di atas pluralitas yang melibatkan
berbagai elemen, etnis, agama yang sama-sama memiliki investasi dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Yudi Latif juga membenarkan dalam bukunya Negara Paripurna, bahwa kulturalisme
Indonesia tidak mungkin disederhanakan kedalam dua partai. Menurutnya
sebenarnya Indonesia berhasil meskipun berada dalam keberbedaan tetapi masih
utuh (unity in diverity).
Atau mungkin apapun sistemnya tidak akan mengubah kondisi
bangsa ini. Kerena persoalan dasarnya adalah ekonomi alias kesejahteraan. Model
ekonomi yang dianut di Indonesia cenderung liberal-kapitalis. Merunut teori
determinasinya Karl Marx bahwa ekonomi adalah basis yang kemudian menentukan
supra-struktur.
Kondisi ekonomi akan menentukan politik, sosial, budaya,
pendidikan, seni dan sebagainya. Apalagi Indonesia tengah kronis dengan
penyakit korupsi di mana-mana. Lembaga-lembaga negara saling tuduh korupsi dan
saling menyalahkan tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk itu.
Kapolri tak punya taring, kejaksaan agung ompong dan KPK
sendiri tengan terpepet oleh serangan fajar para koruptor, baik serangan secara
institusional maupun secara pribadi. Alhasil korupsi tetap menjadi wajah sedih
260 juta rakyat Indonesia.
Beginilah rute tak menyenangkan perjalanan demokrasi Indonesia
pasca gerakan 98. Sudah saatnya persoalan bangsa ditangani secara kolektif,
menghilangkan identitas kedirian masing-masing.
0 Comments