Rute Demokrasi Pasca 98


Oleh: Herlianto A
 
Sumber: sosiologis.com


Secara konseptual demokrasi sudah muncul sejak 500 tahun SM di Yunani kuno, tetapi belum terlembagakan. Demokrasi yang dicetuskan oleh para filsuf  pada waktu itu adalah pelibatan masyarakat langsung dalam memutuskan suatu kebijakan atau dalam istilah modernnya direct democracy.

Semua masyarakat beserta para filsuf berada dalam suatu tempat berdiskusi hingga mencapai suatu kesepakatan. Diskusi secara deliberatif ini dapat dilakukan karena memang jumlah penduduk dalam negara kota (polis) hanya 500an orang. Namun sejak kemunculannya, pola demokrasi menuai kritik dari para filsuf.

Aristoteles dan Plato beranggapan bahwa demokarsi yang melibatkan seluruh rakyat dalam mencapai suatu keputusan adalah buruk. Kerena yang paham tentang kebenaran adalah para filsuf bukan rakyat, maka sudah selayaknya kehidupan dalam masyarakat dipimpin oleh filsuf dan keputusan pun seharusnya diambil oleh filsuf.

Namun model demokrasi ini menjadi tidak bisa diterapkan di Indonesia dengan jumlah penduduk yang berjuta-juta dan dengan jarak wilayah yang begitu berjauhan.  Maka sebagai pengejawantahan lain dari demokrasi adalah indirect democracy. Yaitu melalui wakil-wakil (house of lord) rakyat atau dikenal dengan DPR. Para wakil rakyat berjuang membawa aspirasi rakyat untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu diskusi merumus aturan bernegara beserta pengawasannya.

Namun dalam perjuangannya untuk mengakarkan demokrasi (demokrasi perwakilan) di Indonesia menjadi sebuah rute yang kusut dan susah untuk dipahami. Demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila adalah beberapa upaya dari percobaan aplikasi demokrasi di Indonesia. Tetapi sampai saat ini tak ada satu model demokrasi pun yang mampu menjawab kegelisahan dan penderitaan rakyat secara tepat.

Demokrasi yang ada hanyalah demokrasi prosedural bukan substansial. Demokrasi bergema berupa keikutsertaan rakyat hanya pada saat proses pemilu. Setelah pesta rakyat itu berakhir, demokrasi yang terwujud tidak lebih dari monarki absolut, dan lahirnya para kliptokrasi di DPR.

Beberapa kasus yang mencederai demokrasi seperti pelanggaran HAM penculikan para aktitivis gerakan, seperti Widji Thukul, Munir dll, belum tersentuh atau bahkan sengaja dipeti-eskan karena itu menyangkut pengkhianatan suatu rezim terhadap demokrasi.

Penggulingan  Suharto di tahun 1998 yang sekaligus jadi nafas terakhir bagi Orde Baru dan awal lahirnya era reformasi tidak semata-mata hasil jerih payah gerakan mahasiswa dan pemuda. Saat itu Suharto tak lagi mendapat kepercayaan dari negara adikuasa, Amerika, untuk menjadi kaki tangannya. Hutang negara terlalu banyak terhadap IMF dan World Bank akibat krisis ekonomi  yang melanda kawasan benua Asia dan merambah ke Indonesia.

Akumulasi dari dua kekuatan ini, antara desakan mahasiswa bersama desakan ekonomi menjadikan Suharto secara hormat menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada BJ. Habibie yang sebenarnya juga anak emas The Smiling General.

Habibie pun tak bertahan lama karena pemilu 2001 segera dihelat. PDIP yang dikomandani oleh Megawati Soekarno Putri dengan jargon partai orang marhaen dan wong cilik mampu menduduki urutan teratas. Namun Megawati belum beruntung kerena proses penentuan presiden masih berada di tangan MPR.

Meskipun di pemilihan langsung Megawati unggul, namun Abdurrahman Wahidlah yang memiliki kesempatan untuk jadi orang nomer  satu di negara ini. Pertimbangan yang mungkin di lakukan oleh MPR hingga keputusan jatuh pada Gus Dur adalah karena posisinya yang netral terhadap ekstrim kiri (PDIP) dan ekstrim kanan (Golkar).

Namun Gus Dur pun tak bertahan lama, akibat gesekan politik yang terlalu panas membuat dirinya harus turun jabatan sebelum masa jabatan berakhir. Amien Rais menjadi sosok yang paling bertangung jawab.

Di tangan Gus Dur Indonesia mulai menemukan demokrasi substansialnya.  Dia menelanjangi borok-borok demokrasi dengan beberapa kebijakannya yang dinilai terlalu polos memahami demokrasi oleh para lawan politiknya. Beberapa menteri dipecat. Dekrit presiden hendak dilakukan melihat DPR yang tak punya kinerja yang jelas. DPR seperti anak TK, ujar Gus Dur.

Lagi-lagi tindakan ini apes, karena sebelum dekrit itu keluar. Melalui sidang istimewa MPR yang dimotori oleh Megawati dan Amien Rais berhasil meng-impeach tokoh NU itu. Tontonan lepas baju dari Gus Dur menjadi panorama baru di depan istana negara seakan mengajak bangsa ini untuk berpikir substansial bukan kesing doang.

Saatnya Megawati mengambil alih tampuk pemerintahan yang tengah kosong. Di tangan putri proklamator itu kondisi negara pun tak lebih baik dari sebelumnya. Bencana sosial muncul di berbagai daerah sebagai wujud ketak puasan rakyat terhadap kepemimpinannya.

Secara teoritis, menurut Samuel P. Huntington dalam bukunya Gelombang Demokratisasi Ketiga, bahwa dalam transisi menuju demokrasi setidaknya ditandai oleh dua kali penyerahan kekuasaan tanpa konflik. Maka suatu negara sudah layak diberi predikat demokrasi. Di Indonesia tes pertama bisa kita lihat pada pemilu 2001 dan tes kedua pemilu 2004.

Keduanya yang berlangsung tanpa perpecahan. Untuk itu proses pemerintahan berikutnya di tahun 2009 bukan lagi transisi demokrasi tetapi konsolidasi demokrasi yaitu penataan pemerintahan dan birokrasinya.

Tetapi apalah arti sebuah status negara demokratis jika di dalamnya tidak ditemukan keadilan dan kesejahteraan. Justru angkara murka dan perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara sekalipun mengorbankan rakyat kecil.

Berbagai kasus negara tidak terselesaikan mulai dari bank Century, mafia pajak, mafia hukum, mafia anggaran. Penderitaan masyarakat akibat bencana lumpur Lapindo dan beberapa kasus di kementerian. Ibarat sebuah pedang hukum tumpul ke atas tapi tajam kebawah. Seakan pengadilan hanya untuk rakyat kecil yang tak berdosa.

Pertarungan antarr elite di senayan demi kepentingan pribadinya membuat rakyat muak dengan demokrasi. Demokrasi yang ada adalah kepentingan negara adikuasa dan para komprador busuk. Jika  demikian, apakah kita perlu kembali pada model pemerintahan kerajaan yang pernah jaya dulu jamannya Majapahit dulu?

Pertanyaan itu patut digelisahkan mengingat sistem pemerintahan yang ada terkesan banci alias tanpa kelamin. Lihat saja dua sistem pemerintahan yang sejatinya bertentangan dianut di Indonesia: antara parlementer dan presidensil. Memang konstitusi kita mengatakan bahwa Indonesia adalah presidensil.

Tetapi melihat dominanya peran DPR dan sistem multi partai dengan model koalisi justru mencirikan sebuah negara parlementer. Di sisi lain melihat peran presiden sebagai kepala negara merip presidensil. Lalu dianutnya trias politica ala Montesquieu: lgislatif, yudikatif dan eksekutif menguatkan sistem presidensil.

Melihat ini, Kacung Marijan menyebut bahwa Indonesia menganut sistem parlementer quasi presidensil. Suatu sistem yang jarang ditemukan di negara-negara dunia.

Sedikit dilema memang ketika negara ini dipaksa untuk menganut presidensil dengan dwi partai sebagaimana Amerika. Indonesia tidak dibangun diatas pondasi monokultur, tetapi dibangun di atas pluralitas yang melibatkan berbagai elemen, etnis, agama yang sama-sama memiliki investasi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Yudi Latif juga membenarkan dalam bukunya Negara Paripurna, bahwa kulturalisme Indonesia tidak mungkin disederhanakan kedalam dua partai. Menurutnya sebenarnya Indonesia berhasil meskipun berada dalam keberbedaan tetapi masih utuh (unity in diverity).

Atau mungkin apapun sistemnya tidak akan mengubah kondisi bangsa ini. Kerena persoalan dasarnya adalah ekonomi alias kesejahteraan. Model ekonomi yang dianut di Indonesia cenderung liberal-kapitalis. Merunut teori determinasinya Karl Marx bahwa ekonomi adalah basis yang kemudian menentukan supra-struktur.

Kondisi ekonomi akan menentukan politik, sosial, budaya, pendidikan, seni dan sebagainya. Apalagi Indonesia tengah kronis dengan penyakit korupsi di mana-mana. Lembaga-lembaga negara saling tuduh korupsi dan saling menyalahkan tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk itu.

Kapolri tak punya taring, kejaksaan agung ompong dan KPK sendiri tengan terpepet oleh serangan fajar para koruptor, baik serangan secara institusional maupun secara pribadi. Alhasil korupsi tetap menjadi wajah sedih 260 juta rakyat Indonesia.

Beginilah rute tak menyenangkan perjalanan demokrasi Indonesia pasca gerakan 98. Sudah saatnya persoalan bangsa ditangani secara kolektif, menghilangkan identitas kedirian masing-masing.


Post a Comment

0 Comments