Pendidikan Masalembu Tumbuh Namun Tidak Berkembang


Oleh: Herlianto A
Sumber: pnpm-sumenep.blogspot.com

Dalam konteks pertumbuhan pendidikan sebuah apresiasi patut diacungkan pada kepulauan Masalembu. Pulau ini tergolong terpencil yang jauh dari daratan. Lokasinya jika dilihat dari peta kabupaten Sumenep tepat berada di antara Jawa dan Kalimantan.

Jika dilihat dengan skala peta yang lebih besar maka pulau ini akan tidak tampak saking kecilnya. Jumlah penduduknya pun hanya sekitar 25.000 jiwa yang terpetakan kedalam 4 desa: Masaliama, Sukajeruk,  dan 2 desa lainnya berada di pulau Masakambing dan Keramian.

Meski demikian, hampir 90 persen lebih pemuda Masalembu mampu mengenyam pendidikan. Baik ditingkat dasar, menengah pertama, menengah atas ataupun perguruan tinggi. Pertumbuhan yang pesat itu dimulai sejak tahun 2002-2003. Yaitu ditandai dengan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh swata. Misalnya ditingkat SLTA berdirinya SMA YPPM, Aliyah Banu Imam, yang baru-baru ini membuka kuliah cabang Unira pamekasan.

Kemudian SMK Isma’ieli, SMA Islam, Aliyah Assalafiyah. Ditingkat SLTP, berdirinya Madrasah Banu Imam, SMP Islam, SMP Lemba, dan beberapa tingkat dasar lainnya. Selain itu beberapa model sekolah yang sifatnya persamaan pun dihelat, seperti kejar paket A, B, dan C serta KF (keaksaraan fungsional) yang dikhususkan bagi mereka yang buta huruf.

Tetapi, sebagai masyarakat masalembu jangan bangga dulu, karena pertumbuhan itu masih sebatas kuantitas bukan kualitas. Pendidikan masalembu hanya mengalami pertumbuhan tetapi tidak mengalami perkembangan. Pendidikan masih jauh dari target pencapaian dan penciptaan moralitas dan keberadaban masyarakat.

Kondisi moralitas  Masalembu yang sudah ambrol tidak bisa dipungkiri, terutama soal penggunaan obat terlarang, dan politik uang. Nilai-nilai moral sudah terkikis oleh perkembangan zaman yang semakin brutal. Ternyata pertumbuhan pendidikan belum bisa menjawab kegelisahan dan kebiadaban di Masalembu.

Semangat membangun institusi pendidikan tidak didasari pada makna filosofis pendidikan yaitu sebagai pembebasan dan perbaikan peradaban. Tatapi berdirinya lembaga pendidikan masih sebatas kebutuhan bisnis, pemenuhan kebutuhan sehari-hari alias kebutuhan perut dan kerakusan akan  status sosial yang tinggi karena sebagai pemilik lembaga.

Tentu ini menjadi sebuah anomali dan paradoks di tengah-tengah melambungnya pertumbuhan pendidikan sementara moralitas semakin turun ke level terbawah.

Akibat nyata yang ditampilkan dari skenario itu adalah perebutan siswa antar lembaga hingga tak jarang memicu konflik antar lembaga. Saling tak percaya, saling black campaign dan saling tuduh menuduh. Dasar utama dari perebutan ini adalah kaitannya dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang akan diterima sekolah tiap bulannya.

Yang mana besaran dana ini berdasarkan seberapa banyak suatu sekolah memiliki siswa. Artinya semakin banyak siswanya makan semakin banyak BOS yang akan diterima dan begitu sebaliknya. Maka tidak ada modus lain yang bisa dilakukan oleh sekolah selain memperdaya dan merebut siswa demi kelangsungan sekolah dan bisnisnya.

Beberapa penyelenggara pendidikan dari diknas Sumenep pun bermain dalam pengguntingan dana untuk pendidikan di Masalembu. Kasus nyata yang dialami para guru adalah pada saat penerimaan dana Fungsional per-enam bulan sekali.

Dari sekian guru masing-masing sekolah yang dapat dana ini dipotong untuk pengurus diknas di Masalembu. Alasannya adalah sebagai pelicin, karena jika tidak demikian maka suatu sekolah akan selalu menagalami kesulitan dalam administrasinya karena dipersulit.

Dilevel intelektual pun tak ketinggalan menyumbang terhadap runyamnya kondisi pendidikan di pulau mungil ini. Misalnya bergejolaknya ijazah instan, yang kini diminati oleh para intelektual yang belum punya gelar. Ijazah yang hanya didapat dalam jangka waktu dua bulan dengan dana sedemikian rupa alias bisa diatur. Harapannya adalah bisa ikut sertifikasi atau bahkan menjadi pegawai negeri dengan ijazah instannya itu.

Tentu ini adalah pelecehan nyata dalam dunia pendidikan, pendidikan terklupas dari substansinya sebagai penyelamat manusia. Pendidikan berubah menjadi perebutan gelar dan gelanggang bisnis. Tragisnya pelaku dan calo dari mal praktik ini adalah mereka yang notabene tergolong pada orang saleh agamanya dan wawasan intelktualnya tergolong tinggi.

Benar apa yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Bumi Manusia” bahwa semakin tinggi keilmuan seseorang maka semakin rakus merebut makanan orang lain untuk dirinya.

Untuk itu bagi semua pemuda Masalembu agar saling bergandengan tangan menyolidkan pasukan. Satukan suara dan jangan pernah bosan untuk terus mendiagnosis kondisi terkini. Serta mengupayakan diri untuk menjadi dokter-dokter yang siap mentreatment kelainan sosial yang ada di Masalembu. HIDUP MAHASISWA MASALEMBU!!!!!!

“Hasil diskusi mahasiswa kepulauan Masalembu”



Post a Comment

0 Comments