Bila Orang Madura Pertama Kali Ke Jawa


Oleh: Herlianto. A
Sumbe: terjemahan.madura.web.id

Sebagai orang Madura yang baru pertama kali merantau ke pulau Jawa, saya merasakan sesuatu yang terbilang istimewa, kadang lucu, dan aneh. Jika sebelumnya, selama 20 tahun berinteraksi dengan orang sesama budaya dan bahasa, maka kini interaksi menjadi lintas budaya. 

Jawa dan Madura meskipun berdekatan bahkan telah disatukan pulaunya melalui jembatan Suramadu tetapi tetaplah keduanya memiliki budaya dan bahasa yang berbeda. Apalagi saya tinggal di kepulauan yang sangat terpencil, Masalembu. Pulau yang sangat jauh dari Jawa.

Segala hal ikhwal tentang Jawa tidak sampai ke pulau yang hanya dapat ditempuh dengan kapal laut 16 jam perjalanan dari Surabaya ini. Akses informasi sangat terbatas, internet tidak ada, televisi hanya di malam hari saja, sehingga segala hal tentang Jawa yang diingat hanyalah kisah kerajaan: Singosari, Majapahit, Demak, Mataram. 

Itupun berkat guru sejarah sekolah SMA bercerita banyak tentang perang kerajaan Jawa. Namun cerita sejarah ini tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa Jawa, lantaran bahasa pengantarnya bahasa Indonesia yang dicampur dengan Madura baik dalam bentuk code switching maupun code mixing.

Hingga tiba saatnya, Tuhan mengabulkan, saya merantau ke Jawa pada tahun 2009 lalu tepatnya di Pare, Kediri. Setibanya di kampung Inggris ini, sungguh merasa “bodoh” alias tidak mengerti bahasa Jawa sama sekali. Begitu ditanya menggunakan bahasa Jawa saya hanya tersenyum. 

Memang ada tradisi yang cukup berbeda dengan yang ada di Masalembu. Orang menyebutnya saya mengalami culture shock. Apalagi orang-orang Pare konsisten menggunakan bahasa Jawa sekalipun mitra tuturnya menggunakan bahasa nasional Indonesia.

Polisemi, Bikin Malu

Persoalan komunikasi lintas budaya pertama yang saya alami ialah soal polisemi, kata yang memiliki beberapa makna. Suatu sore saya ke warung membeli makan, memesan dalam bahasa Indonesia. Pemiliki warung menjawab: “segone entek mas”. Saya duduk tenang. Dalam bahasa Madura entek itu berarti tunggu. Saya kira sang penjual meminta menunggu. 

Setelah beberapa lama, pemiliki warung kembali menegaskan pernyataannya. Saya mulai bingung dan memasang “wajah datar”. Seketika penjual nasi menebak saya, “mas bukan orang Jawa ya”. Yah,, ketahuan. Rupanya entek dalam bahasa Jawa berarti habis. Dan mestinya saya pulang dari tadi.


Berikutnya, sebulan di Pare, jenggot mulai memanjang. Untuk mengatasi bulu yang satu ini, saya ke toko membeli pemotong jenggot. Orang Madura bilangnya silet. Sayapun mengucapkannya demikian, karena sepertinya dalam bahasa Indonesia juga begitu mengucapkannya. Seketika penjual toko tertawa, dan memastikan saya mau beli apa. 

Saya menjelaskan bahwa ingin membeli alat untuk memotong jenggot dan kumis. Ini yang disebut contextualization cues menurut Gumperz. Pelayan toko sambil tersenyum lalu memberikan alat yang saya maksud. Rupanya dalam bahasa Jawa, silet berarti pantat. Artinya saya baru saja mau membeli pantat. Saya baru paham mengapa  pelayan toko tertawa.

Beberapa hari kemudian, saya diajak temen mengunjungi temannya yang telah berkeluarga di Pare. Dengan penuh semangat kamipun berangkat. Setiba di lokasi, sang teman baru saja memperbaiki pintu lemari yang rusak. Temanku, mendekat dan memberi komentar tentang lemari tersebut. 

Dia bilang “nah areah sudah begus kak, marena langsung kontol,” (ini sudah bagus mas setelah ini langsung dikunci) katanya. Seketika istri temannya tersebut mesam-mesem mendengar kata terakhir. Bagi kami di Madura memperlakukan lemari demikian sudah biasa, tak ada yang aneh.

Ternyata, ada perbedaan pemahaman antara bahasa Madura dan Jawa tentang “kontol”. Bagi orang Madura kontol berarti gembok untuk mengunci pintu termasuk pintu lemari, sementara bagi Jawa kontol adalah alat kemaluan laki-laki. Sebelum mengerti perbedaan makna tersebut kami merasa santai. Begitu sang teman memberi tahu kami, seketika kami tak ingin melihat pada istri sang teman. Ada rasa malu.

Kajian tersebut sangat berkesan di hati kami. Sehingga kami memodifikasi kata tersebut dan menggunakannnya untuk menggoda gadis-gadis Jawa yang sudah akrab. Kami mengatakan “gembok enak” pada gadis tersebut.   

Lalu, sepulang dari bepergin, saya masuk ke kosan tempat saya tinggal. Ibu kos yang berada di ruang depan, tiba-tiba memangil dan menyatakan: “mangan mas” katanya. Saya merasa aneh dengan apa dinyatakan oleh ibu kos. Karena dalam bahasa Madura mangan itu berarti ngeyel. 

Saya bertanya dalam hati siapa yang ngeyel, apakah saya dianggap ngeyel gara-gara seharian pergi dari kos. Ternyata mangan dalam bahasa Jawa berarti makan. Dan Ibu kos menawarkan saya makan, bukan ngejek saya sebagai tukang ngeyel.

Sayangnya saya baru mengerti arti mangan keesokan harinya setelah diberi penjelasan oleh teman. Semalam suntuk saya memikirkan dan menduga-duga apakah ada yang salah dengan tingkahku sehingga ibu kos mengatakan mangan.

Bunyi Vocal Yang Membingungkan

Beberapa bulan di Pare, saya merasa tertantang untuk belajar bahasa Jawa dengan serius, agar tidak terjadi salah paham pada kasus polisemi seperti sebelumnya. Beberapa kosa kata sudah saya kuasai, lebih-lebih kosa kata pisuan dan hal-hal jorok lainnya. Itu yang teman-teman Jawa ajarkan pertama kali. Namun demikian ada bunyi-bunyi vocal bahasa Jawa yang sulit untuk dibedakan, padahal bunyi tersebut penting karena mengubah makna dalam satu kata.

Suatu hari, ibu kos memanggil saya dan bertanya tentang: “mas sopo sing lara (kedengarannya: loro)?” saya mendengar pertanyaan itu tidak langsung menjawab melainkan mencoba berpikir. Sejauh ini kalau ibu kos menyapa, saya cukup menjawab nggeh sambil senyum apapun sapaanya. 

Konon ini sebagai tanda kesopanan (politeness). Namun kali ini berupa pertanyaan langsung, melihat saya kebingunguan ibu kos mengubah pertanyaan ke dalam bahasa Indonesia, “siapa yang sakit mas?” ulangnya. Secepat kilat saya langsung menjawab pertanyaan itu.

Ibu paham kalau saya bukan orang Jawa. Dan saya dapat kosa kata baru yaitu lara (sakit), dan harus dibedakan dengan loro (dua). Dua kata ini memiliki bunyi yang cukup mirip dalam bahasa Jawa. Kegagalan membedakan keduanya berakibat komunikasi tidak lancar.

Dalam suatu obrolan dengan teman-teman orang Jawa, tentu saja di warung kopi. Saya mencoba bercerita dan menggunakan sedikit pengetahuan bahasa Jawa. Teman-teman Jawa menganjurkan demikian. Saya bercerita bahwa ada temanku yang berani dengan hantu-hantu, bukan penakut. Kebetulan ceritanya tentang yang serem-serem. 

Saya menyatakan: “Koncoku itu ora wedhi karo setan”. Orang-orang yang menjadi teman ngobrol pada tertawa karena rupanya saya menyatakan kata yang bermakna pasir (wedhi) padahal saya memaksudkan wedi (takut). Jadi tidak takut bukan tidak pasir. 

Berikutnya saya membuat janji dengan teman Jawa untuk pergi ke toko buku. Kami ingin membeli beberapa buku structure bahasa Inggris. Keesokan harinya saya bertemu dengan teman tersebut lalu saya menanyakan: “piye, seda tuku buku?” tanyaku. Temenku kali ini tidak tertawa tetapi memberikan penjelasan bahwa penggunaan kata yang tepat bukan seda melainkan sido. Karena seda itu berarti mati sementara sido berarti jadi.

Indirectness

Dalam berbahasa, orang Madura dan Jawa sama-sama sering menggunakan pernyataan tidak langsung (indirect) terlebih lagi mengenai hal-hal yang cukup sensitif, misalnya mau pinjem atau minta uang, minta orang untuk segera beranjak pulang. 

Penggunaan indirectness bagi kedua bahasa sama dalam rangka menghaluskan maksud demi menjaga perasaan orang lain. Modelnya biasanya hanya berupa memberikan tanda-tanda yang mengarah, selebihnya biar mitra tutur yang menafsirkan maksudnya.

Sejak Agustus tahun 2018 lalu saya tinggal di Yogyakarta, kota yang dikenal dengan bahasa Jawa standartnya. Ngekos di sekitar UGM, tempat saya belajar. Tiga bulan di situ, ada teman datang mau numpang nginap selama beberapa hari. 

Setelah tiga hari berada di kos, ibu kos menjadi sering naik ke lantai dua dan sering lewat depan kamar tanpa tujuan yang jelas. Padahal sebelum ada teman, dia jarang bahkan tidak pernah ke lantai dua, kecuali nagih uang bulanan.

Kemudian, di hari ke empat, teman saya keluar sendiri untuk membeli sesuatu. Bagitu keluar pintu kamar berpapasan dengan ibu kos, dan terpaksa teman saya menyapa sebagai basa-basi (phatic communication). Setelah menjawab sapaan teman, ibu kos langsung bertanya: “mas koncone mas Herly, ngekos ten pundi sampyan?” pertanyaan ini dengan tone of voice sangat berbeda. 

Tangkapan saya yang turut mendengar percakapan itu, seolah ibu kos menyatakan pada teman bahwa “dirimu kok lama sekali tinggal di sini padahal bukan anak kos sini, dan sebaiknya segera balik ke kosnya sendiri.”

Melalui percakapan tersebut dan peristiwa ibu kos yang mondar-mandir depan kamar, saya menangkap bagian paralinguistik dan prosodic feature yang dinyatakan ibu kos. Dia sepertinya tidak berkenan ada orang numpang di rumahnya. 

Keesokan harinya, teman saya balik ke daerahnya. Seketika itu juga tidak ada lagi ibu kos yang “berpatroli” di depan kamar. Kehidupan kos kembali normal, aman dan nyaman. Itulah model indirectness meminta pulang tamu anak kos ala ibu kos.

Sementara indirectness dalam bahasaMadura terbilang lebih hiperbolik ketimbang di Jawa, orang Madura terbilang cukup berlebihan untuk menyatakan maksud tersiratnya pada mitra tuturnya. Ada peristiwa begini: sebagai anak kos tentulah kiriman sering telat dan kurang. Makan siang dan sarapan seringkali dirapel sekaligus demi menghemat dana. Breakfast or lunch kata sebuah ejekan.

Seorang teman asli Madura, sering telat kirimannya. Kali ini, saya mengajaknya untuk ngopi di salah satu warkop di kawasan Jl. Sorowajan. Begitu tiba di lokasi, kami ambil menu kopi dan sama-sama pesan minum. Setelah selesai, saya bertanya pada dia sebetulnya niatnya basa-basi: “sudah makan?”. Teman ini menjawab tidak langsung tetapi hiperbolik. “Saya sudah dua hari tidak makan,” katanya.

Mendengar jawaban itu saya merasa kurang masuk akal dan iba. Dua hari tidak makan mestinya sudah kelimpungan. Tetapi saya memahami bahwa itu berarti dia benar-benar ingin dibelikan makan, dan bisa jadi sangat lapar. Apapun alasannya teman adalah aset di saat kepepet.

Dari dua peristiwa ini dapat dipahami dua level gradasi indirectness yang berbeda. Pada peristiwa pertama yang dinyatakan oleh ibu kos lebih tidak mendesak. Artinya andaikan maksudnya tidak dituruti masih mungkin walaupun kemudian akan ada aksi-aksi ibu kos yang lain dan bisa jadi lebih direct lagi.

Sementara pada peristiwa kedua yang dinyatakan oleh teman asli Madura, cenderung lebih mendesak permintaannya untuk dipenuhi. Karena tidak makan dua hari itu sesuatu yang sudah kurang sehat secara medis dan segera diatasi agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan bagi tubuhnya. 

Dua pola komunikasi ini lebih mengena jika disebut communicative sytle ala Lakoff (1976). Yaitu mode komunikasi untuk mensiati tujuan yang sebenarnya, cara ini sekaligus sebagai prinsip defence dalam bertutur. 
    
Politeness, Tiga Level Bahasa

Sebetulnya indirectness sudah berkaitan dengan kesopanan (politeness) sebagaimana dinyatakan oleh Brown & Levinson (1978). Tetapi kesopanan kali ini lebih kepada pilihan level bahasanya, yaitu penggunaan bahasa halus dan kasar. 

Baik bahasa Jawa maupun Madura memiliki level bahasa yang mesti dipatuhi oleh penuturnya. Sejauh ini yang dikenal di dalam bahasa Jawa di antaranya ada ngoko, kromo, dan kromo inggil. Sementara dalam bahasa Madura ada tiga juga yaitu: enje’ iyeh, enggi enten, dan enggi bhunten.

Level pertama pada kedua bahasa sama-sama dianggap bahasa yang kasar dan kurang sopan untuk digunakan. Level ini biasanya digunakan oleh masyarakat kelas bawah, kalangan petani, penarik becak, dst. Atau jika digunakan antar masyarakat kelas atas lebih sebagai wujud solidaritas dan persaudaraan. 

Sementara level kedua dianggap madya atau pertengahan. Level ini umumnya digunakan antara masyarakat kelas menengah, namun belakangan level kedua ini pada kedua bahasa jarang digunakan. Pilihannya jadi dua saja level bawah atau atas.

Sementara level ketiga dianggap yang halus dan sopan, kalangan kelas atas menjadi pengguna level ini. Misalnya di lingkungan kerajaan, lingkungan pesantren, atau lingkungan lembaga pemerintahan. Masyarakat kelas bawah kadang menggunakan level ini tetapi untuk berkomunikasi dengan kelas atas, kepada raja, kepada kiayi, guru, dosen, dst. 

Atau digunakan untuk menghormati seseorang, misalnya anak kepada orang tuanya. Hal ini sekaligus sebagai lambang kesopanan bagi kelas bawah pada kelas atas. Sementara bagi kelas atas ini menjadi wujud kekuasaan bagi kelas bawah.

Pada beberapa kasus kadang juga terjadi dimana kelas atas menggunakan bahasa level tiga pada kelas bawah. Namun ini sebagai wujud respek pada mereka bukan wujud kekuasaan. Misalnya, dosen kadang ada juga yang menggunakan level tiga ini pada mahasiswanya, walaupun ini cukup jarang.

Nah, yang mengagetkan tentu saja, ada beberapa bahasa yang dianggap halus dan sopan antara Madura dan Jawa yang sama persis kosa katanya. Misalnya, kata “panjenengan”, “sampeyan”, “dahar”, “kulo”. Pada saat berkomunikasi dengan teman-teman dari Jawa yang mempedulikan level bahasa. Dia memanggil saya “panjenengan” dan mengajak saya untuk “dahar”. 

Saya cukup kaget, dikira teman yang satu ini bisa berbahasa Madura yang level enggi bhunten¸ level halus bahasa Madura. Saat ini level bahasa halus ini kian jarang digunakan oleh anak muda Madura sendiri.

Rupa-rupanya, untuk beberapa kata antara kromo inggil dan enggi bhunten memiliki kesamaan yang sangat persis. Memang Madura dan Jawa cukup berdekatan tidak saja secara geografis tetapi juga secara kultur, dan bahasanyapun merupakan satu kerabat. Kendati begitu pada beberapa kasus mengalami perbedaan yang sangat mencolok.

Demikianlah yang akan terjadi bila orang Madura pertama kali ke Jawa. Perbedaan bahasa dan budaya memungkinkan terjadinya hal-hal aneh, kadang lucu, bahkan mengherankan. Terutama berkenaan dengan bahasa yang digunakan saat berkomunikasi. Peristiwa tersebut menjadi hal menarik di dalam kajian komunikasi lintas budaya.    

Post a Comment

0 Comments