Oleh: Herlianto, Wartawan Jawa Pos Radar Malang, Mahasiswa STF Al Farabi Malang
Perlawanan Kolaboratif
Hari itu (3/4/2012) kami diruang perpustakaan Universitas Islam Malang (Unisma) membaca isu penundaan kenaikan harga BBM hingga 6 bulan kedepan, penundaan itu didasarkan pada penambahan ayat 6A pasal 7 UU APBNP 2012. Yang mana pemerintah diberi kewenangan menaikkan atau menurunkan harga BBM apabila harga minyak internasional mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata 15%. Ayat ini dinilai bertentangan dengan UU Migas no 22 tahun 2001 pasal 28 yang melarang menyerahkan harga BBM pada mikanisme pasar internasional[1]. Oleh karena itu banyak memunculkan penentangan dari masyarakat, para pakar ekonomi dan perminyakan menilai ini tak lebih dari deal-deal politik disenayan.
Bagi Kwik Kian Gie, sebenarnya negara punya cukup persediaan minyak untuk memenuhi kebutuhan minyak, ia menghitung jika minyak (premium) dinaikkan hingga Rp.1.500/liter negara akan untung banyak[2]. Sementara Anggito Abimanyu, pakar ekonomi UGM, punya pandangan yang berbeda justru negara harus menaikkan harga minyak. Ia memprediksi harga minyak internasional akan terus meroket, ditambah lagi konflik negara timur tengah yang berkepanjangan sebagai negara penyuplai minyak terbesar dunia. Jadi penundaan kenaikan harga BBM dianggap sia-sia pada akhirnya akan naik juga.
Dari kubu kontra terhadap kenaikan ada desakan untuk segera menggugat UU APBNP 2012 ke Mahkamah konstitusi (MK). Kenaikan harga BBM bukan barang baru di negara ini, bahkan sudah menjadi langkah “banting setir” negara untuk menyelesaikan krisis dalam negeri. Baik sejak kepemimipnan Sukarno, Suharto, Megawati hingga SBY dan pasti mendapat reaksi penolakan dari rakyat.
Mahasiswa menilai naiknya harga minyak akan menjerat kaum miskin, sebagaimana pengalaman dari dulu kenaikan harga BBM selalu berakibat buruk bagi rakyat, BBM termasuk kebutuhan primer bagi rakyat, efek domino yang timbul jelas akan terasa keseluruh lapisan terbawah negara ini. Semua harga-harga akan naik, baik harga sembako, tarif listrik, tariff angkot dst. Padahal Indonesia termasuk negara kawasan Asia yang mempunyai ladang minyak yang cukup banyak, namun sayang ladang itu masih harus berbagi dengan asing. Dan kita selaku pemilik selalu dapat porsi yang lebih sedikit.
Taklama setelah itu, beberapa mahasiswa berorasi tepat didepan gedung perpustakaan “mengompori” mahasiswa yang lain untuk aksi long march ke sepanjang kampus. Upaya ini dilakukan untuk menunjukkan pada semua mahasiswa bahwa persoalan minyak belum final, drama disenayan terus berlangsung. Sementara semangat mahasiswa terlihat sudah melempem untuk tetap berjuang menghadang kebijakan pemerintah yang tak bijak itu.
Aksi ini dimaksudkan tidak hanya untuk merefresh semangat mahasiswa, tetapi untuk mendorong para pihak berwenang untuk segera dilakuakan judicial review terhadap ayat UU APBNP yang bertentangan tadi. Anehnya, semua mahasiswa yang ada dalam perpus menolak untuk berpartisipasi dan mengatakan “buat apa demo nggak penting”. Tugas dari dosen menumpuk yang harus segera diselasaikan. Mahasiswa demo ujung-ujungnya anarkis, macetkan jalan dan sederet gangguan kenyamanan lainnya.
Mendengar pernyataan ini kami terhentak dan langsung teringat dengan peristiwa 98 yang mana mahasiswa tidak perlu dipaksa diprovokasi langsung turun kejalan menyuarakan aspirasinya, menuntut keadilan dan merebut haknya. Bahkan ada yang datang dari jauh rela berlelah-lelahan untuk ke Jakarta memberi dukungan secara fisik dan moral pada kawan-kawannya yang tengah berjibaku melawan kekerasan rezim Orde baru. Puluhan nyawa melayang dan ratusan badan terluka menjadi tumbal kekejian tentara Suharto, namun tak sedikitpun ada kegundahan untuk melawan kebejatan Orba. Gerakan mahasiswa kala itu terus saja turun jalan meneriakkan aspirasinya, hingga tiba saatnya Suharto turun.
Lantas, benarkah kini demonstrasi sudah tidak penting lagi sebagaimana disampaikan mahasiswa tadi? Aksi jalanan tak lagi punya makna dan kekuatan? Memang pada momen itu masih panas-panasnya demonstrasi menolak rencana kenaikan BBM. Demonstrasi telah dilakuakan sebelum ada keputusan mengubah pasal 6A pasal 7 UU APBNP 2012. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perubahan pasal itu disebabkan oleh demonstrasi yang bergejolak di segala penjuru negeri.
Berbagai agen gerakan di daerah semua turun ke jalan menyampaikan penolakannya. Genderang demonstrasi ditabuh oleh mahasiswa di Kendari Sulawesi pada 5 Maret 2012 yang kemudian diikuti oleh beberapa daerah lain seperti Bandung, Cianjur, Tasik Malaya, Surabaya, Malang, Jember, Lombok, Samarinda, Makassar, Riau dsb. Artinya dalam waktu kurang dari 2 minggu Indonesia di demo oleh mahasiswa[3].
Demonstrasi terus berlanjut hingga pada saat keputusan sidang istimewa MPR dilaksanakan. Demonstran semakin berani dan garang menyandra mobil tanki Pertamina di jalanan. Deru megaphone meraung-raung dipusat-pusat pemerintahan dan kampus. Kemacetan tercipta dengan membakar ban bekas dijalan-jalan protokol, membakar mobil polisi dan menghancurkan pos polisi serta berbagai fasilitas umum seperti rambu-rambu lalu lintas.
Demonstrasi digelar hingga larut malam seperti yang terjadi dikampus Unismuh (Universitas Muhammadiyah) Makassar, Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta dan Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI Jakarta. Puluhan mahasiswa terjebak di dalam kampus setelah terjadi saling lempar dengan polisi dan dibalas dengan tembakan gas air mata dan peluru karet, satu orang dari mahasiswa UKI terkena peluru karet diperut.
Demo krusial dimulai dari tanggal 26-30 Maret 2012. Tontonan dimedia berubah menjadi drama saling pukul antara mahasiswa dan aparat negara yang bersenjata lengkap, jalan-jalan utama mejadi pusat kemacetan, penyanderaan terhadap SPBU. Pemerintah pun seakan phobia dengan aksi mahasiswa dan isu-isu impeachment terhadap presiden yang beredar dikalangan politisi dan rakyat.
Sehingga TNI diminta keluar dari sarangnya mengamankan Istana dan simbol-simbol negara, penjagaan terhadap tempat vital seperi SPBU, Bandara dan Stasiun. Walaupun langkah ini banyak mendapat kritikan karena dianggap bertentangan dengan UU reformasi TNI dan polri. Yang mana persoalan sosial dalam negeri menjadi domain Polri bukan TNI. Apalagi hanya sebatas penyampaian aspirasi oleh rakyat kerena haknya telah dilanggar. Tetapi pemerintah tidak mau dilecehkan dengan dirusaknya simbol-simbol negara yang oleh demonstran.
SBY tidak ingin kejadian 1998 menimpa dirinya pada tahun 2012 ini. Apalagi sudah cukup lama tidak ada demonstrasi besar pasca reformasi. Hermawan Sulistyo[4] mengatakan bahwa demonstrasi 2012 memiliki perbedaan yang sangat mendasar jadi tidak mungkin terjadi penggulingan terhadap SBY. Aksi BBM 2012 memiliki skala massa yang kecil-kecil umumnya puluhan hingga ratusan demonstran itu pun berlangsung tidak lama, sementara pada 1998 mencapai hingga 100.000 massa dan berlangsung hingga sebulan.
Demontrasi 2012 tercecer di daerah-daerah atau merata keseluruh daerah karena daerah-daerah lebih menderita daripada kota-metropolitan, motivasi untuk gelar aksi besar di Jakarta tidak ada. Sementara 1998 demo berlangsung massif di Jakarta dan beberapa kota besar seperti Makassar, Surabaya, yogyakarta. Akibat aksi massa yang tidak massif adalah demonstrasi yang terpotong-potong, hari ini aksi besoknya istirahat dan begitu seterusnya hingga sekitar satu minggu. Demonstran seakan tidak betah berlama-lama dijalan. Kemudian tidak adanya korban (martir) sehingga kemarahan massa cukup terbendung oleh aparat.
Sementara dari segi isu Sulistyo melihat bahwa isunya kurang strategis karena hanya harga BBM yang naik sementara harga pertamax sudah sebagaimana harga pasar. Itu pun masih ada subsidi premium bagi transportasi umum sehingga tidak semua pengguna premium merasa dirugikan. Para kaum buruh juga tidak terlalu antusias untuk demo karena isunya tidak menyangkut persoalan upah, cuti dsb.
Maka setelah kenaikan BBM di tunda nyaris gema demonstrasi menghilang. Namun demikian aksi kali ini cukup anarkis. Dalam jangka 4 hari aksi 26-30 Maret, IPW (Indonesian Police watch) mencatat 16 pos polisi, 4 mobil patroli dan 1 motor dirusak atau dibakar. Sebanyak 523 demonstran dan 210 polisi luka-luka, dan 750 demonstran ditangkap, dan sebagian dilepas setelah diperiksa oleh polisi[5].
Melihat aksi anarkis itu rasa tidak simpati pun bermunculan. Pro dan kontra tentang aksi anarkis muncul dimasyarakat, para akedemisi, para mantan agen gerakan angkatan 66 dan 98 seperti Hariman Siregar, M. Fajroal Rahman dan dikalangan mahasiswa sendiri. Sebagian dari mereka sepakat dengan aksi anarkis sebut saja Hariman Siregar, ia menekankan bahwa perubahan tanpa anarkis itu hampir musthail.
Sejarah dibangsa ini telah membuktikan dari 1945 hingga 1998. Sementara yang lain masih bimbang karena masih terpengaruh oleh wacana demokrasi yang katanya jalan damai. Perbedaan pendapat ini menjalar ke masyarakat. Pro kontra juga terjadi di masyarakat sehingga hampir terjadi konflik horizontal. Pada tanggal 29 Maret 2012 demo di Unismu (Universitas Muhammadiyah) Makassar rakyat pecah, ada yang bergabung dengan polisi menyerang mahasiswa, di sisi lain masyarakat bergabung dengan mahasiswa melawan polisi.
Dikota Malang mahasiswa memiliki setting aksi yang berbeda. PMII memilih anarkis dengan membakar ban di prempatan pusat jalan Semeru, kemudian mahasiswa diserang oleh water canon dan polisi anti huru-hara. Sementara GMNI bersama SMI aksi damai bersama ratusan buruh di depan pemkot Malang setelah PMII pergi. Mereka demo secara bergantian. Hal serupa juga terjadi di beberapa tempat seperti di Sidoarjo, Bandung, Lampung dan Medan.
Dari kronologi singkat di atas, tidak salah jika sebagian atau bahkan mayoritas mahasiswa psimis dan menolak dengan demonstrasi. Bagi mereka ada banyak jalan yang bisa dilakukan untuk menyuarakan aspirasi, misalnya melalui menulis di media atau audiensi dangan pemangku kekuasaan. Alternatif ini membuat mereka enggan berpanas-panasan turun ke jalan. Sekilas tawaran-tawaran itu memang tampak ideal, dan menawarkan sejuta kedamaian.
Persoalannya usulan demikian bukan cuma kali ini diajukan, sejak gerakan 1945 tawaran itu sudah ada, termasuk pada saat Sukarno memutuskan melobi Jepang untuk kemerdekaan Indonesia. Namun yang tidak bisa dipungkiri yaitu keterbatasan media yang dapat menampung setiap karya mahasiswa untuk dipublikasikan, kemampuan dan minat menulis dari kalangan mahasiswa yang sampai saat ini masih menjadi problem serta tidak adanya jaminan bahwa lobi-lobi itu tidak akan melahirkan kongkalikong. Pertimbangan ini menyebabkan tawaran itu sebagai alternatif yang paling lemah.
Dengan demikian, perlawanan melalui media menjadi tawaran yang parsial dan seakan tidak memahami kondisi mahasiswa yang sebenarnya, alternatif itu hanya tepat bagi mereka yang punya skill menulis saja. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan menulis? Apa perlu menunggu latihan menulis dulu sementara kebijakan telah diputuskan? Saya rasa hampir tidak mungkin.
Semata audiensi juga bukan langkah tepat, audiensi adalah solusi yang sangat birokratis yang akan melemahkan nilai kritis mahasiswa akibat lobi-lobi tadi. Apalagi yang terlibat dalam audiensi mereka yang memang diseleksi oleh birokrasi. Wajar jika tawaran Hariman Siregar bersikap tegas bahwa demo anarkislah yang akan di dengar oleh pemerintah, pengalaman Siregar pada Orde baru telah membuktikan itu. Tanpa itu seakan tidak ada tuntutan bagi penguasa untuk segera mengevaluasi dan meluruskan kebijakannya yang anti rakyat.
Maka menjadi pertanyaan bagi mahasiswa yang psimis dengan demonstrasi anarkistis: apakah suara rakyat akan didengar dan mengubah kebijakan kenaikan BBM Jika tidak dengan jalan anarki adakah sejarah mebuktikan itu? Jika dilihat dari sejarah memang perjuangan yang tidak hanya anarki tetapi juga pertumpahan darahlah yang selama ini membuktikan suatu keberhasilan dalam membongkar penguasa yang tiran. Contoh yang bisa kita ambil tidak hanya keruntuhan rezim Orba pada 1998, di negara-negara lain pun juga demikian, misalnya kehancuran rezim Husni Mubarok di Mesir, Ben Ali di Tunisia, Muammar Khadafi di Libya dsb.
Cuma bagaimana jika anarkisme dianggap satu-satunya solusi dalam menyikapi persoalan. Langkah ini juga tidak bisa dibenarkan secara absolute. Penulis kira dari setiap elemen masyarakat sepakat dengan demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM, tetapi masyarakat tidak simpati dengan anarkisme. Jika anarki diyakini sebagai bagian dari tahapan perjuangan, maka persoalan berikutnya adalah bagaimana membedakan anarkisme yang betul-betul keluar dari hati nurani rakyat atau mahasiswa dengan anarkisme pesanan alias bayaran?.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada demonstrasi karena dibayar oleh pemilik kepentingan tertentu, misalnya pengakuan salah satu demonstran di Bandung bahwa ia dibayar Rp 50.000 untuk demo menolak kenaikan BBM[6]. Ini hanya satu dari sekian demonstrasi yang dibayar. Penulis sendiri sering diceritakan oleh para demonstran bayaran, bahwa mereka demo atas kepentingan tertentu. Ini menjadi persoalan yang penting untuk dikaji jika anarkisme sebagai satu-satunya solusi.
Maka, bagi hemat penulis mendukung semua tawaran diatas adalah yang paling mungkin, artinya ketiga langkah: audiensi, menulis dan demonstrasi anarkistis perlu dilakukan. Tetapi anarkistis adalah langkah terakhir setelah melalui tahapan demi tahapan. Ketiga upaya dilakukan untuk melahirkan suatu perlawanan yang massif. Anarkistis tidak perlu ditakuti, karena anarkistis merupakan reaksi dari aksi oleh penguasa yang memang memicu anarkisme.
Jadi, tawaran Hariman Siregar menurut penulis terlalu menutup diri dari media, karena apapun alasannya masyarakat kita sudah mulai pandai membaca dan itu berbeda dengan 1998. Untuk itu, antara demonstrasi anarkis, audiensi, menulis dimedia perlu menjadi sebentuk perjuangan yang bersifat saling melengkapi.
Jadi, hakekat demonstrasi adalah konsekuensi logis dari sebuah negara yang menyatakan diri demokratis, karena disitu kepedulian dan keikutsertaan rakyat dalam memikirkan nasib negara termanifestasikan. Rakyat tidak hanya dipaksa memilih pada saat pemilu tetapi rakyat juga punya kesempatan untuk mengontrol kebijakan pemerintah melalui gerakan ekstra parlementer di jalanan.
Apalagi sampai saat ini negara belum menyediakan mekanisme yang jelas dan paten kemana rakyat menuntut janji-janji para wakil rakyat yang dulu pernah dijanjikan. Itulah yang menjadi salah satu penyebab kenapa para calon penguasa semakin berani berjanji jelang pemilu sementara rakyat semakin tertipu oleh omongan gombalnya.
Sementara hasil akhir dari rencana kenaikan BBM itu menjadi lima kebijakan. Pertama, kendaraan Dinas, BUMN dan BUMD dilarang menggunakan premium bersubsidi. Kedua, peraturan tentang pelarangan menggunakan BBM subsidi bagi kendaraan industr pertambangan dan perkebunan. Ketiga, upaya konversi dari BBM ke BBG.
Keempat, larangan bagi PLN untuk membangun tenaga listrik menggunakan BBM. Kelima, melakukan penghematan. Meski demikian, selama BBM belum diputuskan untuk tidak dinaikkan hasil akhir ini justru sebuah ketidak pastian karena langkah-langkah itu bukan hal baru apalagi tentang penghematan. Jadi kemungkinan untuk dinaikkan sangat terbuka dan sangat mungkin[7].
Hari itu (3/4/2012) kami diruang perpustakaan Universitas Islam Malang (Unisma) membaca isu penundaan kenaikan harga BBM hingga 6 bulan kedepan, penundaan itu didasarkan pada penambahan ayat 6A pasal 7 UU APBNP 2012. Yang mana pemerintah diberi kewenangan menaikkan atau menurunkan harga BBM apabila harga minyak internasional mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata 15%. Ayat ini dinilai bertentangan dengan UU Migas no 22 tahun 2001 pasal 28 yang melarang menyerahkan harga BBM pada mikanisme pasar internasional[1]. Oleh karena itu banyak memunculkan penentangan dari masyarakat, para pakar ekonomi dan perminyakan menilai ini tak lebih dari deal-deal politik disenayan.
Bagi Kwik Kian Gie, sebenarnya negara punya cukup persediaan minyak untuk memenuhi kebutuhan minyak, ia menghitung jika minyak (premium) dinaikkan hingga Rp.1.500/liter negara akan untung banyak[2]. Sementara Anggito Abimanyu, pakar ekonomi UGM, punya pandangan yang berbeda justru negara harus menaikkan harga minyak. Ia memprediksi harga minyak internasional akan terus meroket, ditambah lagi konflik negara timur tengah yang berkepanjangan sebagai negara penyuplai minyak terbesar dunia. Jadi penundaan kenaikan harga BBM dianggap sia-sia pada akhirnya akan naik juga.
Dari kubu kontra terhadap kenaikan ada desakan untuk segera menggugat UU APBNP 2012 ke Mahkamah konstitusi (MK). Kenaikan harga BBM bukan barang baru di negara ini, bahkan sudah menjadi langkah “banting setir” negara untuk menyelesaikan krisis dalam negeri. Baik sejak kepemimipnan Sukarno, Suharto, Megawati hingga SBY dan pasti mendapat reaksi penolakan dari rakyat.
Mahasiswa menilai naiknya harga minyak akan menjerat kaum miskin, sebagaimana pengalaman dari dulu kenaikan harga BBM selalu berakibat buruk bagi rakyat, BBM termasuk kebutuhan primer bagi rakyat, efek domino yang timbul jelas akan terasa keseluruh lapisan terbawah negara ini. Semua harga-harga akan naik, baik harga sembako, tarif listrik, tariff angkot dst. Padahal Indonesia termasuk negara kawasan Asia yang mempunyai ladang minyak yang cukup banyak, namun sayang ladang itu masih harus berbagi dengan asing. Dan kita selaku pemilik selalu dapat porsi yang lebih sedikit.
Taklama setelah itu, beberapa mahasiswa berorasi tepat didepan gedung perpustakaan “mengompori” mahasiswa yang lain untuk aksi long march ke sepanjang kampus. Upaya ini dilakukan untuk menunjukkan pada semua mahasiswa bahwa persoalan minyak belum final, drama disenayan terus berlangsung. Sementara semangat mahasiswa terlihat sudah melempem untuk tetap berjuang menghadang kebijakan pemerintah yang tak bijak itu.
Aksi ini dimaksudkan tidak hanya untuk merefresh semangat mahasiswa, tetapi untuk mendorong para pihak berwenang untuk segera dilakuakan judicial review terhadap ayat UU APBNP yang bertentangan tadi. Anehnya, semua mahasiswa yang ada dalam perpus menolak untuk berpartisipasi dan mengatakan “buat apa demo nggak penting”. Tugas dari dosen menumpuk yang harus segera diselasaikan. Mahasiswa demo ujung-ujungnya anarkis, macetkan jalan dan sederet gangguan kenyamanan lainnya.
Mendengar pernyataan ini kami terhentak dan langsung teringat dengan peristiwa 98 yang mana mahasiswa tidak perlu dipaksa diprovokasi langsung turun kejalan menyuarakan aspirasinya, menuntut keadilan dan merebut haknya. Bahkan ada yang datang dari jauh rela berlelah-lelahan untuk ke Jakarta memberi dukungan secara fisik dan moral pada kawan-kawannya yang tengah berjibaku melawan kekerasan rezim Orde baru. Puluhan nyawa melayang dan ratusan badan terluka menjadi tumbal kekejian tentara Suharto, namun tak sedikitpun ada kegundahan untuk melawan kebejatan Orba. Gerakan mahasiswa kala itu terus saja turun jalan meneriakkan aspirasinya, hingga tiba saatnya Suharto turun.
Lantas, benarkah kini demonstrasi sudah tidak penting lagi sebagaimana disampaikan mahasiswa tadi? Aksi jalanan tak lagi punya makna dan kekuatan? Memang pada momen itu masih panas-panasnya demonstrasi menolak rencana kenaikan BBM. Demonstrasi telah dilakuakan sebelum ada keputusan mengubah pasal 6A pasal 7 UU APBNP 2012. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perubahan pasal itu disebabkan oleh demonstrasi yang bergejolak di segala penjuru negeri.
Berbagai agen gerakan di daerah semua turun ke jalan menyampaikan penolakannya. Genderang demonstrasi ditabuh oleh mahasiswa di Kendari Sulawesi pada 5 Maret 2012 yang kemudian diikuti oleh beberapa daerah lain seperti Bandung, Cianjur, Tasik Malaya, Surabaya, Malang, Jember, Lombok, Samarinda, Makassar, Riau dsb. Artinya dalam waktu kurang dari 2 minggu Indonesia di demo oleh mahasiswa[3].
Demonstrasi terus berlanjut hingga pada saat keputusan sidang istimewa MPR dilaksanakan. Demonstran semakin berani dan garang menyandra mobil tanki Pertamina di jalanan. Deru megaphone meraung-raung dipusat-pusat pemerintahan dan kampus. Kemacetan tercipta dengan membakar ban bekas dijalan-jalan protokol, membakar mobil polisi dan menghancurkan pos polisi serta berbagai fasilitas umum seperti rambu-rambu lalu lintas.
Demonstrasi digelar hingga larut malam seperti yang terjadi dikampus Unismuh (Universitas Muhammadiyah) Makassar, Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta dan Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI Jakarta. Puluhan mahasiswa terjebak di dalam kampus setelah terjadi saling lempar dengan polisi dan dibalas dengan tembakan gas air mata dan peluru karet, satu orang dari mahasiswa UKI terkena peluru karet diperut.
Demo krusial dimulai dari tanggal 26-30 Maret 2012. Tontonan dimedia berubah menjadi drama saling pukul antara mahasiswa dan aparat negara yang bersenjata lengkap, jalan-jalan utama mejadi pusat kemacetan, penyanderaan terhadap SPBU. Pemerintah pun seakan phobia dengan aksi mahasiswa dan isu-isu impeachment terhadap presiden yang beredar dikalangan politisi dan rakyat.
Sehingga TNI diminta keluar dari sarangnya mengamankan Istana dan simbol-simbol negara, penjagaan terhadap tempat vital seperi SPBU, Bandara dan Stasiun. Walaupun langkah ini banyak mendapat kritikan karena dianggap bertentangan dengan UU reformasi TNI dan polri. Yang mana persoalan sosial dalam negeri menjadi domain Polri bukan TNI. Apalagi hanya sebatas penyampaian aspirasi oleh rakyat kerena haknya telah dilanggar. Tetapi pemerintah tidak mau dilecehkan dengan dirusaknya simbol-simbol negara yang oleh demonstran.
SBY tidak ingin kejadian 1998 menimpa dirinya pada tahun 2012 ini. Apalagi sudah cukup lama tidak ada demonstrasi besar pasca reformasi. Hermawan Sulistyo[4] mengatakan bahwa demonstrasi 2012 memiliki perbedaan yang sangat mendasar jadi tidak mungkin terjadi penggulingan terhadap SBY. Aksi BBM 2012 memiliki skala massa yang kecil-kecil umumnya puluhan hingga ratusan demonstran itu pun berlangsung tidak lama, sementara pada 1998 mencapai hingga 100.000 massa dan berlangsung hingga sebulan.
Demontrasi 2012 tercecer di daerah-daerah atau merata keseluruh daerah karena daerah-daerah lebih menderita daripada kota-metropolitan, motivasi untuk gelar aksi besar di Jakarta tidak ada. Sementara 1998 demo berlangsung massif di Jakarta dan beberapa kota besar seperti Makassar, Surabaya, yogyakarta. Akibat aksi massa yang tidak massif adalah demonstrasi yang terpotong-potong, hari ini aksi besoknya istirahat dan begitu seterusnya hingga sekitar satu minggu. Demonstran seakan tidak betah berlama-lama dijalan. Kemudian tidak adanya korban (martir) sehingga kemarahan massa cukup terbendung oleh aparat.
Sementara dari segi isu Sulistyo melihat bahwa isunya kurang strategis karena hanya harga BBM yang naik sementara harga pertamax sudah sebagaimana harga pasar. Itu pun masih ada subsidi premium bagi transportasi umum sehingga tidak semua pengguna premium merasa dirugikan. Para kaum buruh juga tidak terlalu antusias untuk demo karena isunya tidak menyangkut persoalan upah, cuti dsb.
Maka setelah kenaikan BBM di tunda nyaris gema demonstrasi menghilang. Namun demikian aksi kali ini cukup anarkis. Dalam jangka 4 hari aksi 26-30 Maret, IPW (Indonesian Police watch) mencatat 16 pos polisi, 4 mobil patroli dan 1 motor dirusak atau dibakar. Sebanyak 523 demonstran dan 210 polisi luka-luka, dan 750 demonstran ditangkap, dan sebagian dilepas setelah diperiksa oleh polisi[5].
Melihat aksi anarkis itu rasa tidak simpati pun bermunculan. Pro dan kontra tentang aksi anarkis muncul dimasyarakat, para akedemisi, para mantan agen gerakan angkatan 66 dan 98 seperti Hariman Siregar, M. Fajroal Rahman dan dikalangan mahasiswa sendiri. Sebagian dari mereka sepakat dengan aksi anarkis sebut saja Hariman Siregar, ia menekankan bahwa perubahan tanpa anarkis itu hampir musthail.
Sejarah dibangsa ini telah membuktikan dari 1945 hingga 1998. Sementara yang lain masih bimbang karena masih terpengaruh oleh wacana demokrasi yang katanya jalan damai. Perbedaan pendapat ini menjalar ke masyarakat. Pro kontra juga terjadi di masyarakat sehingga hampir terjadi konflik horizontal. Pada tanggal 29 Maret 2012 demo di Unismu (Universitas Muhammadiyah) Makassar rakyat pecah, ada yang bergabung dengan polisi menyerang mahasiswa, di sisi lain masyarakat bergabung dengan mahasiswa melawan polisi.
Dikota Malang mahasiswa memiliki setting aksi yang berbeda. PMII memilih anarkis dengan membakar ban di prempatan pusat jalan Semeru, kemudian mahasiswa diserang oleh water canon dan polisi anti huru-hara. Sementara GMNI bersama SMI aksi damai bersama ratusan buruh di depan pemkot Malang setelah PMII pergi. Mereka demo secara bergantian. Hal serupa juga terjadi di beberapa tempat seperti di Sidoarjo, Bandung, Lampung dan Medan.
Dari kronologi singkat di atas, tidak salah jika sebagian atau bahkan mayoritas mahasiswa psimis dan menolak dengan demonstrasi. Bagi mereka ada banyak jalan yang bisa dilakukan untuk menyuarakan aspirasi, misalnya melalui menulis di media atau audiensi dangan pemangku kekuasaan. Alternatif ini membuat mereka enggan berpanas-panasan turun ke jalan. Sekilas tawaran-tawaran itu memang tampak ideal, dan menawarkan sejuta kedamaian.
Persoalannya usulan demikian bukan cuma kali ini diajukan, sejak gerakan 1945 tawaran itu sudah ada, termasuk pada saat Sukarno memutuskan melobi Jepang untuk kemerdekaan Indonesia. Namun yang tidak bisa dipungkiri yaitu keterbatasan media yang dapat menampung setiap karya mahasiswa untuk dipublikasikan, kemampuan dan minat menulis dari kalangan mahasiswa yang sampai saat ini masih menjadi problem serta tidak adanya jaminan bahwa lobi-lobi itu tidak akan melahirkan kongkalikong. Pertimbangan ini menyebabkan tawaran itu sebagai alternatif yang paling lemah.
Dengan demikian, perlawanan melalui media menjadi tawaran yang parsial dan seakan tidak memahami kondisi mahasiswa yang sebenarnya, alternatif itu hanya tepat bagi mereka yang punya skill menulis saja. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan menulis? Apa perlu menunggu latihan menulis dulu sementara kebijakan telah diputuskan? Saya rasa hampir tidak mungkin.
Semata audiensi juga bukan langkah tepat, audiensi adalah solusi yang sangat birokratis yang akan melemahkan nilai kritis mahasiswa akibat lobi-lobi tadi. Apalagi yang terlibat dalam audiensi mereka yang memang diseleksi oleh birokrasi. Wajar jika tawaran Hariman Siregar bersikap tegas bahwa demo anarkislah yang akan di dengar oleh pemerintah, pengalaman Siregar pada Orde baru telah membuktikan itu. Tanpa itu seakan tidak ada tuntutan bagi penguasa untuk segera mengevaluasi dan meluruskan kebijakannya yang anti rakyat.
Maka menjadi pertanyaan bagi mahasiswa yang psimis dengan demonstrasi anarkistis: apakah suara rakyat akan didengar dan mengubah kebijakan kenaikan BBM Jika tidak dengan jalan anarki adakah sejarah mebuktikan itu? Jika dilihat dari sejarah memang perjuangan yang tidak hanya anarki tetapi juga pertumpahan darahlah yang selama ini membuktikan suatu keberhasilan dalam membongkar penguasa yang tiran. Contoh yang bisa kita ambil tidak hanya keruntuhan rezim Orba pada 1998, di negara-negara lain pun juga demikian, misalnya kehancuran rezim Husni Mubarok di Mesir, Ben Ali di Tunisia, Muammar Khadafi di Libya dsb.
Cuma bagaimana jika anarkisme dianggap satu-satunya solusi dalam menyikapi persoalan. Langkah ini juga tidak bisa dibenarkan secara absolute. Penulis kira dari setiap elemen masyarakat sepakat dengan demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM, tetapi masyarakat tidak simpati dengan anarkisme. Jika anarki diyakini sebagai bagian dari tahapan perjuangan, maka persoalan berikutnya adalah bagaimana membedakan anarkisme yang betul-betul keluar dari hati nurani rakyat atau mahasiswa dengan anarkisme pesanan alias bayaran?.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ada demonstrasi karena dibayar oleh pemilik kepentingan tertentu, misalnya pengakuan salah satu demonstran di Bandung bahwa ia dibayar Rp 50.000 untuk demo menolak kenaikan BBM[6]. Ini hanya satu dari sekian demonstrasi yang dibayar. Penulis sendiri sering diceritakan oleh para demonstran bayaran, bahwa mereka demo atas kepentingan tertentu. Ini menjadi persoalan yang penting untuk dikaji jika anarkisme sebagai satu-satunya solusi.
Maka, bagi hemat penulis mendukung semua tawaran diatas adalah yang paling mungkin, artinya ketiga langkah: audiensi, menulis dan demonstrasi anarkistis perlu dilakukan. Tetapi anarkistis adalah langkah terakhir setelah melalui tahapan demi tahapan. Ketiga upaya dilakukan untuk melahirkan suatu perlawanan yang massif. Anarkistis tidak perlu ditakuti, karena anarkistis merupakan reaksi dari aksi oleh penguasa yang memang memicu anarkisme.
Jadi, tawaran Hariman Siregar menurut penulis terlalu menutup diri dari media, karena apapun alasannya masyarakat kita sudah mulai pandai membaca dan itu berbeda dengan 1998. Untuk itu, antara demonstrasi anarkis, audiensi, menulis dimedia perlu menjadi sebentuk perjuangan yang bersifat saling melengkapi.
Jadi, hakekat demonstrasi adalah konsekuensi logis dari sebuah negara yang menyatakan diri demokratis, karena disitu kepedulian dan keikutsertaan rakyat dalam memikirkan nasib negara termanifestasikan. Rakyat tidak hanya dipaksa memilih pada saat pemilu tetapi rakyat juga punya kesempatan untuk mengontrol kebijakan pemerintah melalui gerakan ekstra parlementer di jalanan.
Apalagi sampai saat ini negara belum menyediakan mekanisme yang jelas dan paten kemana rakyat menuntut janji-janji para wakil rakyat yang dulu pernah dijanjikan. Itulah yang menjadi salah satu penyebab kenapa para calon penguasa semakin berani berjanji jelang pemilu sementara rakyat semakin tertipu oleh omongan gombalnya.
Sementara hasil akhir dari rencana kenaikan BBM itu menjadi lima kebijakan. Pertama, kendaraan Dinas, BUMN dan BUMD dilarang menggunakan premium bersubsidi. Kedua, peraturan tentang pelarangan menggunakan BBM subsidi bagi kendaraan industr pertambangan dan perkebunan. Ketiga, upaya konversi dari BBM ke BBG.
Keempat, larangan bagi PLN untuk membangun tenaga listrik menggunakan BBM. Kelima, melakukan penghematan. Meski demikian, selama BBM belum diputuskan untuk tidak dinaikkan hasil akhir ini justru sebuah ketidak pastian karena langkah-langkah itu bukan hal baru apalagi tentang penghematan. Jadi kemungkinan untuk dinaikkan sangat terbuka dan sangat mungkin[7].
Anarki Agen Perubahan
Unsur terpenting
dari demonstrasi adalah tindakan luar biasa (extra ordinary action) dari mahasiswa dan rakyat yang mengakibatkan
reaksi penting pada tatanan yang telah atau merasa mapan.
Melawan kekuasaan yang tanpa disadari bergeser kearah otoritarianisme, pembunuhan
karakter dan pembredelan terhadap
setiap suara yang lantang membeberkan praktek hegemoninya.
Melalui
kelengkapan alat negara dari yang ideologis (ideological state apparatus) hingga yang represif (Represif state apparatus)
yang dimiliki, rezim menyemai status quonya.
Berbicara Alat negara, Louis Althusser
dalam Tentang
Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (2010) memetakan
masing-masing kedua alat negara tersebut yaitu pendidikan,
agama,
budaya, media sebagai yang ideologis dan aparat atau tentara
dan Polri
sebagai yang represif.
Maka siapa yang mampu memaksimalkan alat itu, akan mampu
bertahan paling lama ditahta kekuasaan dalam suatu negara. Soekarno mampu
secara ideologis tetapi lemah di wilayah represif, akhirnya ia pun terjungkal
oleh ABRI (sekarang TNI). Sementara B.J. Habibi, Megawati Sukarno Putri dan Abdurrahman Wahid (Gusdur) malah tidak
memiliki kedua alat vital itu.
Akhirnya ketiganya tidak “puas” menikmati kursi
empuk kekuasaan. Habibi mengais kekuasaan sisa Suharto selama 1 tahun, Gusdur
yang baru memimpin 2 tahun terjungkal di sidang istimewa MPR oleh tangan-tangan
yang mengaku reformis. Mega pun hanya menjalankan sisa kekuasaan yang kurang
lebih hanya 3 tahun, dan tak bisa melanjutkan kepemimpinannya karena dipaksa
patuh pada hasil pemilu dimana rakyat memilih Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
pada 2004[8].
Berbeda dengan yang satu ini, Suharto mampu memaksimalkan
kedua alat kekuasaan itu baik ideologis maupun alat represif. Untuk
ideologisasi Suharto menciptakan sistem pendidikan yang sentralistik dengan
kurikulum terpusat pada rezim. Buku-buku yang dikeluarkan oleh pemerintah
adalah buku atas nama penguatan kekuasaan Suharto dan antek-anteknya. Media
yang terlihat “over” mengkritisi agenda pembangunan (developmentalism agenda) langsung ditutup, seperti Kompas, Tempo
dan beberapa media mahasiswa yang dicabut surat izinnya dengan
alasan subversif.
Tontonan film Gerakan 30 September penumpasan PKI
(G30/S). Film ini mengagungkan keperkasaan Suharto dalam menumpas PKI walaupun
sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara menjalankan tugas negara
menciptakan keamanan dan egoisme pribadi Suharto dengan kekuasaan. Pemutaran
film ini berbarengan dengan tanggal 30 September setiap tahun. Lucunya. Para
guru disekolah dari tingkat Dasar hingga Tingkat atas mewajibkan siswanya
nonton dan membuat resuman untuk
diserahkan pada guru. Dengan ini Suharto menjadi idola di benak anak sejak
dini.
Di wilayah represif, Suharto sudah tidak diragukan lagi
Jendral-Jendral besar ada dibawah genggamannya, sebut saja
Kemal Idris, Soemetro, Ali Mertopo, A.H. Nasution pun
berhasil dilumpuhkan pengaruhnya oleh Suharto dan di “empit” dibawah ketiak
kekuasaaannya dengan mode dia ditempatkan di legislatif. Melalui alat ini
Suharto mengkerangkeng kebebasan berfikir dan beraspirasi masyarakat
sipil dan intelektual mahasiswa. Penculikan terjadi dimana-mana, Opsus (Operasi
Pasukan Khusus) yang merupakan asisten pribadi (Aspri) Suharto berkeliaran
disela-sela diskusi mahasiswa.
Petrus (penembakan misterius) banyak berhasil
menghilangkan nyawa pembangkan bagi rezim Orba. Dengan demikian maka wajar bila
Suharto mampu mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun. Hal serupa juga banyak
dilakukan oleh pemimipin otoriter dibeberapa negara misalnya Husni Mubarok
(Mesir), Ben Ali (Tunisia), Muammar Khadafi (Libya) yang mampu bertahan dalam
jangka yang lama meskipun akhirnya harus mengakui kekuatan people’s power.
Penguasa yang
mampu memaksimalkan dua alat negara
itu
akan sulit untuk dirobohkan, semua ada dibawah kontrol manipulasi dan
spekulasi. Rakyat dibuat haru oleh kebohongan-kebohongan misinya. Agen
intelektual tidak diberi ruang untuk melakukan langkah ekstra perlementer
mengimbangi kesewenang-wenangan, siapa berani akan di “dooor”.
Maka,
dalam kondisi ini
tanpa bermaksud membenarkan anarkisme sebagai solusi
tunggal
dalam menyikapi kekerasan negara terhadap rakyat, anarki selalu menjadi jawaban
diresponnya sebuah permintaan rakyat. Memang ditinjau dari perspektif manapun
kekerasan (violence) tidak pernah
dibenarkan. Atau bahkan anarki adalah ketidak mampuan untuk bersabar dalam
menyelesaikan persoalan.
Tetapi bagaimana
jika secara empiris, sejarah membuktikan bahwa dari sekian perubahan didapat
melalui perlawanan yang berdarah-darah dan anarkis. Maka kita bisa bertanya mungkinkah kran demokrasi
terbuka tanpa anarki mahasiswa di tahun 1998? Mungkinkah kebebasan beraspirasi
tercapai di Mesir dan Libya tanpa gerakan anarki rakyat melawan Mubarok dan
Khadafi?
Apakah Mahasiswa dan rakyat salah merebut keadilan dengan
anarki jika keadilan tidak pernah diberikan secara damai dan ikhlas? Apakah
harga kenaikan BBM akan ditunda atau bahkan dibatalkan demi kesejahteraan
rakyat jika mahasiswa tidak mengobrak-abrik dijalanan dan gedung-gedung negara?
Maka siapa sebenarnya yang memicu anarki, Mahasiswa, Rakyat atau negara?
Secara
manusiawi, rakyat dan mahasiswa adalah mahluk yang dilengkapi dengan hati
nurani, punya kasih sayang dan cinta kasih yang dasarnya anti anarki. Tetapi
bagaimana jika nurani ini terus dikhianati dan terus “dikecengi” oleh praktek
yang jauh dari keadilan, maka atas nama hati nurani mahasiswa dan rakyat akan
merebut keadilan dan mengembalikan langkah negara pada keikhlasan.
Negara yang Anarki
Memang
perdebatan tentang negara adalah perdebatan yang belum selesai diantara kalangan
filsuf hingga saat ini. Cuma apapun rasionalisasinya, formulasi negara tetap
didasarkan pada mencapai kedamaian hidup dan pemerataan kesejahteraan bagi
rakyat. Meskipun fakta yang terjadi sering menunjukkan sebaliknya, justru
negara yang kerap kali merepresi rakyat sekalipun demokrasi menjadi jargon
sistem negaranya.
Hal itu tidak terlepas dari hakekat negara sebagai mana yang
disampaikan oleh Max Weber bahwa kekuasaan negara berlandaskan pada instrumen
legitimasi sementara wujud dari legitimasi ialah kekerasan, hal serupa didiktumkan
oleh Machiavelli bahwa kuasa negara melalui seorang pemimpin di jaga melalui
intrik-intrik politik, apapun dilakukan sekalipun harus ditangani dengan
kekerasan[9].
Sekalipun Hobbes berkoar-koar bahwa
negara lahir untuk meredam sisi rakus dan buas manusia yang diakibatkan dari
hak bebas manusia sejak lahir. Negara adalah untuk menetralkan perang semua
lawan semua (bellum omnium contra omnes).
Negara menetralisir nafsu (appetite)
akan kekayaan dan kekuasaan dan keengganan (aversions)
untuk hidup sengsara yang mengakibatkan manusia saling serang.
Sejalan dengan
itu J.J. Rousseau menggagas kontrak sosial, melalui perjanjian antar individu
yang kemudian melahirkan aturan-aturan yang disepakati bersama. Sedikit berbeda
dengan itu bagi John Locke mengorasikan adanya kuasa ditangan rakyat. Hal ini
senada dengan demokrasi yaitu government
of the peole, geverment by the people and government for the peple.
Bagi Hegel negara bukanlah alat
sebagai mana ditegaskan oleh Lock dan Hobbes, melainkan negara adalah tujuan
itu sendiri, dengan demikian bukan negara yang mengabdi kepada rakyat, individu
ataupun golongan melainkan sebaliknya. Negara adalah merupakan penjelmaan roh
absolut (Great spirit) sehingga
negara melampaui hak-hak transendental individu[10].
Sementara Marx sangat realistis melihat apa yang dilakukan oleh negara, negara
justru memberi legitimasi terhadap melebarnya perbedaan kelas: Proletar dan
borjuis, yang mana proletar selalu berada pada posisi yang dieksploitasi oleh
borjuis atau istilah Gramsci negara menghegemoni terhadap rakyat. Dengan
demikian negara adalah alat penindas yang dimiliki oleh penguasa. Maka melawan melalui revolusi adalah jalan yang
terbaik bagi Marx.
Bagaimana
esensi negara kita bisa lihat pada saat gejolak Demonstrasi “membludak” oleh
rakyat dan gerakan mahasiswa menyikapi persoalan kenaikan BBM meskipun hanya mengalami
penundaan saja. Setidaknya gerakan mahasiswa mendapat respon meskipun
perjuangan belum selesai. Gerakan ini kalau boleh dipetakan sebagai “angkatan
2012”. Sekilas tampak beberapa perlawanan dari mahasiswa dan rakyat dinilai
kasar. Perlawanan mahasiswa dengan melempar batu dianggap tidak patut,
memacetkan jalan dianggap kurang ajar, memukul
polisi dianggap “tukang becak” yang hanya mengandalkan otot.
Penilaian
ini sungguh tidak adil karena an sich
menempatkan demonstran sebagai provokator, padahal di lapangan aparat juga tak
jarang memprovokasi massa, dengan mencaci dan mencibir demonstran, menendang
hingga memukul. Belum lagi tembakan gas air mata, pentungan, tembakan peluru
karet dsb. Jika perlawanan polisi dengan pentungan, tembakan gas air mata dan
peluru karet masih dianggap tidak anarki, lalu yang anarki bagaimana?.
Dengan demikian
jelas bahwa sebenarnya negaralah yang anarki
dan arogan,
demonstran dengan tangan kosong
dilawan oleh aparat bersenjata lengkap dan merepresi rakyat.
Bahkan pasukan perang pun (TNI) diturunkan untuk mengamankan rakyat. Dengan
demikian negara mengendalikan rakyat secara objektif dan mengesamping penyelasaian
secara moral, yang terpenting adalah bagaimana rakyat takut.
Disini tampak jelas bagaimana negara memulai
sikap anarkinya terhadap rakyat. Padahal mahasiswa dan rakyat
datang untuk menuntut haknya selaku bagian dari negara ini, mereka datang bukan
untuk berperang.
Mahasiswa
dan rakyat bisa damai dengan membuka ruang-ruang dialog. Maka tidak salah jika
mahasiswa dan rakyat melawan anarki negara dan aparat juga dengan anarki,
karena kesombongan itu boleh dilawan dengan kesombongan. Ini
yang disebut oleh Rieke Diah pitaloka kekerasan negara menular kemasyarakat.
Artinya bahwa selama kesombongan penguasa masih ditunjukkan melalui alat
represi negara maka jangan pernah mengharap adanya aksi damai yang dilakukan
oleh rakyat dan mahasiswa. Anarki yang muncul adalah sebagai reaksi otomatis
dari kesengsaraan, penderitaan dan kemuafikan.
Untuk itu
sebagai langkah alternatif, jangan ada lagi
tuduhan anarkis kepada demonstran oleh aparat dan begitu sebaliknya, demonstran
juga menghargai peran dan tugas aparat. Karena aparat dan rakyat adalah sama, mereka juga
terlahir dari rakyat. Dan seharusnya sama-sama memperjuangkan hak rakyat.
Satukan barisan melawan hegemoni, penindasan, ketidak adilan dan
kesewenang-wenangan.
Tawaran menarik disampaikan oleh Hannah Arendt yang
diulas oleh Pitaloka bahwa memandang politik sebagai aktifitas dialog dan
resiproksitas yaitu menggalang partisipasi dari warga melalui penciptaan ruang
publik sebagaimana digagas Oleh Jurgen Habermas untuk kepentingan bersama.
Dengan demikian kekerasan menjadi haram hukumnya dilakukan oleh negara, yang
dibutuhkan oleh negara adalah aksi komunikatif bukan anarki. Kerena komunikasi
adalah esensi dari kekuatan negara yang sebenarnya.
Demo Sebagai Ritual
Keterpurukan gerakan mahasiswa juga dipicu (triggered) oleh kendala dalam mengkaji dan
menemukan penyebab suatu kasus tertentu hingga kabur antara realitas dan fenomena.
Menurut
Gun gun Heryanto[11], gerakana
mahasiswa melemah diakibatkan ketidak mampuannya dalam menghadirkan
musuh bersama (common enemy) seperti
melawan Suharto di zaman Orba dan penggodokan isu yang belum
mendalam
di internal organisasi masing-masing[12].
Isu yang dibawa tak lebih hanya sekedar keterburu-buruan mahasiswa dalam
merespon suatu kebijakan.
Sementara Pahmi
Sy dalam Politik pencitraan
(2010) menjelaskan
bahwa tenggelamnya gerakan mahasiswa pasca reformasi disebabkan oleh
terpaan kondisi eksternal dan internal yang sudah akut. Menguatnya nilai-nilai
global dan kekuasaan negara, sebagai faktor eksternal, yang sudah menguasai
setiap ruang yang ada dimasyarakat dan ruang publik. Akibatnya nilai-nilai
lokal dan local wisdom (kekuatan
lokal) menjadi terpinggirkan.
Tekanan global dan negara
yang telah
mereifikasi diri dan membungkus visi dan misinya menjadi simbol kebaikan
seperti kata Demokrasi dan Reformasi yang kemudian menyebabkan
mahasiswa terlena dan merasa puas sehingga berasumsi bahwa persoalan kehidupan
rakyat telah selesai. Sementara disisi internal, ditunjukkan oleh jaringan
kerja yang lemah dan mampu mengikat
kekuatan-kekuatan baru. Gerakan mahasiswa seakan tak memiliki spirit dan semangat yang progresif
sehingga terpolarisasi
menjadi berbagai gerakan yang bernuansa pragmatisme[13].
Kemampuan
analisis Framming belum sepenuhnya
dimiliki atau dimiliki tetapi tidak difungsikan dengan baik. Maka wajar jika
mereka selalu terjebak pada isu-isu nasional saja atau isu yang lagi nge-hit dimedia massa. Padahal itu tak lebih
dari pengalihan isu penguasa. Sehingga Orasi dijalanan menjadi latihan oral
belaka yang hampir tidak memiliki makna sama sekali, demonstrasi hilang roh
kesakralannya. Demonstrasi menjadi sebatas aktifitas
pelengkap status diri sebagai mahasiswa karena biasanya mahasiswa demo.
Mereka turun
jalan mengecam kapitalisme disatu sisi tetapi disisi lain menjadi pelaksana dan
penikmat kapitalisme. Berdasarkan survey sederhana yang pernah dilakukan
penulis di kota Malang dan Surabaya. Dua tempat ini
dipilih
karena sebagai kota pendidikan terbesar di provinsi
Jawa Timur. Observasi dilakukan di mall
Matos (Malang Town Sequere) dan MOG (Malang Olimpic Garden) untuk wilayah
Malang. Sedangkan di Surabaya di TP (Tunjungan Plaza), PTC (Pakuwon Trade
Center) dan Royal Plaza. Ternyata lebih separuh dari pengguna mall adalah mahasiswa yang notabene
mencaci maki kapitalisme. Belum lagi yang terjadi di minimarket-minimarket
disekitar kampus yang diserbu oleh belanjaan mahasiswa.
Sementara,
penggusuran pasar tradisional yang akan dikonversi menjadi mall hanya dijadikan tontonan bahkan di dukung karena pasar
tradisional dinilai cendrung kumuh, bau tidak sedap dan tidak higinis. Mereka kurang menyadari bagaimana nasib
pedagang kecil bermodal kere di dalamnya, tak ada ruang bagi
mereka
untuk bersaing dengan para komprador dan pemodal besar.
Padahal, mereka
pedagang kecil mengais rejeki penyambung hidup hanya dipasar
tradisional. Lalu
dimana mereka akan memperoleh hak ekonominnya jika pasar tradisional
berubah bangunan gedung-gedung punya investor? Memang alas an yang
banyak didalihkan adalah karena pasar tradisional tidak bersih, bau dsb.
Idealnya, jika pasar tradisional
kumuh, bau dan tidak rapi bukan digusur tetapi direnovasi dan direvitalisasi.
Disini sensitifitas sosial mahasiswa diperlukan. Tetapi mereka
memilih membiarkan pasar tradisional dikonversi ke mall. Ini sama dengan mensupport maraknya kapitalisasi. Beberapa
contoh pasar tradisional yang telah digusur jadi mall misalnya pasar kaputran
di Surabaya dan pasar Dinoyo di kota Malang.
Yang membuat aneh ketika
mereka ditanya tentang kapitalisme, mereka langsung mengecam dengan
lantang “hancurkan kapitalisme”. ini jelas bahwa mahasiswa membenci kata
“Kapitalisme” tetapi memelihara praktek-praktek kapitalisasi atau bahkan tanpa
sadar menjadi dedengkot dari
kapitalisme itu sendiri. Seakan ada ketidak singkronan
antara yang diucapkan dan praktek yang dilakukan.
Demonstrasi
monumental dilakukan untuk menyambut hari-hari khusus, seperti satu tahun
kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Budiono, hari anti korupsi, hari
buruh, hari pangan, hari sumpah pemuda dan segala macam. Dengan grand issue menuntut SBY-Budiono turun jabatan karena dianggap tidak serius ngurus
negara, sementara kapitalisasi dibiarkan mendera rakyat. Maka isu yang ada dibangun diatas pondasi yang
rapuh sehingga terkesan mengada-ada.
Persoalannya, benarkah
SBY-Budiono musuh kita? Apakah ada jaminan jika SBY turun, negeri ini akan
makmur dan kapitalisme akan lenyap? Terus siapa kemudian yang layak mengganti
mereka? Memang SBY-Budiono adalah yang ada dipucuk pimpinan. Tanpa bermaksud
membela SBY, apakah benar mereka harus membela bangsa seorang diri? itu hampir mustahil.
Tentu mereka perlu
didorong kearah yang tepat dalam mengambil kebijakan melalui aksi-aksi
mahasiswa. Karena bagi penulis SBY-Budiono hanyalah daun dari pohon kapitalisme
yang telah mengakar kuat dimasyarakat kita, dan jika hanya daun itu yang
dipangkas maka pasti akan tumbuh daun-daun kapitalisme baru lagi.
Pada konteks ini
mahasiswa menjadi
perlu mempelajari
peristiwa 1998. Keberhasilan waktu itu sebatas menumbangkan Suharto tetapi
tidak berhasil menumbangkan para kapitalis dan neoliberalis yang telah
mengobrak-abrik keadilan dan kemanusiaan hingga saat ini. Maka
menjaga wacana pelengseran tampuk kepemimpinan agar tidak menjadi diktum kosong
dimata masyarakat menjadi sangat penting. Sehingga mahasiswa tidak terlalu
mudah memprovokasi dan terprovokasi, dengan kata lain menjaga kredebilitas
menjadi penting bagi para mahasiswa.
Untuk itu mahasiswa perlu menyiapkan diri secara
ideologis untuk melawan kapitalisme dan neoliberalisme yang terus bereifikasi
dan berkamuflase dalam aktifitas keseharian kita, karena untuk menghancurkan
itu tidak cukup dengan mencacimaki di jalanan. Sehingga demonstrasi tidak hanya
menjadi ritual saja ditiap momen, semacam kewajiban ibadah yang harus segera
ditunaikan.
Maka dengan
demikian, untuk menyikapi itu semua mahasiswa perlu
menciptakan, sebagai mana usul Pierre Bourdieou, habitus baru yaitu collective
intellectual (intelektual kolektif). Untuk menjaga
dan memelihara otonominya dari kecendrungan diri terlibat dalam praktek politik
praktis agar senantiasa dapat mengarahkan gerakannya pada gerakan kritis
terhadap kebijakan yang meminggirkan kaum minoritas[14].
Kita tidak ingin mahasiswa berdemonstrasi kerena kepentingan kuasa tertentu
atau bahkan karena persoalan sentimen politik.
Agent of change, agent of social
control, iron stock dan avant garde
adalah peran yang merupakan tanggung jawab moral
pada
rakyat yang hendaknya dijaga dan diperjuangkan. Bhinneka Tunggal Ika yang digagas oleh Mpu Tantular dalam Kitan Sutasoma masih cukup sakti untuk
dijadikan jargon persatuan gerakan hingga lahir collective movement.
Gramsci sendiri
menyadari bahwa dalam perjuangan kelas, intelektual memiliki peran yang sangat
vital. Intelektual memiliki peran persuasi yang sangat penting lebih-lebih
dalam realisasi mekanisme hegemoninya[15].
Atau Franz Magnis Suseno menyebutnya intelektual berkontribusi besar dalam
melakukan revolusi pasif “perang posisi”.
Hegemoni kultural menjadi prasyarat
utama bagi buruh untuk merebut kekuasaan. Untuk itu menjadi tugas intelektual
organik untuk mencipta sistem nilai alternatif dan mendorong terjadinya
perubahan kesadaran masyarakat sehingga nilai-nilai moral dan kultural kelas
buruh dapat diterima oleh kelas sosial yang lain. Karena tanpa tercipta
kebudayaan baru tak akan ada sistem masyarakat baru. Dengan demikian tidak ada
alasan bagi kaum buruh untuk tidak melahirkan intelektualnya sendiri untuk
mengalahkan kaum borjuis.
Meskipun Gramsci mengatakan bahwa semua orang adalah
intelektual sepanjang memiliki spesifik kegiatan intelektual. Setiap buruh memiliki
pandangan dunianya sendiri-sendiri tentang aktifitasnya, tetapi untuk menyaingi serangan kultural
borjuasi alam pikiran budaya kelas buruh
perlu diungkap dalam bahasa budaya tinggi dan itu bisa dilakukan oleh kaum
intelektual[16].
Dengan
demikian tindakan kolektif menjadi prasyarat utama lahirnya gerakan yang massif
dari mahasiswa. Ego identitas justru akan melahirkan perpecahan di internal
mahasiswa. Mahasiswa tidak perlu anti terhadap anarkisme, namun bukan selalu anarkis. Upaya damai tetap
penting, tetapi jangan karena terkekang oleh kata damai lalu tidak punya aksi
apa-apa. Juga perlu diperhatikan adalah bahwa praktek kapitalisasi terus
berlanjut dengan caranya yang semakin halus. Mari kita manfaatkan semua media
untuk membangun kekuatan bukan justru melemahkan diri.
[2] Tapi
di belakang hari Kwik Kian Gie mendukung kenaikan harga BBM, malah menilai
harga BBM terlalu murah untuk rakyat, ia menegaskan bahwa harga BBM lebih murah
dari sebotol air mineral dan ini harga kurang layak baginya. Perubahan sikap Kwik
Kian Gie membuat sebagian pengamat mencurigai beliau.
[7] Pri Agung Rakhmanto, Dosen Fakultas Teknologi Kebumian
dan Energi Universitas Trisakti, dalam Ketidak
Pastian Kebijakan BBM? Kompas, 14/5/2012.
[9] Rieke Diah Pitaloka. Kekerasan
Negara Menular ke Masyrakat.Yogyakarta: Galang Press.2004,
hal 56.
[10] Kristeva,
Nur Sayyid Santoso. Negara Marxis dan
Revolusi Proletariat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011, hal 303.
[11] Dosen komunikasi politik UIN syarif
Hidayatullah Jakarta
[12] Kompas, 10/4/ 2012: 34.
[13] Pahmi Sy. Politik
Pencitraan. Jakarta: Gaung Persada Press. 2010, hal 214.
[14] Herlianto. Mahasiswa:
Gerakan dan Harapan. Kompas, 21/12/ 2011.
[16] Dalam Dalam Bayang-Bayang
Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka. 2005.,
hal 194.
0 Comments