Soal Demonstrasi, Negara atau Rakyat yang Anarkis?

Oleh: Herlianto
 
Sumber: netralnews.com
Anarki Agen Perubahan

Disukursus yang mengemuka pasca reformasi ini adalah soal demonstrasi yang berujung anarki. Aksi demikian kemudian dinilai destruktif dan miskin pertimbangan, sekalipun cara-cara anarki ini pernah menjadi jalan yang membuat penguasa berfikir keras soal kebijakannya yang anti rakyat. Apapun alasannya sedikit banyak peristiwa Malari 1974 mempengaruhi terhadap kebijakan penanaman modal asing oleh Suharto saat itu. 

Aksi massa penolakan kenaikan BBM yang menyandra beberapa mobil tanki dan membakar sejumlah pos polisi pada April 2012 lalu, membuat kenaikan BBM ditunda serta beberapa aksi yang berujung anarkis lainnya. Menurut saya, sederet aksi anarki itu bukanlah sebab, melainkan akibat dari penguasa yang kerap mengabaikan penderitaan rakyat. Dan ini sudah menjadi watak dari penguasa di bangsa ini yang tidak memberikan respon serius sebelum membawa kekerasan dan korban.         

Saya tentu bukan pendukung fanatik Mikhail Bakunin, tokoh anarkisme[1]. Namun yang terpenting dari demonstrasi adalah tindakan luar biasa (extra ordinary action) dari aksi massa dan rakyat yang mengakibatkan reaksi penting pada tatanan yang telah atau merasa mapan di kursi kekuasaan. Melakukan “antithesis” terhadap kekuasaan yang tanpa disadari telah bergeser kearah otoritarian, melakukan pembunuhan karakter (character assassination), mengabaikan segala aspirasi tanpa dipertimbangkan, dan membungkam setiap suara lantang yang membeberkan praktek hegemoni negara. Maka, dalam kondisi ini kata Widji Tukul tak ada kata yang lebih tepat selain “lawan”.   

Yang saya pahami melalui alat kelengkapannya dari yang ideologis (ideological state apparatus) hingga yang represif (Represif state apparatus), negara atau rezim menyemai status quo-nya dan terus melakukan eksploitasi terhadap kekayaan rakyat. Berbicara alat negara, Louis Althusser dalam Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (2010) memetakan masing-masing kedua alat negara tersebut yaitu pendidikan, agama, budaya, media sebagai yang ideologis dan aparat atau tentara dan Polri sebagai yang represif.

Barang siapa yang mampu memaksimalkan alat-alat itu, akan mampu bertahan paling lama di tahta kekuasaan dalam suatu negara. Soekarno mampu secara ideologis tetapi lemah di wilayah represif, akhirnya dia pun terjungkal oleh kekuatan ABRI (sekarang TNI). Sementara B.J. Habibie,  Megawati Sukarno Putri  dan Abdurrahman Wahid (Gusdur) malah tidak memiliki kedua alat vital tersebut

Alhasil, ketiganya tidak “puas” menikmati kursi empuk kekuasaan. Habibie mengais kekuasaan sisa Suharto selama 1 tahun, Gus Dur yang baru memimpin 2 tahun terjungkal dan mendapat ganjaran impeachment di sidang istimewa MPR oleh tangan-tangan yang mengaku reformis. Megawati pun hanya menjalankan sisa kekuasaan yang kurang lebih hanya 3 tahun pasca lengsernya Gus Dur, dan tak bisa melanjutkan kepemimpinannya karena dipaksa patuh pada hasil pemilu tahun 2004 dimana rakyat memilih Susilo Bambang Yudoyono (SBY)[2].

Berbeda dengan yang satu ini, Suharto mampu memaksimalkan kedua alat kekuasaan itu baik ideologis maupun represif. Untuk ideologisasi Suharto menciptakan sistem pendidikan yang sentralistik dengan kurikulum terpusat pada rezim. Buku-buku yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah buku atas nama penguatan kekuasaan Suharto dan antek-anteknya. 

Organasisasi sosial kemasyarakatan dan komunitas-komunitas intelektual juga disentralistikkan dan dipaksa patuh terhadap asas tunggal Pancasila yang sudah diinterpretasi sedemikian rupa oleh rezim Orde Baru.   Media yang terlihat “over” mengkritisi agenda pembangunan (developmentalism agenda) langsung ditutup, seperti Kompas,Tempo, Suara Pembaruan dan beberapa media mahasiswa lainnya juga dicabut surat izinnya dengan alasan subversif. 

Di wilayah sastra, tontonan film gerakan 30 September berjudul Penumpasan PKI (G30/S). Film ini mengagungkan keperkasaan Suharto dalam menumpas PKI walaupun sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara menjalankan tugas negara menciptakan keamanan dan egoisme pribadi Suharto dengan kekuasaan. Pemutaran film ini berbarengan dengan tanggal 30 September setiap tahunnya. Dan orang-orang PKI distigma sedemikian rupa. Lucunya, para guru disekolah dari tingkat dasar hingga tingkat atas mewajibkan siswanya nonton dan membuat resuman untuk diserahkan pada guru. 

Dengan ini Suharto menjadi idola di benak anak sejak dini. Wijaya Herlambang dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra Film mengupas tuntas bagaimana sastra melalui film dan cerpen digunakan untuk melegitimasi kelanggengan kekuasaan Suharto yang telah berdosa terhadap pembantaian 1965. Herlambang juga mebeberkan bagaimana varian-varian sastra dimanfaat rezim Suharto untuk menciptakan streotype atau stigma buruk, keji dan pemberontak terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga bangsa ini begitu phobia terhadap orang-orang di cap PKI. Sekalipun tidak pernah terbukti adanya.

Di wilayah represif, Suharto sudah tidak diragukan lagi. Jendral-jendral besar ada dibawah genggamannya, sebut saja Kemal Idris, Soemetro, Ali Mertopo, A.H. Nasution pun berhasil dilumpuhkan pengaruhnya oleh Suharto dan di “empit” dibawah ketiak kekuasaannya dengan mode dia ditempatkan di kursi legislatif. Melalui alat ini Suharto mengkerangkeng kebebasan berfikir dan beraspirasi masyarakat sipil dan intelektual. Penculikan terhadap para intelektual terjadi dimana-mana, Opsus (operasi pasukan khusus) yang merupakan asisten pribadi (Aspri) Suharto berkeliaran disela-sela diskusi mahasiswa. 

Petrus (penembakan misterius) banyak berhasil menghilangkan nyawa pembangkan bagi rezim Orba. Hingga saat ini masih sekitar 13 aktifis yang di culik oleh orba belum dikembalikan dan entah dimana rimbanya masih hidup atau mati. Dengan demikia, Suharto mampu mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun. Hal serupa juga banyak dilakukan oleh pemimipin otoriter dibeberapa negara misalnya Husni Mubarok (Mesir), Ben Ali (Tunisia), Muammar Khadafi (Libya) yang mampu bertahan dalam jangka yang lama. Tetapi pada akhirnya harus otoriterisme harus mengakui people’s power yang kadang disebut tindakan anarki.

Penguasa yang mampu memaksimalkan dua alat negara itu akan sulit untuk dirobohkan, semua ada dibawah kontrol manipulasi dan spekulasi. Rakyat dibuat haru oleh kebohongan-kebohongan aksinya. Agen intelektual tidak diberi ruang untuk melakukan langkah ekstra perlementer mengimbangi kesewenang-wenangan, siapa berani akan di “dooor”. Keadaan ini adalah prakondisi yang dijelaskan oleh Proudhon di mana kemudian memicu keinginan untuk hidup tanpa negara dalam bentuknya yang sentralistik. Mari kita renungi catatan Proudhon.

Diperintah berarti pada setiap operasi dan setiap transaksi kita di catat, didaftar, diurutkan, dipajaki, distempel, diukir, dinomori, ditaksir, disahkan, diizinkan, ditegur, dilarang, dirombak dikoreksi, di hukum. Semua itu atas nama keperluan publik, dan atas nama kepentingan umum pula kita ditariki iuran, dilatih, dijatah, dieksploitir, dimonopoli, diperas, ditekan, dibingungkan, dan dirampok. Lalu selanjutkan ketika kita sedikit membangkang, melontarkan pengaduan pertama, kita pun ditindas, didenda, diremehkan, diusik, diburu, disiksa, dipukuli, dilucuti, dicekik, dipenjara, dihakimi, dihukum, ditembak, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati. Dan lebih hebat dari itu, kita di hina, diolok-olok, dijadikan sasaran kemarahan, dipermalukan martabatnya. Itulah pemerintah; itulah keadilan; itulah moralitasnya.[3]

Menurut Sean M Sheehan penggunakan term pasif ini menunjukkan bahwa bagaimana negara menjadi penyebab dari keterpurukan manusia. Negara hadir dan mengejawantahkan dirinya dalam bentuk yang paling perkasa dan memaksa[4]. Maka dalam kondisi ini, anarkisme barangkali sebagai solusi dalam menyikapi kekerasan negara terhadap rakyat. Dan nyatanya anarki kerap menjadi jawaban diresponnya sebuah permintaan rakyat. Sekalipun ditinjau dari perspektif manapun kekerasan (violence) tidak bisa dibenarkan. Bahkan anarki adalah ketidak mampuan untuk bersabar dalam menyelesaikan persoalan. Tetapi inilah perjuangan, tak ada perjuangan tanpa pengorbanan.

Sejarah membuktikan bahwa dari sekian perubahan suatu negara didapat melalui perlawanan anarkis yang berdarah-darah. Maka  kita bisa bertanya mungkinkah kran demokrasi terbuka tanpa anarki rakyat dan mahasiswa tahun 1998? Mungkinkah kebebasan beraspirasi tercapai di Mesir dan Libya tanpa gerakan anarki rakyat melawan Mubarok dan Khadafi? 

Apakah Mahasiswa dan rakyat salah merebut keadilan dengan anarki jika keadilan tidak pernah diberikan secara damai dan ikhlas? Apakah harga kenaikan BBM akan ditunda atau bahkan dibatalkan demi kesejahteraan rakyat jika mahasiswa tidak mengobrak-abrik dijalanan dan gedung-gedung negara? Maka siapa sebenarnya yang memicu anarki, mahasiswa, rakyat atau negara?

Secara manusiawi, rakyat dan mahasiswa adalah mahluk yang dilengkapi dengan hati nurani, punya kasih sayang dan cinta kasih yang dasarnya anti anarki. Tetapi bagaimana jika nurani ini terus dikhianati dan terus “dikecengi” oleh praktek yang jauh dari keadilan. Maka atas nama hati nurani rakyat dan mahasiswa akan merebut keadilan dan mengembalikan langkah negara pada keikhlasan.

Negara yang Anarki

Memang perdebatan tentang negara adalah sesuatu yang belum selesai diantara kalangan filsuf dan kita sendiri. Mulai dari pemikir klasik Yunani kuno hingga pemikir kontemporer masih terus merumuskan bentuk negara ideal. Cuma apapun rasionalisasinya, formulasi negara tetap didasarkan pada upaya mencapai kedamaian hidup dan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat. Meskipun fakta yang terjadi sering menunjukkan sebaliknya, justru negara yang kerap kali merepresi rakyat sekalipun demokrasi menjadi jargon sistem negaranya.

Hal itu tidak terlepas dari hakekat negara sebagai mana yang disampaikan oleh Max Weber bahwa kekuasaan negara berlandaskan pada instrumen legitimasi. Sementara wujud dari legitimasi ialah kekerasan, hal serupa didiktumkan oleh Machiavelli bahwa kuasa negara melalui seorang pemimpin dijaga melalui intrik-intrik politik, apapun dilakukan sekalipun harus ditangani dengan kekerasan[5]. Negara hadir sebagai gembong besar yang kemudian menindas rakyatnya sendiri.

Sekalipun Thomas Hobbes berkoar-koar bahwa negara lahir untuk meredam sisi rakus dan buas manusia yang diakibatkan dari hak bebas manusia sejak lahir. Negara adalah untuk menetralkan perang semua lawan semua (bellum omnium contra omnes). Negara menetralisir nafsu (appetite) akan kekayaan dan kekuasaan dan keengganan (aversions) untuk hidup sengsara yang mengakibatkan manusia saling serang-menyerang satu sama lain. 

Sejalan dengan itu J.J. Rousseau menggagas kontrak sosial, melalui perjanjian antar individu yang kemudian melahirkan aturan-aturan yang disepakati bersama. Dengan begitu manusia bisa kembali pada kehidupan naturalnya yang damai dan tenteram. Sedikit berbeda dengan itu, John Locke mengorasikan adanya kuasa ditangan rakyat. Rakyat berkuasa sepenuhnya yang kemudian dipercaya untuk memilih pemimpin. Hal ini yang kita kenal sekarang demokrasi demokrasi yaitu government of the peole, geverment by the people and government for the peple.

Bagi Hegel negara bukanlah alat sebagai mana ditegaskan oleh Lock dan Hobbes, melainkan negara adalah tujuan itu sendiri, dengan demikian bukan negara yang mengabdi kepada rakyat, individu ataupun golongan, melainkan sebaliknya manusialah yang mesti tunduk patuh terhadap negara. Baginya negara merupakan penjelmaan roh absolut (great spirit) sehingga negara melampaui hak-hak transendental individu itu sendiri[6]. Sementara Karl Marx, berpegang pada asa materialismenya, melihat apa yang dilakukan oleh negara. 

Menurutnya, negara justru memberi legitimasi terhadap melebarnya perbedaan kelas: antara orang merdeka dengan budak, patrisir dan plebejer, tuan dan hambanya, penindas dan tertindas atau proletar dan borjuis, yang mana proletar selalu berada pada posisi yang dieksploitasi oleh borjuis atau istilah Gramsci negara menghegemoni terhadap rakyat[7]. Dengan demikian negara adalah alat penindas yang dimiliki oleh penguasa. Maka melawan melalui revolusi adalah jalan yang terbaik bagi Marx.

Bagaimana sebenarnya negara bisa dilihat pada saat gejolak demonstrasi “membludak” oleh rakyat dan gerakan mahasiswa saat menyikapi kebijakan yang anti rakyat yaitu kenaikan BBM pada tahun 2012 lalu. Berbagai agen gerakan di daerah semua turun ke jalan menyampaikan penolakannya. Genderang demonstrasi ditabuh oleh mahasiswa di Kendari Sulawesi pada 5 Maret 2012 yang kemudian diikuti oleh beberapa daerah lain seperti Bandung, Cianjur, Tasik Malaya, Surabaya, Malang, Jember, Lombok, Samarinda, Makassar, Riau dsb. Artinya dalam waktu kurang dari 2 minggu Indonesia di demo oleh mahasiswa[8].

Demonstrasi terus berlanjut hingga pada saat keputusan sidang istimewa MPR dilaksanakan yang kemudian menunda kenaikan BBM. Demonstran semakin berani dan garang menyandra mobil tanki Pertamina di jalanan. Deru  megaphone meraung-raung dipusat-pusat pemerintahan dan kampus. Kemacetan tercipta dengan membakar ban bekas dijalan-jalan protokol, membakar mobil polisi dan menghancurkan pos polisi serta berbagai fasilitas umum seperti rambu-rambu lalu lintas. 

Demonstrasi digelar hingga larut malam seperti yang terjadi dikampus Unismuh (Universitas Muhammadiyah) Makassar, Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta dan Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI Jakarta. Puluhan mahasiswa terjebak di dalam kampus setelah terjadi saling lempar batu dengan polisi dan dibalas dengan tembakan gas air mata dan peluru karet, satu orang dari mahasiswa UKI terkena peluru karet diperut.

Demo krusial dimulai dari tanggal 26-30 Maret 2012. Tontonan dimedia berubah menjadi drama saling pukul antara mahasiswa dan aparat negara yang bersenjata lengkap, jalan-jalan utama mejadi pusat kemacetan, penyanderaan terhadap SPBU. Pemerintah pun seakan phobia dengan aksi mahasiswa dan isu-isu impeachment yang menyeruak terhadap presiden SBY beredar dikalangan politisi dan rakyat. TNI diminta keluar dari sarangnya mengamankan istana dan simbol-simbol negara, penjagaan terhadap tempat vital seperi SPBU, bandara dan stasiun kereta api

Walaupun langkah ini banyak mendapat kritikan karena dianggap bertentangan dengan UU reformasi TNI dan polri. Yang mana persoalan sosial dalam negeri menjadi domain Polri bukan TNI. Apalagi rakyat hanya sebatas menyampaikan aspirasi kerena haknya telah dilanggar dan diabaikan. Tetapi pemerintah tidak peduli dengan itu semua.

SBY tidak ingin kejadian 1998 menimpa dirinya. Apalagi sudah cukup lama demonstrasi besar jalanan vacuum pasca reformasi. Hermawan Sulistyo[9] mengatakan bahwa demonstrasi 2012 memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan aksi-aksi besar 1998, jadi tidak mungkin terjadi penggulingan terhadap kekuasaan. Aksi BBM 2012 memiliki skala massa yang kecil-kecil umumnya puluhan hingga ratusan demonstran, itu pun berlangsung tidak lama. 

Sementara pada 1998 mencapai hingga 100.000 massa dan berlangsung hingga sebulan penuh. Demontrasi 2012 tercecer di daerah-daerah atau merata keseluruh daerah karena daerah-daerah lebih menderita kelangkaan BBM daripada kota-metropolitan. Motivasi untuk gelar aksi besar di Jakarta tidak ada. Sementara 1998 demo berlangsung massif di Jakarta dan beberapa kota besar seperti Makassar, Surabaya, dan Yogyakarta. 

Akibat aksi massa yang tidak massif adalah demonstrasi yang terpotong-potong, hari ini aksi besoknya istirahat dan begitu seterusnya hingga sekitar satu minggu. Demonstran seakan tidak betah berlama-lama dijalan. Kemudian tidak adanya korban (martir) sehingga kemarahan massa cukup terbendung oleh aparat. Namun demikian aksi kali ini cukup anarkis. Dalam jangka 4 hari aksi 26-30 Maret, IPW (Indonesian Police watch) mencatat 16 pos polisi, 4 mobil patroli dan 1 motor dirusak atau dibakar. Sebanyak 523 demonstran dan 210 polisi luka-luka, dan 750 demonstran ditangkap, dan sebagian dilepas setelah diperiksa oleh polisi[10]. 

Sekalipun soal kelangkaan BBM terus menjadi problem, setidaknya gerakan rakyat waktu itu mendapat respon. Gerakan ini kalau boleh dipetakan sebagai “angkatan 2012”. Sekilas tampak beberapa perlawanan dari mahasiswa dan rakyat dinilai kasar. Perlawanan mahasiswa dengan melempar batu dianggap tidak patut, memacetkan jalan dianggap kurang ajar, memukul  polisi dianggap “tukang becak” yang hanya mengandalkan otot. 

Penilaian ini sungguh tidak adil karena an sich menempatkan demonstran sebagai provokator. Padahal di medan aksi aparat juga tak jarang memprovokasi massa, dengan mencaci dan mencibir demonstran, menendang hingga memukul. Belum lagi tembakan gas air mata, pentungan, tembakan peluru karet dsb. Jika perlawanan polisi dengan pentungan, tembakan gas air mata dan peluru karet masih dianggap tidak anarki, lalu yang anarki bagaimana?.

Dengan demikian jelas bahwa sebenarnya negaralah yang anarki dan arogan, demonstran  dengan tangan kosong dilawan oleh aparat bersenjata lengkap dan merepresi rakyat. Bahkan pasukan perang pun (TNI) diturunkan untuk mengamankan rakyat. Dengan demikian negara mengendalikan rakyat secara objektif dan mengesampingkan penyelasaian secara moral, yang terpenting adalah bagaimana rakyat takut.  Disini tampak jelas bagaimana negara memulai sikap anarkinya sendiri terhadap rakyat. 

Padahal mahasiswa dan rakyat datang untuk menuntut haknya selaku bagian dari negara ini, mereka datang bukan untuk berperang. Mahasiswa dan rakyat bisa damai dengan membuka ruang-ruang dialog. Maka tidak salah jika mahasiswa dan rakyat melawan anarki negara dan aparat juga dengan anarki, karena kesombongan itu boleh dilawan dengan kesombongan. Ini yang disebut oleh Rieke Diah pitaloka kekerasan negara menular kemasyarakat. Artinya bahwa selama kesombongan penguasa masih ditunjukkan melalui alat represi negara maka jangan pernah mengharap adanya aksi damai yang dilakukan oleh rakyat dan mahasiswa. Anarki yang muncul adalah sebagai reaksi dari kesengsaraan, penderitaan dan kemuafikan.   

Untuk itu sebagai langkah alternatif, jangan ada lagi tuduhan anarkis kepada demonstran oleh aparat dan begitu sebaliknya, demonstran juga menghargai peran dan tugas aparat. Karena aparat dan rakyat adalah sama, mereka juga terlahir dari rakyat. Dan seharusnya sama-sama memperjuangkan hak rakyat. Satukan barisan melawan hegemoni, penindasan, ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. 

Tawaran menarik disampaikan oleh Hannah Arendt yang diulas oleh Pitaloka bahwa memandang politik sebagai aktifitas dialog dan resiproksitas yaitu menggalang partisipasi dari warga melalui penciptaan ruang publik sebagaimana digagas Oleh Jurgen Habermas untuk kepentingan bersama. Dengan demikian kekerasan menjadi haram hukumnya dilakukan oleh negara, yang dibutuhkan oleh negara adalah aksi komunikatif bukan anarki. Kerena komunikasi adalah esensi dari kekuatan negara yang sebenarnya.



[1] Tokoh Anarkisme berkebangsaan Rusia (1814-1876). Bakunin sering terlibat pemberontakan di kawasan Eropa. Dia menjadi pemimpin besar anarkisme internasionale I yang kerap bentrok dengan Karl Marx.
[2]  Herlianto. Alat Negara Vs Anarki. Duta Masyarakat, 5/4/2012.
[3] Dikutip dari Sean M Sheehan. Anarkisme Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Tangerang selatan: Marjin Kiri.2014., hal 24
[4] Ibid., hal 25
[5]  Rieke Diah Pitaloka.  Kekerasan Negara Menular ke Masyrakat.Yogyakarta: Galang Press.2004, hal 56.
[6]  Nur Sayyid Santoso K. Negara Marxis dan Revolusi Proletariat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011, hal 303.
[7]  Dalam Manifesto Partai Komunis.
[8]  Herlianto. Melepas Identitas atau Jadi Korban. Duta Masyarakat, 26/3/ 2012.
[9]  Hermawan Sulistyo, professor riset LIPI, dalam Aksi Massa 1998 dan 2012. Kompas, 19/4/2012.
[10]   Duta masyarakat, 2/4/ 2012.

Post a Comment

0 Comments