Kesadaran Naif dan Magis Kritik Paoulo Freire Terhadap Perploncoan di Kampus

Oleh: Herlianto
Sumber: manado.tribunnews.com

Prilaku menjijikkan lainnya dari generasi ugal ini adalah kebiasaan memplonco orang atau menjadikan orang lain sebagai objek untuk diperlakukan seenaknya sesuai yang mereka mau. Sikap bernuansa patriarkal ini seakan sudah menjadi warisan psikologis secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya hingga saat ini. Kejadian macam ini bisa kita temui fenomenenanya dalam ajang penerimaan anggota baru dalam suatu komunitas atau institusi tertentu. Orang-orang baru (new bie) dijadikan objek untuk melampiaskan kebiasannya dalam membully

Kehidupan kampus khususnya saat penerimaan mahasiswa baru sering menjadi ajang perploncoan ini. Dan akibatnya tak hanya membuat anggota baru ketakutan secara psikologis tetapi juga hingga tewas. Para pelakunya adalah mahasiswa senior. Senior menempatkan maba sebagai objek yang harus ditundukkan sejak mula, melalui berbagai penugasan yang harus dipatuhi dan ditepati oleh maba alasannya adalah melatih mental. Mereka dipaksa membawa dan memakai atribut yang tidak berkaitan konstruksi mental. Termasuk tidak ada relasi yang signifikan  dengan pengenalan kampus yang sebenarnya target yang ingin dicapai dalam kegiatan itu. Apalagi nilai-nilai kritis.


Maba membawa dan memakai barang yang aneh-aneh dan tak wajar serta tidak dimiliki oleh maba. Masyarakat baru kampus itu terpaksa membeli dengan sejumlah uang yang tak murah untuk melayani permintan-permintaan senior. Anehnya barang yang ditugaskan untuk dibeli hanya ada dipanitia penyelenggara Ospek yang tak lain adalah seniornya tadi. Barang-barang itu seperti sepatu dengan ukuran dan warna yang ditentukan panitia, ukuran kardus, plastik, tali rafia, pita, balon dsb. Saya menyebutnya perpeloncoan berbasis ekonomi. 

Jadi, ada semacam praktek komersialisasi berkedok akademis dan bisnis yang diselipkan terhadap maba yang sudah tak berdaya dengan memanfaatkan situasi maba yang belum tau apa-apa dan belum punya keberanian melawan. Generasi yang masih culun itu tanpa berpikir panjang menepati semua yang ditugaskan sekalipun batinnya meronta tidak sepakat dengan apa yang diperintahkan. Merasa bahwa semua itu hanya permainan senior yang ingin unggul dan sok paling tahu.

Segala ketidak patuhan, ancamannya berupa tindakan tegas, baik secara fisik yang mengakibatkan banyak maba tewas ataupun sesuatu yang sangat memalukan hingga tidak lulus Ospek dan harus ngulang ditahun berikutnya. Maba “manggut-manggut” dan “siap grak” melaksanakan segala perintah senior yang bertindak seperti komendan lapangan. Kebiasaan perpeloncoan bagi maba sampai saat ini masih menjadi “hantu” yang ditradisikan dan terus dikembangkan khususnya pada saat kampus menjalani Ospek. Korban perpeloncoan terus berjatuhan yang terjadi di beberapa kampus, berikut beberapa mahasiswa yang menjadi korban generasi tak bertanggung jawab. Entah sampai kapan prilaku tak manusiawi itu akan terus disemai dalam benak para generasi kita yang konon sudah demokrastis dan merdeka.

Tanggal
Nama
Kampus
Keterangan
3/3/2000
Ery Rahman
STPDN
Meninggal di RS Islam Bandung setelah di hukum fisik oleh seniornya
31/8/2001
Donny Maharaja
Universitas Gunadarma
Dipukul oleh senior dalam kegiatan ospek.
2/11/2002
EM Velley Nur
Universitas Padjajaran
Meninggal setelah mengikuti studipengenalan lapangan di Cileungsi Bogor.
3/9/2003
Wahyu Hidaya
STPDN
Meninggal karena dianiaya oleh seniornya karena lalai menjalankan tugas ekstra kurikuler.
3/4/2007
Cliff Muntu
IPDN
Meninggal setelah dianiaya oleh seniornya.
12/5/2008
Agus Bastian Gultom
Sekolah Tinggi Ilmu pelayaran
Meninggal karena dianiaya oleh seniornya.
9/2/2009
Dwiyanto Wisnu Nugroho
ITB
Tewas saat mengikuti long march pelantikan anggota baru ikatan mahasiswa ITB
12/10/2013
Fikri Dolasmantya Surya
ITN Malang
Meninggal di duga karena kekerasan saat mengikuti kemah bakti desa (KBD) di gua Cina

Sumber: Kompas,14/12/ 2013

Secara pribadi saya belum menemukan dasar-dasar pendidikan apa yang dipakai oleh manusia-manusia sadis itu. Sehingga orientasi pengenalan kampus diwujudkan dalam bentuk perpeloncoan yang mengorbankan derajat diri sebagai manusia. Dikatakan membangun mental, justru ini sebaliknya mengkerdilkan mental dengan pola-pola kekerasan. Karena tak ada kamus pendidikan bahwa kekerasan melahirkan manusia-manusia yang berhati baik.

Menurut Susan Lipkins dalam Menumpas Kekerasan Pelajar dan Mahasiswa: Menghentikan Perploncoan di Sekolah/Kampus bahwa perpeloncoan hanyalah upaya mahasiswa senior untuk mempertahankan sebuah hirarki yang sudah mapan dalam senioritas dikampus, dan maba sebagai pendatang baru (newbie) dipaksa tunduk pada hirarki itu. Mahasiswa baru menjadi korban atas pemantapan budaya patriarkal disitu. Tingkat kekejaman dan modus yang digunakan untuk membuat maba tunduk dan mengerti tergantung pada senior yang masih menginginkan pendatang baru hormat pada “tetua”. Inilah yang membuat pola perploncoan tidak ubahnya konsep sororitas dalam kemiliteran[1], yaitu sekumpulan pendatang baru yang penuh kepatuhan pada senior. Yang sebenarnya dalam kemiliteran sudah mulai ditinggalkan konsep ini. 

Dalam perspektif Pendidikan Kaun Tertindas (Pedagogy of the Opressed) Paulo Freire. Ini adalah sebentuk pendidikan atau rekrutmen yang tidak membebaskan. Mahasiswa baru dijejali kesadaran “magis” dan “naif”. Kesadaran magis (magical consciousness) adalah kesadaran yang tak mampu melihat adanya kaitan antara satu tindakan dengan tindakan yang lain dan menganggap penindasan terhadap dirinya sebagai sebuah pre-determinasi ilahi yang tak bisa ditentang. dengan kata lain dianggap tahapan-tahapan prosedur yang ditetapkan oleh kampus yang harus dipatuhi tanpa harus sedikitpun bertanya. Sementara kesadaran naïf (naival consciousness) yaitu sadar bahwa mahasiswa senior penyebabnya akan penindasan terhadap dirinya tetapi tidak memiliki keberanian untuk membangun suatu perlawan. Padahal kesadaran sebenarnya adalah kesadaran kritis (critical consciousness) yang memahami relasi antara satu faktor dengan faktor yang lain dan relasinya dengan sistem yang berlaku, mengerti siapa aktornya serta berani mengambil tindakan dan melawan. 
Pola demikian  bagi Freire adalah antagonisme pendidikan: Senior sebagai Subjek dan Maba sebagai objek, Senior berfikir sementara Maba dipikirkan, Senior mengetahui segalanya dan Maba tidak tahu apa-apa, Senior menentukan peraturan sementara Maba diatur, Senior memaksakan pilihan dan Maba menyetujuinya, dst. Hal ini selanjutnya disebut banking education of concept (pendidikan ala bank)[2] yang menempatkan maba sebagai sirkulasi deposito terbinanya budaya patriarkal dikampus. Dan ini sama sekali tidak membebaskan justru pembodohan massal.

Seharusnya mahasiswa baru dihadapkan dengan persoalan yang menjadi fakta sosial saat ini, bahwa kondisi sosial kita (baca: bangsa Indonesia) penuh ketimpangan yang luar biasa. Korupsi merajalela sementara keadilan bertekuk lutut dibawah penguasanya penguasa yaitu uang. Buruh, petani, nelayan, tukang becak dan rakyat miskin lainnya dipermainkan dan diperbudak oleh negara sendiri. Mereka bekerja dengan peluh berderai dari pundak ke pantat, tetapi hasilnya mereka serahkan pada negara dalam bentuk pajak dan selanjutnya dikorup. Inilah realitas negara ini.

Jika memang berbicara realitas negara dianggap terlalu luas karena masih mahasiswa baru, sebagai gantinya bisa dimulai dari menyadari kondisi kampus yang masih diliputi persoalan yang rumit dan kompleks mahasiswa senior tentu sudah memahami kondisi ini.  Mulai dari bagaimana pendidikan yang sejatinya hak setiap orang tetapi ternyata hanya dinikmati oleh beberapa orang saja yang ber-uang? Bagaimana pendidikan dikampus menjadi barang langka justru di negara yang konstitusinya tegas “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pendidikan dikampus tak ubahnya komuditas dagang yang digunakan untuk mengeruk keuntungan sebesar mungkin? Bagaimana pendidikan justru melahirkan para koruptor disenayan? Bagaimana pendidikan dikampus menjadi ajang perlombaan prestise, status sosial, dan lahirnya dikotomi kaya-miskin? Benarkah quota 20% kursi kampus dikhususkan untuk yang tidak mampu? Atau jangan-jangan untuk menutupi profit orientednya untuk menjinakkan gerakan mahasiswa dan rakyat, karena terbukti sejumlah pungutan tetap dilakukan di beberapa kampus. Maka dengan quota 20% untuk mahasiswa tidak mampu menjadi sebatas pembenar pada mahasiswa dan rakyat bahwa kampus telah menyediakan tempat bagi mereka yang tidak punya biaya.
Nah, penyadaran melalui menghadapkan mahasiswa pada masalah yang sebenarnya inilah yang disebut oleh Freire Problem Possing Education (Pendidikan hadap masalah), yaitu menghadapkan langsung mahasiswa pada polemik sosial yang sebenarnya, mahasiswa menjadi sadar realitas dan tau kondisi real, tidak ada lagi kekaburan terkait status kampus. Jadi bukan “memesis” (semu/tiruan) yang disampaikan pada mahasiswa baru. Sehingga siklus yang terjadi: refleksi, berfikir dan aksi, bukan siklus perpeloncoan dan pembodohan. Inilah model pendidikan yang seharusnya ditanamkan disetiap proses pendidikan lebih-lebih bagi yang baru memulai, apalagi sudah jenjang perguruan tinggi.

Maka terasahlah nalar kritis para mahasiswa, lahirlah tokoh-tokoh pembela kemanusiaan, kebenaran, keadililan dan bukan figur-figur hippokrit nan korup. Sebagaimana diajarkan oleh Freire, kita tidak ingin generasi yang lahir adalah “nekrofili” yaitu cinta terhadap kematian dan hobbi menghisap bangkai saudara sendiri. Tetapi harapan kita semua adalah generasi “biofili” yaitu generasi yang cinta dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan perdamaian. Perlu dicatat bahwa humanisme hanya akan lahir dari proses pendidikan yang humanis pula, pendidikan rakus akan ditakdirkan melahirkan orang-orang yang tamak dan pembual.

Ironinya para pelaku perpeloncoan tidak jarang berasal dari organisasi gerakan ekstra (omek) yang kesehariannya lantang ngomong gerakan pembebasan dan kemanusiaan. Tetapi mereka menjadi bagian dalam menistakan hakikat pendidikan. Menurut saya tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa preview atau sesuatu yang mendasari sebelumnya. Artinya pola kaderisasi yang dilakukan omek terhadap kadernya juga memberi porsi pengaruh yang besar terhadap pola tingkah kadernya. Bisa saja pola rekrutmen kader masih menggunakan cara-cara senioritas dan violence sehingga menular pada kader berikutnya dan dipraktekkan di kampus.

Perpeloncoan yang demikian ini diteruskan tanpa henti bak lingkaran setan yang tak berujung. Junior yang pernah dipelonco balik mempelonco setelah mereka menjadi senior. Begitu seterusnya. Entah sampai kapan perploncoan akan menjadi tregedi bagi mahasiswa baru? Siapa kemudian yang berdaya menghentikan kronik ini? Jawabnya kita harus berani melawan pendidikan tak manusiawi ini.  






[1] Susan Lipkins Ph.D. Menumpas Kekerasan Pelajar dan Mahasiswa: Menghentikan Perploncoan di Sekolah/Kampus. Tangerang: Inspirita Publishing. 2008, hal 16.
[2]   Paoulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES. 2000., hal 54.

Post a Comment

0 Comments