Oleh: Herlianto
Sumber: manado.tribunnews.com |
Prilaku menjijikkan lainnya dari
generasi ugal ini adalah kebiasaan memplonco orang atau menjadikan orang lain
sebagai objek untuk diperlakukan seenaknya sesuai yang mereka mau. Sikap
bernuansa patriarkal ini seakan sudah menjadi warisan psikologis secara
turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya hingga saat ini. Kejadian
macam ini bisa kita temui fenomenenanya dalam ajang penerimaan anggota baru
dalam suatu komunitas atau institusi tertentu. Orang-orang baru (new bie) dijadikan objek untuk
melampiaskan kebiasannya dalam membully.
Kehidupan kampus khususnya saat
penerimaan mahasiswa baru sering menjadi ajang perploncoan ini. Dan akibatnya
tak hanya membuat anggota baru ketakutan secara psikologis tetapi juga hingga
tewas. Para pelakunya adalah mahasiswa senior. Senior menempatkan maba sebagai
objek yang harus ditundukkan sejak mula, melalui berbagai penugasan yang harus
dipatuhi dan ditepati oleh maba alasannya adalah melatih mental. Mereka dipaksa
membawa dan memakai atribut yang tidak berkaitan konstruksi mental. Termasuk
tidak ada relasi yang signifikan dengan
pengenalan kampus yang sebenarnya target yang ingin dicapai dalam kegiatan itu.
Apalagi nilai-nilai kritis.
Maba membawa dan memakai barang yang
aneh-aneh dan tak wajar serta tidak dimiliki oleh maba. Masyarakat baru kampus
itu terpaksa membeli dengan sejumlah uang yang tak murah untuk melayani
permintan-permintaan senior. Anehnya barang yang ditugaskan untuk dibeli hanya
ada dipanitia penyelenggara Ospek yang tak lain adalah seniornya tadi. Barang-barang
itu seperti sepatu dengan ukuran dan warna yang ditentukan panitia, ukuran
kardus, plastik, tali rafia, pita, balon dsb. Saya menyebutnya perpeloncoan
berbasis ekonomi.
Jadi, ada semacam praktek komersialisasi
berkedok akademis dan bisnis yang diselipkan terhadap maba yang sudah tak
berdaya dengan memanfaatkan situasi maba yang belum tau apa-apa dan belum punya
keberanian melawan. Generasi yang masih culun itu tanpa berpikir panjang
menepati semua yang ditugaskan sekalipun batinnya meronta tidak sepakat dengan
apa yang diperintahkan. Merasa bahwa semua itu hanya permainan senior yang
ingin unggul dan sok paling tahu.
Segala ketidak patuhan, ancamannya
berupa tindakan tegas, baik secara fisik yang mengakibatkan banyak maba tewas
ataupun sesuatu yang sangat memalukan hingga tidak lulus Ospek dan harus
ngulang ditahun berikutnya. Maba “manggut-manggut” dan “siap grak” melaksanakan
segala perintah senior yang bertindak seperti komendan lapangan. Kebiasaan
perpeloncoan bagi maba sampai saat ini masih menjadi “hantu” yang ditradisikan
dan terus dikembangkan khususnya pada saat kampus menjalani Ospek. Korban
perpeloncoan terus berjatuhan yang terjadi di beberapa kampus, berikut beberapa
mahasiswa yang menjadi korban generasi tak bertanggung jawab. Entah sampai
kapan prilaku tak manusiawi itu akan terus disemai dalam benak para generasi
kita yang konon sudah demokrastis dan merdeka.
Tanggal
|
Nama
|
Kampus
|
Keterangan
|
3/3/2000
|
Ery Rahman
|
STPDN
|
Meninggal di RS
Islam Bandung setelah di hukum fisik oleh seniornya
|
31/8/2001
|
Donny Maharaja
|
Universitas
Gunadarma
|
Dipukul oleh
senior dalam kegiatan ospek.
|
2/11/2002
|
EM Velley Nur
|
Universitas
Padjajaran
|
Meninggal
setelah mengikuti studipengenalan lapangan di Cileungsi Bogor.
|
3/9/2003
|
Wahyu Hidaya
|
STPDN
|
Meninggal karena
dianiaya oleh seniornya karena lalai menjalankan tugas ekstra kurikuler.
|
3/4/2007
|
Cliff Muntu
|
IPDN
|
Meninggal
setelah dianiaya oleh seniornya.
|
12/5/2008
|
Agus Bastian
Gultom
|
Sekolah Tinggi
Ilmu pelayaran
|
Meninggal karena
dianiaya oleh seniornya.
|
9/2/2009
|
Dwiyanto Wisnu
Nugroho
|
ITB
|
Tewas saat
mengikuti long march pelantikan
anggota baru ikatan mahasiswa ITB
|
12/10/2013
|
Fikri
Dolasmantya Surya
|
ITN Malang
|
Meninggal di duga karena kekerasan saat mengikuti kemah bakti desa
(KBD) di gua Cina
|
Sumber: Kompas,14/12/
2013
Secara pribadi saya belum menemukan
dasar-dasar pendidikan apa yang dipakai oleh manusia-manusia sadis itu.
Sehingga orientasi pengenalan kampus diwujudkan dalam bentuk perpeloncoan yang
mengorbankan derajat diri sebagai manusia. Dikatakan membangun mental, justru
ini sebaliknya mengkerdilkan mental dengan pola-pola kekerasan. Karena tak ada
kamus pendidikan bahwa kekerasan melahirkan manusia-manusia yang berhati baik.
Menurut Susan Lipkins dalam Menumpas Kekerasan Pelajar dan Mahasiswa:
Menghentikan Perploncoan di Sekolah/Kampus bahwa perpeloncoan hanyalah
upaya mahasiswa senior untuk mempertahankan sebuah hirarki yang sudah mapan
dalam senioritas dikampus, dan maba sebagai pendatang baru (newbie) dipaksa tunduk pada hirarki itu.
Mahasiswa baru menjadi korban atas pemantapan budaya patriarkal disitu. Tingkat
kekejaman dan modus yang digunakan untuk membuat maba tunduk dan mengerti
tergantung pada senior yang masih menginginkan pendatang baru hormat pada
“tetua”. Inilah yang membuat pola perploncoan tidak ubahnya konsep sororitas dalam kemiliteran[1], yaitu
sekumpulan pendatang baru yang penuh kepatuhan pada senior. Yang sebenarnya
dalam kemiliteran sudah mulai ditinggalkan konsep ini.
Dalam perspektif Pendidikan Kaun
Tertindas (Pedagogy of the Opressed)
Paulo Freire. Ini adalah sebentuk pendidikan atau rekrutmen yang tidak
membebaskan. Mahasiswa baru dijejali kesadaran “magis” dan “naif”. Kesadaran
magis (magical consciousness) adalah
kesadaran yang tak mampu melihat adanya kaitan antara satu tindakan dengan
tindakan yang lain dan menganggap penindasan terhadap dirinya sebagai sebuah
pre-determinasi ilahi yang tak bisa ditentang. dengan kata lain dianggap
tahapan-tahapan prosedur yang ditetapkan oleh kampus yang harus dipatuhi tanpa
harus sedikitpun bertanya. Sementara kesadaran naïf (naival consciousness) yaitu sadar bahwa mahasiswa senior
penyebabnya akan penindasan terhadap dirinya tetapi tidak memiliki keberanian
untuk membangun suatu perlawan. Padahal kesadaran sebenarnya adalah kesadaran
kritis (critical consciousness) yang
memahami relasi antara satu faktor dengan faktor yang lain dan relasinya dengan
sistem yang berlaku, mengerti siapa aktornya serta berani mengambil tindakan
dan melawan.
Pola demikian bagi Freire adalah antagonisme pendidikan:
Senior sebagai Subjek dan Maba sebagai objek, Senior berfikir sementara Maba
dipikirkan, Senior mengetahui segalanya dan Maba tidak tahu apa-apa, Senior
menentukan peraturan sementara Maba diatur, Senior memaksakan pilihan dan Maba
menyetujuinya, dst. Hal ini selanjutnya disebut banking education of concept (pendidikan ala bank)[2] yang
menempatkan maba sebagai sirkulasi deposito terbinanya budaya patriarkal
dikampus. Dan ini sama sekali tidak membebaskan justru pembodohan massal.
Seharusnya mahasiswa baru dihadapkan
dengan persoalan yang menjadi fakta sosial saat ini, bahwa kondisi sosial kita
(baca: bangsa Indonesia) penuh ketimpangan yang luar biasa. Korupsi merajalela
sementara keadilan bertekuk lutut dibawah penguasanya penguasa yaitu uang.
Buruh, petani, nelayan, tukang becak dan rakyat miskin lainnya dipermainkan dan
diperbudak oleh negara sendiri. Mereka bekerja dengan peluh berderai dari
pundak ke pantat, tetapi hasilnya mereka serahkan pada negara dalam bentuk
pajak dan selanjutnya dikorup. Inilah realitas negara ini.
Jika memang berbicara realitas negara
dianggap terlalu luas karena masih mahasiswa baru, sebagai gantinya bisa
dimulai dari menyadari kondisi kampus yang masih diliputi persoalan yang rumit
dan kompleks mahasiswa senior tentu sudah memahami kondisi ini. Mulai dari bagaimana pendidikan yang
sejatinya hak setiap orang tetapi ternyata hanya dinikmati oleh beberapa orang
saja yang ber-uang? Bagaimana pendidikan dikampus menjadi barang langka justru
di negara yang konstitusinya tegas “mencerdaskan kehidupan bangsa”, pendidikan
dikampus tak ubahnya komuditas dagang yang digunakan untuk mengeruk keuntungan
sebesar mungkin? Bagaimana pendidikan justru melahirkan para koruptor
disenayan? Bagaimana pendidikan dikampus menjadi ajang perlombaan prestise,
status sosial, dan lahirnya dikotomi kaya-miskin? Benarkah quota 20% kursi
kampus dikhususkan untuk yang tidak mampu? Atau jangan-jangan untuk menutupi profit orientednya untuk menjinakkan
gerakan mahasiswa dan rakyat, karena terbukti sejumlah pungutan tetap dilakukan
di beberapa kampus. Maka dengan quota 20% untuk mahasiswa tidak mampu menjadi
sebatas pembenar pada mahasiswa dan rakyat bahwa kampus telah menyediakan
tempat bagi mereka yang tidak punya biaya.
Nah, penyadaran melalui menghadapkan
mahasiswa pada masalah yang sebenarnya inilah yang disebut oleh Freire Problem Possing Education (Pendidikan
hadap masalah), yaitu menghadapkan langsung mahasiswa pada polemik sosial yang
sebenarnya, mahasiswa menjadi sadar realitas dan tau kondisi real, tidak ada
lagi kekaburan terkait status kampus. Jadi bukan “memesis” (semu/tiruan) yang
disampaikan pada mahasiswa baru. Sehingga siklus yang terjadi: refleksi,
berfikir dan aksi, bukan siklus perpeloncoan dan pembodohan. Inilah model
pendidikan yang seharusnya ditanamkan disetiap proses pendidikan lebih-lebih
bagi yang baru memulai, apalagi sudah jenjang perguruan tinggi.
Maka terasahlah nalar kritis para
mahasiswa, lahirlah tokoh-tokoh pembela kemanusiaan, kebenaran, keadililan dan
bukan figur-figur hippokrit nan korup. Sebagaimana diajarkan oleh Freire, kita
tidak ingin generasi yang lahir adalah “nekrofili” yaitu cinta terhadap
kematian dan hobbi menghisap bangkai saudara sendiri. Tetapi harapan kita semua
adalah generasi “biofili” yaitu generasi yang cinta dan menjunjung tinggi
kemanusiaan dan perdamaian. Perlu dicatat bahwa humanisme hanya akan lahir dari
proses pendidikan yang humanis pula, pendidikan rakus akan ditakdirkan
melahirkan orang-orang yang tamak dan pembual.
Ironinya para pelaku perpeloncoan tidak
jarang berasal dari organisasi gerakan ekstra (omek) yang kesehariannya lantang
ngomong gerakan pembebasan dan kemanusiaan. Tetapi mereka menjadi bagian dalam
menistakan hakikat pendidikan. Menurut saya tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa
preview atau sesuatu yang mendasari
sebelumnya. Artinya pola kaderisasi yang dilakukan omek terhadap kadernya juga
memberi porsi pengaruh yang besar terhadap pola tingkah kadernya. Bisa saja
pola rekrutmen kader masih menggunakan cara-cara senioritas dan violence sehingga menular pada kader
berikutnya dan dipraktekkan di kampus.
Perpeloncoan yang demikian ini
diteruskan tanpa henti bak lingkaran setan yang tak berujung. Junior yang
pernah dipelonco balik mempelonco setelah mereka menjadi senior. Begitu
seterusnya. Entah sampai kapan perploncoan akan menjadi tregedi bagi mahasiswa
baru? Siapa kemudian yang berdaya menghentikan kronik ini? Jawabnya kita harus
berani melawan pendidikan tak manusiawi ini.
0 Comments