Kesadaran Semu Mahasiswa


Oleh: Herlianto A*
Sumber: pixabay.com
           
Banyak kalangan yang mencoba menafsiri setiap gerakan mahasiswa, hal itu tidak terlepas dari status dan tindakan mahasiswa dalam tatanan bermasyarakat bahwa mahasiswa adalah suatu komunitas yang berbeda dan tentunya dengan peran yang berbeda pula . Interpretasi muncul dari mereka yang masih percaya maupun yang sudah tidak percaya terhadap  gerakan mahasiswa atas keberpihakannya didalam membela masyarakat marjinal hingga status sebagai agent of change and control

Penegakan panji-panji demokrasi diatas kesadaran hakiki mahasiswa juga perlu dicermati ulang saat ini. Bagi mereka  yang yakin dengan gerakan mahasiswa mengutarakan bukti-bukti sejarah bahwa mahasiswa akan tetap menjadi satu tonggak yang menunjang tegaknya nilai-nilai kesetaraan, keadilan, solidaritas serta nilai revolusiner dalam memberantas keterkungkungan dan penindasan oleh penguasa.

Bagaimana mahasiswa mengorbankan jiwa raganya  pada detik-detik pembebasan dari penjajahan 1945, penumbangan orde lama 1966 serta rekonstruksi orde baru ke era reformasi 1998. Dan itu memakan korban yang tidak sedikit, setidaknya catatan M.Fajroel Rahman dalam bukunya Demokrasi tanpa Kaum Demokrat  30 orang meninggal dan ratusan atau bahkan ribuan lainnya luka-luka dan cacat fisik. Tetapi disisi lain seiring dengan berubahnya zaman  ada banyak catatan untuk mahasiswa, catatan dalam artian rapor merah dari gerakan mahasiswa itu sendiri.             

Ketika kapitalisme, ekploitasi, ketidak adilan dan marjinalisasi  menjelma kedalam bentuk-bentuk kultural dan menyusup ke dalam relung-relung paradigma serta mengkonstruk nalarnya, maka mahasiswa tak mampu menepis serangan-serangan itu. Mahasiswa hanya mampu sebatas mewacanakan tetapi tidak mampu menggunakan kekuatannya untuk melawan. 

Sehingga yang terjadi adalah konflik internal, saling menyalahkan dan melemahkan satu sama lain. Inilah yang disebut kesadaran semu atau kaum Marxist menyebutnya  kesadaran palsu. Lebih jauh ini menjadi jawaban mengapa kemudian gerakan mahasiswa masa kini tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam merekonstruksi atau bahkan merombak masyarakat kebiadaban menuju masyarakat madani (civil society).
Mahasiswa yang tergolong kedalam  insan intelektual dengan tingkat kesadaran di atas rata-rata, ternyata masih sebatas tong kosong nyaring bunyinya alias tidak mampu memberi porsi perjuangan sebagaimana mestinya. Mahasiswa menjadi perlambang elitisme dalam status social dimasyarakat yang kemudian mengalienasi diri dan menciptakan kelas baru.

Lebih jauh kesadaran semacam itu di sebut oleh Hegel dalam The Phenomenology of Spirit sebagai kesadaran partikular yang menjadikan sumber  perpecahan diinternal mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa tidak mampu menyadari universalismenya, padahal menurut Hegel untuk membuat suatu perubahan manusia harus menyatukan dirinya ke dalam Jiwa yang universal. Wacana pluralisme hanya manis di bibir namun tidak ada realisasi apa-apa. Mahasiswa menjadi Homo Homini Lupus bagi mahasiswa lainnya sehingga terjauhkan dari kerja dan kesadaran kolektif.

Parahnya lagi, mahasiswa bertindak particular namun mengaku universal sehingga gerakan yang dihasilkan menjadi  pertentangan-pertentangan di masyarakat. Ketidak mampuan untuk menyadari egoismenya menyebabkan gerakan separatis menjadi suatu keniscayaan dalam keutuhan bangsa. Mahasiswa menjadi tumpuan kekuatan yang labil dan mudah disetir serta mudah diadu domba. 

Banyaknya aksi turun jalan mahasiswa ternyata atas nama kelompok tertentu dengan kompensasi khusus. Kemudian mudahnya mahasiswa terjerembab kedalam radikalisme golongan dan agama, contoh kuat NII (Negara Islam Indonesia) banyak beranggotakan dari kalangan mahasiswa adalah bukti nyata dari kelabilan mahasiswa.

Keterpurukan kesadaran mahasiswa saat ini juga disebabkan oleh ketidak mampuan dalam mengkaji penyebab suatu kasus tertentu hingga kekaburan antara yang tersirat dan tersurat, orasi dijalanan menjadi latihan oral belaka yang hampir tidak memiliki makna sama  sekali, demonstrasi hilang roh kesakralannya menjadi hiburan pelengkap  status  diri mahasiswa. Mahasiswa sebagai pengecam kapitalisme disatu sisi tetapi disisi lain  menjadi pelaksana dan penikmat kapitalisme. 

Berdasarkan survey yang pernah dilakukan penulis di kota Malang dan Surabaya karena kedua kota ini adalah kota pendidikan di provinsi Jawa Timur yaitu mall Matos (Malang Town Sequere) dan MOG (Malang Olimpic Garden) untuk wilayah Malang, sedangkan di Surabaya ada TP (Tunjungan Plaza), PTC (Pakuwon Trade Center) dan  Royal Plaza. Ternyata 60%  dari pengguna mall adalah mahasiswa yang notabeni mencaci kapitalisme, belum lagi yang terjadi di minimarket-minimarket.

Sementara, penggusuran pasar tradisional yang akan dikonversi menjadi mall hanya dijadikan tontonan bahkan di dukung karena pasar tradisional cendrung kumuh, bau tidak sedap dan tidak higinis.  Mereka tidak menyadari bagaimana nasib pedagang kecil di dalamnya, padahal idealnya, jika pasar tradisional kumuh, bau dan tidak rapi bukan digusur tetapi direnovasi dan direvitalisasi. 

Seperti misalnya penggusuran pasar kaputran di Surabaya, pasar Dinoyo dan Blimbing di kota Malang hanya menjadi tontonan mahasiswa. Namun anehnya ketika mereka ditanya tentang kapitalisme, mereka langsung mengecam dengan lantang  “hancurkan kapialisme”. Dari fakta ini, jelas bahwa mahasiswa membenci kata “Kapitalisme” tetapi memelihara praktek-praktek kapitalis atau bahkan tanpa sadar menjadi pelaku dari kapitalisme itu sendiri.

Demonstrasi menyambut satu satu tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Buiono, hari anti korupsi, hari buruh, hari pangan , hari sumpah pemuda dan segala macam. Dengan grand issu SBY-Budiono pelaku kapitalis yang dituntut untuk turun jabatan. itu terkesan main-main dan isu yang ada dibangun diatas pondasi yang rapuh hingga terkesan mengada-ada.  

Karena persoalannya, benarkah SBY-Budiono musuh kita? Apakah ada jaminan jika SBY turun, negeri ini akan makmur dan kapitalisme akan lenyap? Tentu tidak semudah itu karena SBY-Budiono hanyalah daun dari pohon kapitalisme yang telah mengakar kuat dimasyarakat kita, dan jika hanya daun itu yang ditumbangkan maka pasti akan tumbuh daun-daun kapitalisme baru.

Pada konteks ini seharusnya mahasiswa belajar pada peristiwa 1998. Memang pada waktu itu mahasiswa berhasil menumbangkan Suharto tetapi tidak berhasil menumbangkan Kapitalisme dan neoliberalisme. Akhirnya apa yang diserahkan mahasiswa kepada bangsa ini hanyalah kertas kosong. Tidak ada kejelasan kemana Negara ini akan dibawa. Contoh sederhana, persoalan system pemerintahan antara parlementer dan presidensil saja  menjadi perdebatan yang a lot menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

Untuk itu mahasiswa perlu menyiapkan diri secara ideologis untuk melawan kapitalisme dan neoliberalisme, karena untuk menghancurkan itu tidak cukup dengan mencacimaki di jalanan. Kemudian bersatulah mahasiswa lepaskan atribut-atribut keegoisan pribadi kelompok masing-masing kembalilah kepada posisi netralitasnya.

* penulis adalah anggota kajian Budaya “NGANTIWANI” Kota Malang

Post a Comment

0 Comments