Oleh: Herlianto A, anggota kajian budaya "ngantiwani" kota Malang
Sumber: educareinstitutepohuwato.blogspot.com |
Soe hok gie pernah mengatakan bahwa sebagai mahasiswa yang hidup di Negara ini hanya ada dua pilihan yaitu idealis atau apatis. Idealis dalam berarti tidak mau kompromi dengan kondisi pemerintah yang totaliter dan menindas. ia menekankan bahwa revolusi terhadap otoritarianisme, menghapuskan segala bentuk alenasi serta pemerasan dan eksploitasi adalah harga mati. Sementara apatis tidak mau tau dengan keadaan sosial yang ada, otoritarianisme dan alienasi dianggap sebagai suatu kewajaran takdir yang biasa terjadi dalam kehidupan bernegara.
Munculnya choice idealis ataus apatis ini tidak hanya menjadi menu pada masa rejim orde baru. Meskipun masa ini tampak jelas bagian mana yang dimanipulasi dan dieksploitasi serta siapa yang menjadi pelakunya. misalnya oleh rezim penguasa melalui tangan-tangan besinya yaitu polisi dan ABRI (sekarag TNI). Pada masa transisi serta konsolidasi demokrasi atau tepatnya pasca reformasi saat ini pun[1], dua pilihan ini ini tetap menjadi menu utama bagi mahasiswa.
Carut marut penegakan hukum dan praktek politik yang tidak manusiawi di negeri ini kuat sekali dalam melatar belakangi kearah mana pilihan mahasiswa akan dijatuhkan. Bagaimana hukum dipolitisasi dengan sedemikian rupa, sehingga hukum tak lagi menjadi panglima dalam penegakan keadilan. Malah sebaliknya nilai-nilai politis yang menjadi panutan sehingga keadilan yang tercipta adalah semu. Maka yang menjadi upaya adalah bagaimana berspekulasi untuk mendistorsi fakta-fakta yang ada.
Berkaitan dengan itu, ketua mahkamah konstitusi (MK) Prof. Dr. Mahfud MD dalam suatu pertemuan kuliah umum di Universitas Islam Malang(Unisma) mengatakan bahwa antara hukum dan politik harus berjalin kelindan beriring dalam menciptkan keadilan, meskipun disatu sisi hukum adalah produk politik. Tetapi hukum lahir untuk membatasi politik itu sendiri. Kemudian persoalan korupsi yang tak pernah ada habisnya bahkan semakin melebar dan merasuk kesetiap relung kekuasaan baik ditingkat daerah maupun kedesa-desa. Para penegak hukum terkesan main-main dalam mencari big fish dari setiap perkara hukum baik mafia hukum maupun mafia pajak.
Tidak bisa dipungkiri keadaan yang demikian membuat sebagian mahasiswa merasa capek, males dan masa bodoh dengan itu. Sebagai pilihannya mereka lebih mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan ketimpangan social yang ada disekitarnya, meskipun secara status sosial mahasiswa sebagai insane intelektual yang seharusnya berinisiatif dalam meminimalisir persoalan-persoalan serta bagaimana melakukan penyadaran terhadap masyarakat.
Sebagai mahasiswa apatis memang lebih menyenangkan tidak menguras tenaga, tidak ruwet dengan masalah-masalah yang tidak menyentuh pada kehidupannya secara langsung, dan punya waktu lebih banyak untuk bersenang-senang. Tetapi kemudian benarkah atau tepatkah menjadi mahasiswa apatis?
Pada kondisi yang sangat mencekam dan membahayakan bagi seseorang yang berani mengkritik pemerintah, Soe hok gie dengan lantang mengatakan bahwa “lebih baik terasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan”. Artinya bahwa kondisi apapun, sebagai mahasiswa dan sekaligus tonggak pejuang bangsa harus kukuh pada pendiriannya yaitu membela yang lemah dan minoritas. Dan katakana “haram” pada kepalsuan dan kebrutalan penguasa.
Itu pilihan, tetapi yang pasti sejarah belum pernah membuktikan bahwa apatisme sebagai sumber perubahan dan kesejahteraan.
Memang tidak mudah menjadi idealis sejati karena lawan dan godaannya banyak, mulai dari yang bersifat nafsuisme hingga materialisme. Dan keduanya lah yang paling banyak memutar hidup sang idealis.
[1] Samuel Huntington dalam gelombang demokrasi ketiga. Bahwa indikasi negara yang demokratis ialah apabila telah diadakan pemilu dari satu rejim ke rejim berikutnya dan dapat dilaksanakan dengan tanpa konflik maka negara tersebut berada pada kondisi konsolidasi demokrasi.
0 Comments