Identitas Pemicu Konflik


Oleh: Herlianto A*
Sumber: orangemagz.com

Bendera, deker tangan, ikat kepala warna dan atribut lainnya  menjadi salah satu insrumen yang tak terlewatkan pada saat menggelar aksi. Hal itu dimaksudkan sebagai identitas pengenal bahwa yang tengah turun jalan adalah kawan-kawan SMI,FMN, sahabat-sahabat PMII, serta ikhwan-ikhwan HMI, KAMMI atau apalah. hingga dimanapun dan kapanpun aksi dilakukan bendera-bendera itu akan menjadi warna warni pemandangan di tengah semangat kerumunan massa.

Mungkin bendera dan identitas lainnya adalah salah satu pemicu bangkinya semangat dari massa aksi karena  atribut itu bernilai kesatuan dan kedaulatan, dan bukti  simbolis akan independensi suatu golongan atau kelompok. Tetapi juga tidak jarang dilapangan  instrumen ini beralih fungsi dari sebagai sumber motivasi menjadi pemicu konflik antar pengunjuk rasa yang berbeda organisasi karena terlalu fanatik terhadap identitas kediriannya, dan yang lain seakan tak punya ruang untuk menyatakan kevalidan dan kebenaran dirinya.  

seperti yang sering terjadi di kota Malang, Makassar dan di kota-kota lain. Antar kelompok organisasi bentrok di arena aksi hanya karena perbedaan identitas padahal substansinya sama yaitu menuntut penguasa untuk segera memenuhi janjinya dan kesejahteraan rakyat tercapai. Tentu dari fakta itu kita perlu menkaji ulang dibawanya atribut pada saat aksi.

Sampai sejauh ini atribut difungsikan selain sebagai identitas diri juga dianggap sebagai pencegah masuknya provokator karena dapat dibedakan dari atributnya. Hal ini sebetulnya ironi di tengah berkembangnya kesadaran masyarakat dan tentunya massa aksi juga . kalau pada masa orde lama dan orde baru mungkin  hal ini bisa dibenarkan karena pada waktu penyusup memang dilegalkan. Cuma kemudian sampai sejauh mana kestabilan emosi massa bergantung pada kondisi eksternal?. Tentu kebergantungan kestabilan emosi ini perlu diubah dari eksternal ke internal sehingga apapun bentuk provokasinya tidak akan pernah terpedaya.

Kemudian di sisi lain kenyataan tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan adalah pasti, termasuk perbedaan latar belakang organisasi ekstra kampus, yang saat ini ibarat jamur bermunculan di berbagai tempat. perbedaan itu akan menjadi cambuk munculnya kompetisi antar  organisasi yang satu dengan yang lain, tentunya kompetisi yang bersih dan sehat. artinya perbedaan adalah rahmah. Namun bukan berarti perbedaan menjadi suatu hal yang harus di besar-besarkan dan harus di tampakkan ke publik hingga menimbulkan claim sepihak bahwa sayalah atau organisasi kamilah  yang benar dan yang lain salah  kalau perlu dimusnahkan.

Membawa atribut pada saat aksi pasca demonstrasi besar-besaran Mei 1998 menjadi kebutuhan atau bahkan telah menjadi tradisi baru mahasiswa dalam melakukan aksi. Parahnya atribut itu bahkan digunakan untuk tujuan yang pragmatis sekali. Misalnya agar identitasnya di ketahui media massa dan disebar luaskan ke masyarakat. Harapannya dapat pujian dari masyarakat dan  mengukuhkan eksistensinya sehingga bargaining positionnya naik sebagai suatu organisasi yang banyak berperan dalam membela rakyat.

Jika demikian maka niat suci untuk menciptakan kesejahteraan, keadilan dan mengangkat derajat kaum kere menjadi terabaikan oleh kepentingan diri organisasi. Maka logikanya yang diangkat bukan derajat masyarakat tetapi derajat kediriannya. Kalau kita sedikit kritis apa hubungannya atribut dengan isu aksi yang sedang diperjuangkan, bukankah pernyataan sebagai control terhadap kebijakan pemerintah yang anti rakyat adalah tanggung jawab bersama tak peduli dari background organisasi mana kita berasal. 

Artinya dengan bendera itu justru menyekat-nyekat diantara  mahasiswa itu sendiri yang berakibat pada tidak solidnya gerakan aksi tersebutdan  menjadikan gerakan rapuh dan mudah dipatahkan sehingga aksi hanya menghasilkan capek dan kesel belaka.

Lalu dimana bendera dan atribut lain harus di posisikan? Bendera adalah lambang pemersatu untuk menyatakan suatu makna kemerdekaan. Dengan bendera suatu organisasi akan semakin solid. karena ada makna-makna yang tersirat di dalammnya dan itu menjadi arah kemana suatu organisasi akan bergerak. Artinya bendera adalah sacral, Nah dari kesakralan itulah hendaknya berhati-hati dalam menggunakan bendera. 

Menurut saya lebih tepatnya bendera dan atribut lainnya di gunakan pada saat konsolidasi internal saja yang tidak melibatkan masyarakat umum. toh meskipun tidak dibawa kedepan umum akan tetap sacral dan bermakna. Aksi akan menjadi lebih solid dan kuat jika massa aksi melebur menjadi satu dengan masyarakat atau mahasiswa yang lain.

Kemudian, yang tak kalah pentingnya banyak mahasiswa yang memilih aktif netral, artinya tidak memihak dan tidak terikat terhadap salah satu organisasi ekstra mahasiswa. Tetapi mahasiswa ini juga turut andil dalam mengotrol dan mengkaji kebijakan pemerintah hingga tidak segan-segan juga ikut turun jalan.  Maka jika bendera diaggap identitas yang mutlak dibawa, lalu kemana mahasiswa netral ini harus berpihak ? apakah kemudian mereka harus dipaksa untuk masuk kedalam organsasi tertentu?. Tentu segala macam pemaksaan tidak sejalan dengan falsafah negeri ini maupun konsep kebebasan dalam berdemokrasi. 

 *mahasiswa Universitas islam malang, anggota kajian budaya "ngantiwani" kota Malang

Post a Comment

0 Comments