Anis Baswedan, Gubernur Maha Benar dan Sekaligus Maha Salah


Oleh: Herlianto A
Sumber: id.wikepedia.org

Drama anggaran pengadaan lem aibon dan pulpen di DKI Jakarta yang mencapai ratusan miliar rupiah betul-betul menciptakan polarisasi di masyarakat. Isu ini bergerak bak bola salju yang terus bergulir dan semakin membesar. Masyakat terbelah menjadi dua dalam menanggapi isu seksi ini, yaitu pendukung Anis dan yang pengkritiknya.

Bagi pendukungnya, Anis adalah gubernur maha benar. Selalu berupaya mencari cara untuk menemukan argumen membenarkan tindakan “gak bener” itu, plesetan yang sering diungkapkan lawan politik Anis. Mulai dari mengaitkan dengan politisasi karena sejatinya gubernur Indonesia berjumlah 33, tetapi mengapa hanya gubernur Jakarta yang disorot, hingga persoalan kewajaran kesalahan yang dianggap manusiawi.

Anis sendiri melakukan beberapa manuver agar isu ini tidak terlalu membuat dirinya “kehilangan muka” di hadapan publik. Atau setidaknya tampak sebagai bukan kesalahannya. Beberapa hal yang dilakukannya ialah dengan mengkritik balik PSI (Partai Solidaritas Indonesia), selaku partai yang getol mengkritiknya. DPRD dari partai baru ini dianggap mencari panggung demi simpati rakyat.

Lalu Anis menyalahkan sistem yang sebelumnya dibuat oleh Ahok (Basuki Cahaya Purnama). Bahwa sistem itu tidak support, ada banyak kelemahannya. Belum cukup, Anis mencoba memarahi anak buahnya yang dianggap sebagai biang kerok kesalahannya. Dan, terakir bertekat membuat tim ad hoc untuk menyisir kesalahn anggaran lainnya. Anis “seolah-olah” kaget dan sigap menyikapi ini.

Beberapa argumen Anis itu, direpos dan diretwit berulang-ulang oleh pendukung untuk menguatkan narasi bahwa Anis tidak salah. Bagi mereka Anis adalah sosok maha benar yang tidak mungkin ada celahnya. Mereka juga melaporkan Ade Armando yang mengapload meme Anis seperti Joker, tokoh kejam dalam film Joker
    
Sementara itu, sebaliknya bagi lawan politik Anis, terutama para pendukung Ahok yang kemarin dikecewakan oleh putusan pengadilan yang menghukum Ahok karena dianggap menista ulama. Mereka berupaya menemukan berbagai kesalahan Anis yang memang belakangan ini tampak kebijakan Anis tidak memuaskan masyarakat Jakarta. Banyak yang sumir.

Begitu mereka menemukan momentum dengan anggaran lem dan pulpen yang tidak masuk akal, mereka seperti menemukan amunisi untuk menyerang Anis. Isu tidak sedap itu kemudian diolah sedemikian rupa sehingga menjadi sajian yang membuat masyarakat mengelus dada mendengarnya.

Terlebih lagi memang sungguh anggaran itu sangat menyayat hati para generasi yang tidak mampu mengenyam pendidikan, terutama di daerah-daerah. Lihat saja anak-anak daerah yang sekolahnya terbuat dari kayu, contoh nyata adalah pembangunan sekolah yang dilakukan oleh gerakan seribu (Geser). Gerakan ini mencari sumbangan seribuan untuk membangun sekolah dari kayu bagi anak daerah di pedalaman NTT (Nusa Tenggara Timur).

Alhasil, di mata lawan politiknya, Anis adalah gubernur yang maha salah. Terlebih lagi dia memang terkesan bermain-main dengan retorika dan bahasa “yang manis” dalam menjawab beberapa kegelisahan masyatakat. Sementara kerjanya masih dipertanyakan hingga hari ini.

Menurut saya, realitas politik di Jakarta adalah berimbang. Artinya, demokrasi menjadi berjalan dengan baik. Ada kontrol yang masif dari masyarakat, memang seharusnya begitulah demokrasi itu bejalan. Tanpa ada pengawasan dari warga maka kekuasaan akan berjalan dengan otoriter dan tanpa transparansi yang jelas. Dalam ketidak-transparanan inilah, potensi mengembat uang rakyat sangat besar.

Apa yang terjadi di Jakarta terkait kepedulian warga ikut mengawasi mestinya ditiru oleh warga di daerah lain. Agar pelaksanaan roda pemerintahan berjalan sebagaimana yang dimandatkan oleh rakyat. Pembangunan dapat berjalan secara tepat sasaran dan tidak boros uang negara, yang ternyata adalah uang rakyat.

Post a Comment

0 Comments