Sebenarnya mahasiswa sebagai agen gerakan (agent of movement) memiliki peta gerakan yang tidak mudah ditebak. Untuk siapa gerakan yang dibangun, untuk rakyat atau status quo penguasa, menjadi perdebatan historis yang belum selesai dan tidak banyak di bahas oleh kalangan mahasiswa saat ini.
Gerakan “hermafrodit”
Dikalangan pemuda intelektual, konsepsi pembebasan bangsa Indonesia lahir dari mahasiswa STOVIA, Abdul Rivai, melalui jurnal Bintang Hindia yang diterbitkan di Belanda pada tahun 1902 (Ricklefs: 2008). Terlepas dari berbagai tuduhan sebagai proyek politik etis Belanda, gagasan ini dikonkritkan oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo dalam bentuk organisasi Budi Utomo (BU) sekaligus organisasi mahasiswa pertama di negeri ini yang beranggotakan mahasiswa STOVIA (sekolah untuk dokter pribumi) dan OSVIA (sekolah latihan untuk para pejabat pribumi).
Organisasi ini kemudian banyak menginspirasi lahirnya beberapa gerakan pemuda nasionalis, misalnya Jong Java (pemuda Jawa), Jong Sumatranen Bond (Ikatan pemuda Sumatra), Jong Ambon (pemuda Ambon) dll. Runtutan dari proses sejarah itu lahirlah sumpah pemuda 1928 sebagai suatu ikrar suci bahwa nasionalisme adalah harga mati mencapai kemerdekaan.
Pun pada detik-detik proklamasi bangsa, pemuda juga memiliki peran yang berarti bagi tapakan sejarah bangsa ini. Inisiatif menyelamatkan Sukarno dari pengaruh politik Jepang melalui diamankannya beliau ke Rengasdengklok perlu diacungi jempol. Hingga dengan sepenuh hati bersama M. Hatta memproklamasikan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kita tentu bangga dengan itu.
Pada tahun 1965, mahasiswa beralih haluan sebagai agen pembongkar terhadap rezim Sukarno (Orde Lama) yang dinilai ingkar terhadap kepentingan rakyat dan kembali membidani lahirnya rezim baru yaitu rezim Suharto (Orde Baru) yang kemudian menjadi rezim paling otoriter yang pernah ada dalam catatan sejarah Indonesia.
Mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) bergandeng mesra dengan Angkatan Darat (pangkostrad) pimpinan Suharto untuk secara membabi buta menyerang Sukarno dan demokrasi terpimpinnya dengan tuduhan dalang komunisme dan ateisme (Suharsih & Mahendra: 2007) dan (Ricklefs: 2008).
Anehnya mahasiswa menerima begitu saja Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), pengakuan Suharto akan pengangkatan dirinya sebagai pemimpin pengganti Sukarno, meskipun tanpa wujud konkrit. Hingga sekarang surat itu belum bisa dibuktikan dan keberadaannya menjadi perdebatan historis yang a lot para sejarawan. Maka secara eksplisit mahasiswa andil dalam lahirnya rezim otoriter Orba.
Tetapi kemudian mahasiswa dianggap membayakan status quo Orba, maka terjadi pengkhianatan keji rezim Suharto terhadap mahasiswa yang klimaksnya pada 1974 dicetuskan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kehidupan Kampus) melalui menteri pendidikan. Mahasiswa bagai kerbau dicocok hidungnya kembali ke kampus dengan rutinitas akademiknya, termasuk nalar kritis dan peran struktural politiknya disterilkan melalui kampus dan alat negara yaitu tentara.
Maka sebagai perlawanan, pada Mei 1998 mahasiswa berhasil mendemisioner rezim Orba yang dulu dipilih dan diagungkannya, Suharto pun harus terjungkal dan dipaksa mengakui kekuatan dan keuletan mahasiswa. Maka lahirlah Reformasi yang menjanjikan sejuta kebebasan, kesetaraan, kesejahteraan dan keadilan alias demokrasi seutuhnya. Serta anti terhadap segala bentuk kapitalisasi yang memarjinalka.
Namun apa!, lagi-lagi kita dihadapkan pada realitas pahit. Kedamaian bersama demokrasi menjadi mimpi disiang bolong. Mahasiswa seakan menjadi penabuh genderang meruncingnya problem bangsa. Demokrasi menjadi stempel berlanjutnya praktek tidak manusiawi. Terorisme terus menjadi hantu masyakat, praktek korupsi menggrogoti gizi negara, kesenjangan antar etnis semakin melebar bukan hal aneh melihat tawuran antar warga, etnis dan atas nama agama. Minoritas semakin terancam keberadaannya oleh mayoritas dengan dalih demokrasi yang sebetulnya sudah liberal. Hak untuk hidup, beragama dan bernegara berada ditangan mereka yang menang secara kuantitas dan kualitas.
Hal itu diakibatkan, dibeberapa diskusi sering dituduhkan, bahwa mahasiswa hanya menyerahkan kertas “kosong” terhadap bangsa ini setelah rezim otoriter berhasil ditumbangkan. Konsepsi bernegara pasca otoriterisme tidak terformulasikan dengan baik, kehidupan bernegara dijalankan dengan sistem trial and error.
Seakan tidak ada formulasi negara yang tepat bagi indonesia. Jeleknya semua orang hendak menerapkan konsep negara yang diyakininya, baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, bukan yang dipahaminya. Sehingga melahirkan perdebatan yang ternyata wasting time. Seakan kita tidak paham dengan kondisi sejarah dan latar belakang berdirinya negara ini.
Dengan demikian, saat ini kita patut curiga dengan gerakan mahasiswa. Kemungkinan terulangnya gerakan yang bagi penulis “gerakan hermafrodit” (berkelamin ganda), mahasiswa yang mendirikan dan yang merobohkan suatu rezim, bukan hal mustahil akan terjadi lagi di bumi pertiwi ini. Saat ini, bukan rahasia mahasiswa sebagai pelaku konsumtivisme dan hedonisme yang notabeni gejala kapitalistik.
Mereka lebih dekat pada proses kapitalisasi ketimbang gerakan yang mengakar pada kelas bawah (buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dll) yang teralienasi. Mobil mewah dan produk mode buatan luar negeri begitu mudah ditemukan dikampus. Dengan kata lain, seakan-akan mahasiswa tengah membonceng dari pada mengurai dan mentabukan kapitalisme.
Apalagi dibeberapa momen penting mahasiswa tampak absen. Misalnya tragedi penembakan di Freeport Papua, pembantaian orang utan di Kutai Karta Negara, Mesuji di Lampung dan yang masih segar tragedy penenbakan Bima di NTB (Nusa Tenggara Barat). Padahal itu semua relasinya dengan hegemoni kapitalis atas sumber daya alam diwilayah masyarakat itu. Respon spontanitas yang menjadi ciri mahasiswa dalam melihat ketidak adilan sudah tak lagi berfungsi optimal akibat tergerus oleh isu individualitas yang akut. Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) tak lagi menarik dibenaknya untuk dituntaskan.
Reformulasi gerakan
Uraian kontradiksi sejarah gerakan diatas adalah cermin besar bagi mahasiswa untuk berkaca dan kembali merias gerakannya. Meskipun bukan harga mati, reformulasi gerakan menjadi hal yang paling mungkin untuk dilakukan saat ini. Mengingat mahasiswa adalah lahan basah bagi setiap kepentingan yang konteksnya masa depan tidak terkecuali masa depan para kapitalis.
Reformulasi gerakan dapat dilakukan dengan: Pertama, gerakan pembebasan kampus. Kampus sebagai produsen intelektual harus steril dari praktek kotor nan haram. Tak jarang praktek korupsi berseliweran dikampus baik yang dilakukan oleh petinggi kampus atau bahkan mahasiswa sendiri.
Beberapa waktu lalu UI (Universitas Indonesia) diguncang oleh isu korupsi oleh petinggi kampus. Praktek korupsi juga sering dilakukan mahasiswa, modelnya bisa berbentuk meloloskan event tertentu, membayar ketidakhadiran dan suap untuk meloloskan proposal penelitian untuk meraih nilai skripsi yang tinggi (Kompaskampus, 29/11/2011).
Juga pencamplokan ide sering dipraktekkan oleh mahasiswa. Misalnya jual beli skripsi di kios buku Taman Pintar Yogyakarta, hal serupa juga terjadi di Kwitang Jakarta pusat (Kompaskampus, 22/11/2011). Tidak menutup kemungkinan praktek ini juga terjadi di daerah lain. Jika dalam kondisi ini mahasiswa hendak membebaskan negara dari praktek KKN, maka yang terjadi adalah menyapu lantai kotor dengan sapu kotor yang terjadi tambah kotor.
Kedua, perkuat gerakan solidaritas. Berbicara solidaritas F. Budi Hardiman mengatakan bahwa Indonesia mengalami krisi solidaritas (Kompas, 29/11/2011). Untuk itu komunikasi antar kelompok gerakan jangan sampai terputus agar gerakannya tidak melangkah satu kaki tetapi melangkah dengan saling menopang.
Kita sudah cukup belajar dengan perjuangan kemerdekaan dimasa kerajaan yang terpisah-pisah dengan egonya masing-masing. Alhasil kegagalanlah yang dicapai, maka wajar jika belanda menjajah Indonesia 350 tahun sementara Jepang 2 ½ tahun karena nasionalisme mulai tumbuh.
Meminimalisasi gerakan yang sifatnya terpecah belah menjadi suatu keniscayaan “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Ada kesatuan suara dan gagasan secara nasional walaupun aksinya bisa dilakukan diberbagai tempat dan dalam bentuk yang berbeda, ini juga menjadi klarifikasi penulis terhadap Okki Susanto dalam “Mahasiswa dan Kolaborasi” (Kompas, 27/12/2011).
Ketiga, stop ketergantungan pada senior. Kebiasaan kelompok gerakan dalam mengoprasikan programnya mendapat kucuran dana dari senior harus dihentikan lebi-lebih senior yang sudah mendapat jabatan khusus. Hal ini akan membangun mental “balas budi” yang akan menumpulkan moral keadilan yang sedang tumbuh, membuat mahasiswa tidak bernyali untuk mengkritisi senior yang terlibat dalam praktek yang merugikan negara dan rakyat. Independensi gerakan menjadi harga mati yang harus dibayar jika mahasiswa serius hendak membangun negara ini.
Itulah sekelumit tawaran untuk menstimuli kevakuman gerakan mahasiswa. Namun demikian, niat tulus mahasiswa untuk berjuang melawan ketidakadialan tetap menjadi yang terpenting. Maka dengan belajar pada sejarah kita melakukan otokritik untuk sebuah gerakan yang lebih baik dan solid. yakinlah dan buktikan bahwa mahasiswa adalah ujung tombak perubahan bangsa. kemungkinan masih terbuka lebar untuk memperbaiki negara ini. optimislah!
*penulis adalah mahasiswa Unisma, anggota kajian budaya “nganthiwani” kota Malang
0 Comments