Rengungan Mahasiswa


Oleh: Herlianto A*
Sumber: hariansuara.com

Mendiskusikan  gerakan  mahasiswa ibarat melalui jalan berliku di tebing-tebing bukit dengan tanpa penerangan yang cukup. Dibutuhkan insting yang kuat agar dapat menikung dengan tepat, kaca spion “idealisme” harus dipasang pada posisi yang benar dan mudah dipantau  untuk menilik kebelakang (histori gerakan). Pandangan kadang terang kadang gelap. kadang menajam   membuat kita harus hati-hati  speed kendaraan disesuaikan dengan ketajaman tikungan, memperpelan diri jika sangat tajam dan menambah jika jalan sudah lurus agar tidak teroperosok kedalam jurang dan terbentur ketebing. Suatu perjalanan perjalanan yang sangat melelahkan tentunya.

Demikian ekspresi singkat yang bisa penulis ungkapkan setelah mencoba  mempelajari gerakan mahasiswa. Kontraversi bukti-bukti sejarah  bagai tikungan menajam membuat kita tidak mudah menyimpulkan dipihak mana pada waktu tertentu sebenarnya mahasiswa bergerak. Apakah untuk kepentingan dirinya, rakyat tertindas atau bahkan para elit  penguasa. 

Meskipun demikian, hal ini tetap menarik untuk dilalui dan diperbincangkan, mengingat mahasiswa sebagai bagian dari kehidupan sosial yang tak jarang dinilai sebagai ujung tombak perubahan sistem sosial-politik, ekonomi dan budaya suatu negara.  Dalil ini berangkat dari sebuah kondisi bahwa mahasiswa sebagai komunitas yang lebih maju dibandingkan dengan komunitas masyarakat lainnya. Lebih maju karena mahasiswa mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang masyarakat pada umumnya.

Di beberap kasus mahasiswa masih dipercaya sebagai motor dari gerakan sosial, yang akan mengantarkan suatu tatanan sosial pada sebuah perubahan kearah yang lebih baik tentunya. Untuk itu motor ini harus selalu diservis, dirawat secara berkala agar tetap dapat melaju dengan kencang dan “membonceng” visi dan misi kesejahteraan pada pintu gerbang peradaban yang manusiawi. Menjadi celaka tentunya jika motor ini malah mogok ditengah jalan, atau  terbentur ketebing karena sebuah faktor kerakusan akan kekuasaan hingga terjerembab pada jurang yang dalam, maka matilah gerakan mahasiswa.

Sejak kemunculannya gerakan mahasiswa dianggap sebagai pembela nilai dengan memegang senjata kebenaran dilengkapi dengan rasionalitas dan misionaris ideologi dengan profesi sebagai intelektual. Tiada lelah mendampingi, mengadvokasi, menciptakan penyadaran dan memberikan pendidikan alternatif bagi kaum tertindas untuk proses pembebasan dari hegemoni elit penguasa.  Kondisi ini menempatkan mahasiswa sebagai penjaga dari keseluruhan nilai yang ada di masyarakat.

Namun pada perkembangannya khususnya dalam era postmodernisme dan pasca-kolonialisme ini, dimana peperangan tak lagi berwujud fisik. common enemy tak mampu dideteksi secara mata telanjang. Peperangan hanya berwujud pengaruh yang terselubung dalam ideologi-ideologi dan pertarungan hegemoni. Hibriditas terus merasuk mencemari idealisme melalui rasialitas dan etnisitas. Kita dipaksa membebek pada ceceran paham kolonialisme yang masih mengakar kuat direlung kebudayaan kita sendiri . 

Pada kondisi ini,  ternyata mahasiswa tak mampu menunjukkan jati dirinya dalam kiprahnya, banyak dari mereka hanya terdiam di menara gading ilmu pengetahuannya hingga alpa dengan problematika yang ada dimasyarakat, alih-alih membebaskan rakyat dari penindasan, mereka pun rapuh terhadap godaan dari beberapa kondisi yang ada di depannya dan mudah terjebak dalam soal kekuasaan atau bahkan praktek korupsi meskipun takaran kecil disbanding koruptor kelas kakap di negeri ini.

Mahasiswa masa kini berkecendrungan pada penumpukan informasi dan hafalan-hafalan bak kamus kosa kata ataupun kamus Webster yang menyajikan definsi-definisi dan arti kata untuk menjawab menjawab segala bentuk pertanyan yang sifatnya definif, tetapi lemah dalam keterampilan menganalisis kondisi kehidupan yang wujudnya telah berupa simbol-simbol. 

Tragisnya hafalan-hafalan itu khusus untuk menjawab pertanyaan dosen dalam ujian-ujian agar memperoleh IPK (indeks prestasi komulatif) setinggi-tingginya guna kemudahan memperoleh kerja. Sayangnya, kesempatan kerja semakin menjauh sementara pencari kerja semakin meningkat akibat banyaknya universitas yang meluluskan mahasiswa dalam tiap tahunnya. Maka dengan demikian tingginya IPK bukanlah jaminan untuk mendapat kerja.

Memang peraihan IPK tinggi tidak sepenuhnya salah tetapi menjadi ironi dalam penciptaan generasi pejuang  yang diyakini mampu mengubah wajah bangsa yang seharusnya mampu membaca setiap kondisi yang mengancam terhadap tegaknya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat dengan memunculkan langkah  preventif dan solutif. Sebagai mahasiswa seharusnya tidak takut dengan nilai rendah tetapi takutlah ketika tidak mampu membekali diri dengan pengetahuan dan tak mampu membela mereka yang lemah.

Mahasiswa sebagai golongan intelektual menurut Pierre Bourdieu memiliki tanggung jawab universal yakni mempertahankan kebenaran dan keberpihakan pada yang tertindas baik secara ekonomi, sosial-politik dan budaya, hal itu karena;

1.      Intelektual merupakan fraksi subordinat dari kelas dominan yang memiliki solidaritas dengan kelas lain yang juga terdominasi.
2.      Intelektual secara tradisional mempunyai tanggung jawab moral.
3.      Intelektual mempunyai otoritas untuk melakukan refleksi atas realitas yang dihadapi. (Arizal Mutahir “intelektual kolektif  Pierre Bourdieu” 2011 hal 9)

Apa yang diwacanakan Bourdieu terhadap kaum intelektual (mahasiswa yang tergolong didalamnya)  adalah menempatkan intelektual sebagai agent of control dan agen of change yang sebenarnya sudah lama disandangkan pada mahasiswa. Tetapi saat ini penguatan terhadap gelar itu  semakin mengecil seiring menurunnya intensitas gerakan mahasiswa dalam membela hak minoritas. Justru saat ini gelar itu banyak diperankan oleh media dan partai politik terlepas dari kepentingan-kepentingan yang tersirat didalamnya.

Melemahnya gerakan mahasiswa salah satunya di dasari oleh munculnya sentimen-sentimen antar kelompok organisasi gerakan sehingga kolektifitas dari power of movement tersedot kedalam perang saudara. Wacana pluralism dan multikulturalisme tak mampu mengarahkan mereka pada kesadaran bertoleransi dalam perbedaan latarbelakang organisasi. 

Sehingga tidak jarang yang menjadi lawan di medan aksi adalah kawan sendiri, bentrok antar mahasiswa dikampus tertentu juga sering didasari oleh perebutan “kader” antara satu organisasi dengan organisasi gerakan lainnya. masyarakat pun bingung dan bahkan tidak percaya dengan ketulusan mahasiswa dalam pembelaannya. Deskripsi yang ditangkap oleh masyarakat adalah mahasiswa kerjanya bentrok dengan sesama mahasiswa, merusak fasilitas umum menghabiskan uang orang tua dan lulus kuliah jadi pengangguran.

Kemudian secara ideologi, mahasiswa saat ini terlalu opportunis dan pragmatis dalam gerakannya, ukuran kebenarannya adalah keuntungan secara finansial dan prestis dimata masyarakat. Mahasiswa tidak punya nyali mendobrak institusi ataupun perorangan yang berada dalam kondisi KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), musuh besar bangsa saat ini, selama yang bersangkutan mengucurkan dana operasi untuk organisasinya. 

Hal ini telah ditunjukkan oleh beberapa alumni organisasi tertentu yang tersangkut kasus korupsi baik yang ada di DPR maupun dipemerintahan, namun tak ada reaksi dan aksi dari kelompok gerakannya yang pernah membesarkannya dulu sebagai wujud tanggung jawab gerakan. Kondisi ini sebenarnya mengembalikan gerakan mahasiswa pada tahun 1965, yang mana organisasi mahasiswa menjadi underbown dari partai politik atau kepentingan sekelompok elite. Sehingga gerakannya tertuju pada penguatan-penguatan kepentingan partai politik dan elite bukan masyarakat marginal.

Sebagai insan yang berfikir kedepan, tentu kondisi ini menggelisahkan terhadap tegaknya negara indonesia secara khusus dan nilai-nilai keadilan, kesejahteraan dan demokrasi secara umum karena penggodokan generasi muda sebagai penerus estafet generasi tua terkesan kurang mapan. Kemudian kondisi politik indonesia yang carut marut juga banyak mempengaruhi terhadap perkembangan pola pikir dan pola tingkah generasi muda. 

Karl Mannheim dalam tesisnya mengatakan bahwa kerangka pandangan politik seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh peristiwa atau kondisi yang terjadi sewaktu kesadaran politik mereka sedang tumbuh. (Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, di tulis oleh Miftahuddin). Gerakan mahasiswa 1945 lebih bersemangat dengan tingkat keberanian yang tinggi karena memang terpengaruh oleh nuansa perjuangan merebut kemerdekaan ada banyak public figur yang bisa diacu sebagai referensi gerakannya. Namun sebaliknya dengan kondisi saat ini.

Lalu bagaimana dengan kondisi lingkungan mahasiswa saat ini adakah public figure yang bisa diacu?. Disana sini diselimuti oleh praktek korupsi, jual-beli undang-undang sebagai praktek tidak tahu malu di DPR, penebangan liar (illogical loging) untuk memperkaya diri, kekerasan atas nama agama, suku dan ras, pelanggaran HAM dan lain sebagainya. Mungkinkah mahasiswa mampu melepaskan diri dari ikatan mental merusak tadi hingga beberapa tahun kedepan mahasiswa mampu menempatkan diri sebagai motor perubahan bangsa ini?

Hilangnya nilai-nilai solidaritas yang berujung pertarungan antar mahasiswa dalam satu kampus dengan merusak fasilitas kampus menambah kewas-wasan masyarakat terhadap peran mahasiswa dalam menyiapkan masadepan bangsa yang ideal, damai, berkesejahteraan dan berkeadilan. Apalagi kasus konflik antar mahasiswa yang berujung anarki tidak hanya itu tetapi dikampus-kampus lain dalam skala yang lebih kecil pun tak jarang terjadi. 

Mahasiswa yang seharusnya  menjadi kognitariat muda, meyakinkan akan kemajuan bangsa di dimasa depan dengan peran positifnya dimasyarakat, malah terjebak dalam tawuran antar mahasiswa sehingga mereka lupa bahwa yang menajadi musuh sebenarnya adalah para mahasiswa dari dunia dan negara lain yang setiap hari tekun belajar dan membaca diperpustkaan. (Kompas, soegeng saryadi, 11/11/2011)
Franky Budi Hardiman secara terang-terangan mengatakan bahwa lemahnya control publik terhadap biokrasi, hilangnya nilai-nilai heroisme, munculnya terror terhadap kaum minoritas dan menguatnya materialisasi kebuasan srigala antar anak bangsa adalah disebabkan oleh pudarnya nilai-nilai solidaritas di benak generasi bangsa. (opini kompas 29/11/2011)

Selain itu, gaya hidup hedonis semakin merasuk dan mendera sebagian besar mahasiswa. Kampus sebagai institusi pendidikan dimana nilai-nilai perjuangan ditempa kini tidak lagi steril dari hedonism dan komsumtifisme. Kampus menjadi ajang pamer kekuatan financial dibandingkan pamer otak. Mobil mewah dan produk mode buatan luar negeri begitu mudah ditemukan dikampus. Secara sederhana perwujudan dari budaya ini adalah mahasiswa malas belajar, pandai bersolek dan suka bersenang-senang. Menurun Hermawan Sulistyo, kondisi ini menciptakan generasi ding-dong (playstation) yang tidak punya sensitivitas sosial. Kepekaannya pada mode dan fasion yang terbaru saja.

Jadi sebagai kesimpulan, tantangan gerakan mahasiswa begitu komplek tidak hanya dari internal tetapi juga eksternal tidak kalah signifikannya dalam mempengaruhi arah gerakannya. maka sudah waktunya kita menggugat mahasiswa dan gerakannya sebagai sebuah refleksi untuk mengembalikan kepada khittohnya sebagai agent of change dan control terhadap perubahan dalam masyarakat, agama, bangsa dan negara.

 *mahasiswa Universitas Islam malang, anggota kajian budaya "Nganthiwani" kota Malang

Post a Comment

2 Comments

  1. Mantap,

    Kak mau nanya, buku yang sering di baca apa untuk belajr ttg pergerkn mahasisw?

    ReplyDelete
  2. banyak yang bisa dibaca,, bergerak bersama rakyat karya Suharsih,, catatan seorang demonstran karya Soe Hok Gie

    ReplyDelete