Oleh: Herlianto A
Sumber: otosia.com |
Indonesia diprediksikan masuk jajaran tujuh prekonomian terbesar bersama Brasil, Rusia, India, China (BRIC), Meksiko dan Turki. Dengan produk Domesti Bruto (PDB) 5,1 triliun dolar AS dan PDB perkapita 18.000 dolar AS pada tahun 2030 dan proses industrialisasasi akan menjadi satu katalisator akumulasi modal menuju negara maju. Prediksi itu didasarkan pada kondisi Indonesia dengan skala ekonomi dan jumlah penduduk yang besar serta secara geografis Indonesia terletak ditengah negara-negara asia timur sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi terpesat di dunia.
Anggapan itu bukanlah sekedar ramalan atau prediksi yang khayal, tetapi itu merupakan sesuatu yang mungkin bisa terjadi apabila didasarkan pada kalkulasi yang tepat dan menagacu pada analisis dan data yang sah. Walaupun kemungkinan lain justru memunculkan kondisi yang berlawanan dengan skenario itu.
Misalnya ketatnya persaingan antar negara dibidang investasi, inovasi dan akuisisi teknologi akan diwarnai oleh friksi dan rivalitas yang kian massif dan kemungkinan berujung pada ketegangan militer dan perebutan perbatasan sangat besar sekali, perubahan pemain global juga memunculkan tantangan, pertumbuhan penduduk yang pesat serta urbanisasi yang overload akan memunculkan banyak masalah yang luar biasa diperkotaan mulai dari pemenuhan lapangan kerja, pendidikan, infrastruktur, perumahan, air bersih, transportasi fasilitas publik dan lain sebagainya.
Apapun alasannya, masyarakat normal akan tetap menginginkan Indonesia sebagaimana yang diskenariokan menjadi negara adikuasa, berkesejahteraan, berkeadilan, demokratis dan damai. Cuma untuk menjawab itu bukanlah sesuatu yang mudah, perlu adanya upaya yang panjang dan kesadaran kolektif untuk melakukan pembinaan dan pemberdayaan segala sumber daya yang dimiliki, lebih-lebih sumber daya manusia.
Jepang, Hongkong dan Singapura bukanlah negara yang kaya sumber daya alam, tetapi berkat pemberdayaan manusia yang tepat dan serius, maka keterbatasan SDA justru menempatkan mereka sebagai negara makmur dan diakui kekuatan ekonominya. Justru, perlu diakui indonesia sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi tetapi kita tidak mampu hidup sejahtera. Kekayaan alam yang kita malah dinikmati oleh asing, lihat saja Freeport di Papua, Blok Cepu di NTB, tambang mas di banyuangi, Exxon mobile dan Chevron di Bojonegoro dsb.
Benarkah ketidak beranian pemerintah untuk menasionalisasi semua kekayaan alam karena keterbatasan SDM yang mampu mengolah SDA yang ada. Lalu bagaimana dengan 54 tahun lalu ketika Sukarno menasionalisasi kekayaan indonesia. Apakah benar kemampuan manusia kita semakin mundur? Atau justru kita tidak mampu menepis neoliberalisme, neokolonialisme dan kapitalisme. Lalu siapa kemudian yang akan melawan?
Salah satu tumpuan dalam menggoalkan skenario itu adalah generasi muda saat ini salah satunya mahasiswa dan gerakannya. Walaupun saat ini banyak yang menolak untuk menempatkan mahasiswa pada sentral perubahan dan kontrol. Karena perubahan bukan semata-mata tanggung jawab mahasiswa tetapi tanggung jawab setiap warga negara yang berkesadaran. Perubahan dasarnya adalah bukan fisik atau tanggung jawab secara satatus tetapi dasarnya adalah kesadaran yang muncul dari dalam diri setiap warga yang merupakan bagian dari negara ini. dengan demikian tanggung jawab perubahan tidak ada kaitannya dengan status ataupun umur dari manusia, melainkan seberapa sadar dan kemauan yang dimiliki untuk segera beranjak melakukan perubahan itu sendiri.
Tulisan ini pun bukan untuk melimpahkan beban negara kepada mahasiswa tapi suatu fakta yang tidak bisa pungkiri bahwa kita adalah penumpang dalam satu kapal yang sama yakni indonesia dan bumi tempat kita hidup, tetapi masing-masing penumpang memiliki tujuan dan kondisi yang berbeda. Minoritas kecil berada dalam kabin yang mewah dan fasilitas yang lengkap dan menyantap makanan yang sehat dan bergizi, sementara mayoritas berada pada sebagaimana zaman budak perjalannannya sengsara dan mengenaskan.
Maka kapal yang penuh ketidakadilan yang sedang melaju dimedan irasionalitas ini mustahil bisa seimbang berlayar dan selamat sampai ke pelabuhan. Pelayaran demikian ditakdirkan terbentur gunung es dan tenggelam, jika itu terjadi maka kita semua akan karam bersama kapal tersebut, demikian pidato Fidel Castro yang disampaikan pada konferensi tingkat tinggi para pemimpin negara selatan yang tergabung dalam kelompok 77 di Havana pada 12 April 2000 (Zaviera: 2007:144).
Disatu sisi lain, hidup ini bukanlah masa sekarang, ada masa depan yang pasti dihadapi, berbicara masa depan kurang tepat kiranya jika yang dibahas para kaum tua (secara umur). Artinya mau tidak mau kesadaran, dan gerakan mereka akan dibatasi oleh usia. Masa depan ikonnya, tanpa mengenyampingkan peran kaum tua dalam membina generasi muda, adalah para pemuda dan mahasiswa yang secara fisik lebih fresh dan memiliki waktu lebih mungkin untuk mempelajari masa depan melalui masa lalu, serta secara natural masa depan adalah warisan bagi para pemuda.
Belum lagi mahasiswa sebagai sekelompok orang yang belajar dijenjang pendidikan yang lebih tinggi dari pada masyarakat pada umumya. Maka secara hitungan matematis mahasiswa seharusnya memiliki pengetahuan, kesadaran dan motivasi yang lebih tinggi untuk mengawal negeri ini kedepannya. Jika tidak, ancamannya adalah kegagalan dimasa depan untuk membina suatu negeri yang berkepribadian, berkedamaian, berkeadilan, demokratis dan sebagainya. Para kaum buruh, Kaum Miskin Kota (KMK), para nelayan, petani dan masyarakat marjinal lainnya akan kehilangan pahlawan, yang berdasarkan sejarah, mahasiswa adalah aspirator mereka.
Bagaimana dengan keadaan saat ini, sudahkah upaya mahasiswa di tengah bergejolaknya isu bahwa gerakan mahasiswa telah vacuum, opportunis, anarkis, apatis dan hedonis dsb, mengarah pada pencapaian itu? Setelah peristiwa Mei 1998 sakralitas mahasiswa dan gerakannya dimata masyarakat seakan telah lenyap. Gerakan perubahan mahasiswa seakan hanya pada momen itu saja, memang secara an sich itu suatu keberhasilan yang luar biasa yang pernah diraih oleh mahasiswa setelah 32 tahun terkungkung oleh rezim Orde baru.
Namun keadaan sekarang berbicara lain, saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa tengah terjebak pada gerakan yang Dramaturgi. Gerakan eksistensi diri, dan melupakan esensi kenapa mereka harus turun ke jalan. Pertunjukan spektakuler demonstrasi menjadi kebutuhan yang tidak autentik yang berdasar pada teralienasinya masyarakat bawah, sehingga kesannya menjadi gerakan yang artifisial di jalanan.
Menurunnya arti penting mahasiswa bagi perubahan bangsa bukan karena jumlah mahasiswa yang semakin banyak, tetapi keadaan mahasiswa yang semakin impersonal. Tidak berimbangnya daya emansipasi dan daya bersenang-senang yang terlalu besar menjadikan nuansa kritis mulai kosong dibenaknya. Gaya hidup semakin merong-rong dan menggrogoti idealismenya, kebutuhan citra kelompoknya menjadi pemicu parsialitas gerakan dan menempatkan ideologi masing-masing yang paling benar. Akhirnya tanggung jawab bersama untuk mengangkis kaum duafa’ terlampaui. Siapa lawan dan siapa kawan menjadi kabur.
Tontonan sajian sederet anarkisme bagi masyarakat dimedia-media. Bahkan fasilitas masyarakat menjadi korban anarkisme mahasiswa, ini juga menjadi pemicu pesimisme masyarakat bahkan mahasiswa yang lain. Maka wajar jika masyarakat merasa tidak percaya dengan mahasiswa saat ini. Namun bukanlah suatu hal yang benar menempatkan pesimisme ini sebagai suatu sebab lepasnya tanggung jawab para mahasiswa terhadap kemajuan bangsa.
Jika anarkisme, hedonisme atau bahkan apatisme menjadi wajah dan penyebab tak bernilainya mahasiswa dan gerakannya maka ini menjadi tugas baru untuk dibedah secara komprehensif dengan suatu model kolektif kolegial tanpa harus saling menyalahkan. Hal ini salah satu kaitannya dengan kampus dimana mahasiswa menimba ilmu.
Ini bukanlah suatu bentuk pemaksaan terhadap mahasiswa untuk menanggung derita rakyat dan negara saat ini dan masa yang akan datang. Tetapi mereka adalah cikal-bakal pemimpin masa depan yang lebih mungkin mengawal perkembangan negara mulai saat ini. Karena di bangsa ini terlalu sulit, khususnya di generasi tua, untuk mencari siapa sebenarnya yang memiliki kesadaran akan perbaikan bangsa, negara ini terlalu kronis untuk bertanya masih berapa banyak para generasi tua yang peduli terhadap negara dan bersih dari praktek korupsi saat ini.
Maka sebenarnya tantangan masa depan lebih berat dari saat ini. jika kita yakin dengan setumpuk teori bahwa lingkungan akan membentuk watak dan mental seorang manusia, maka dengan kata lain masa depan bangsa ini adalah praktek korupsi karena itulah lingkungan kita saat ini. Terlalu mudah bagi para mahasiswa untuk menyaksikan bagaimana lihainya para koruptor mengembat uang rakyat tanpa harus terjerat hukum.
Maka mengupayakan untuk mengubah lingkungan dari kebiasaan korupsi, kolusi dan nepotisme wajib dilakukan mulai saat ini. perlu ada pemotongan satu gerasi yaitu gerasi koruptif menjadi generasi bebas KKN, jika tidak scenario 2025 dan harapan menjadi negara adikuasa 2045 akan menjadi utopia belaka.
Menyatukan barisan diantara sesama agen gerakan tanpa mengesampingkan ideologinya masing-masing adalah langkah yang paling mungkin untuk dilakukan. Tanpa itu, ditengah massifnya serangan ideologi kapitalis, gerakan mahasiswa tidak berarti apa-apa, gerakannya hanya mampang dikoran dan media lain, tetapi tidak memberikan sumbangsih apa-apa terhadap perubahan bangsa ini.
0 Comments