Oleh: Herlianto A
Sumber: romadecade.org |
Sukarno
pernah menegaskan dalam pledoinya pada saat diadili oleh kolonial belanda di
Bandung 18 Agustus 1930 bahwa imperialisme wujudnya tidak hanya pedang atau
bedil, meriam, kapal perang ataupun perluasan dengan kekerasan senjata lainnya,
tetapi juga bisa hanya dengan “putar
lidah” dan cara halus lainnya.
Modus ini yang disebut dengan penetration pacifique. Berangkat dari
penjelasan itu, sebenarnya sudah sejak 80an tahun yang lalu diperingatkan oleh Founding Father bangsa ini bahwa
penjajahan memiliki dua wilayah yang berbeda yaitu nyata dan maya. Namun
demikian, keduanya sama-sama menindas dan mengkerdilakan kebebasan (freedom).
Kita, Indonesia, sebagai suatu bangsa di alam nyata memang
telah merdeka, proklamasi telah dikumandangkan. Legalitas yang sah (de jure) telah kita kantongi dan
pengakuan hakiki dari masyarakat internasional sebagai suatu bangsa berdaulat (de facto) telah didapat. Tapi sayang di alam
maya kita tidak punya legalitas apapun begitu juga dengan pengakuan sebagai
suatu bangsa yang merdeka. Sementara penjajalan di alam maya masih legal dan
dipraktekkan oleh negara-negara superior di bumi ini.
Alam
maya, jika kita blejeti adalah alam pengaruh atau alam kesadaran. Dan ternyata teritorial kesadaran
kita masih dijajah dan diinjak-injak oleh pengaruh yang lebih superior.
Kita hanya bisa terperangah setelah PT. Freeport mengeruk habis tambang mas di
papua, kita kaget setelah ladang minyak disedot oleh Exxon Mobile di
Bojonegoro, kita hanya bisa menyesali setelah tambang batu bara habis oleh
asing di Kalimantan, dsb.
Ironinya itu terjadi sejak puluhan tahun yang lalu
hingga sekarang. Padahal indonesia adalah negara yang merdeka. Lalu siapa
sebenarnya yang menyerahkan kekayaan alam itu kepada asing? Bukankah kita
selalu diingatkan oleh UUD 1945 pasal 33 yang bagaikan “alarm” setiap saat,
bahwa kekayaan alam itu adalah milik kita dan untuk kesejahteraan rakyat
indonesia.
Ternyata,
kita masih terbius oleh “rayuan” penguasa yang katanya Indonesia masih belum
punya cukup ahli untuk mengelola kekayaan alam sendiri hingga tidak berani
menasionalisasi SDA yang ada. Tapi mengapa 50 tahun yang lalu Sukarno bisa
menasionalisasi seluruh aset kita? Benarkah intelektualitas bangsa ini setiap
tahun semakin menurun dan semakin terbelakang? Jika demikian, berarti dari
tahun ke tahun masyarakat Indonesia tengah menghitung mundur menunggu
kehancuran bangsa ini.
Dulu bisa mengapa sekarang tidak? Bukankah, jika
dibandingkan dengan era Orde lama, kita sudah memiliki banyak tenaga ahli baik
yang lulusan luar negeri atau bahkan yang bekerja puluhan tahun
ditambang-tambang yang ada? Penulis kira semua dari kita sepakat bahwa itu
tenaga ahli yang cukup untuk menegelola dan menasionalisasi “harta” Indonesia.
Bahkan
saat ini, kita paham bahwa asing bercokol di bumi pertiwi ini dan
mengeksploitasi kekayaan alam yang melimpah ruah. Kita menggigit jari sebagai
pemilik dari kekayaan itu. Sekali lagi saya tekankan “kita adalah pemilik dari
kekayaan itu”. Mengapa kita tawadu’ pada
secarik kertas yang disebut kontrak?. Kontrak bukanlah kehendak ilahi dan juga
bukan kebenaran, ia adalah kehendak kapitalis untuk menyembunyikan kepentingan
dan posisi tawarnya.
Kontrak
memang terlihat adil dan sejajar, tetapi sejatinya kita bangsa Indonesia berada
pada posisi yang rendah. Kita selalau mendapat besaran persen dibawah asing.
Lalu kenapa kita tidak berani melawan itu semua secara bersama-sama? Mengapa
kita masih menggantungkan nasib kita pada penguasa disetiap pemilu yang tidak
pasti itu.
Kita masih memilih memurkai tuhan kita hanya karena kita pasrah pada
penguasa dan tidak berani berusaha dengan merebut kekayaan milik kita sendiri.
Petuah suci dalam pembukaan UUD 1945 bahwa segala bentuk penjajahan harus
dilawan dan dihapuskan dari muka bumi ini masih sebatas “ditasbihkan” setiap
waktu dan jauh dari tanda-tanda pengejawantahannya.
Membalik Hirarki Maslow
Itulah
yang disebut oleh Karl Marx “kesadaran palsu”, sementara Antonio Gramsci
menyebutnya “hegemoni”, Georg Lukacs
“kesadaran parsial”, Jurgen Habermas
“komunikasi yang terdistorsi” dan Roland Barthes “Mitos” (Adian : 2011). Sebutan-sebutan
itu adalah untuk menggambarkan kesadaran manusia yang berada pada bukan yang
sebenarnya.
Upaya itu adalah untuk menjelaskan bentuk-bentuk kolonialiasasi di
alam maya nan semu. Untuk membuat peta bagaimana sebenarnya kapitalisme,
liberalisme dan neoliberalisme mengalienasi eksistensi kaum buruh dan rakyat
sebagai “the owner” dari hasil
produksi yang dibuatnya dan kekayaan yang dimilikinya tanpa menggunakan
alat-alat tempur.
Melalui surplus
value (nilai lebih) dan fetitisme komuditas, kapitalis menempatkan para
buruh dan rakyat sebagai komuditas bukan sebagai penghasil. Buruh dihitung sama
dengan bahan-bahan mentah lainnya. Mereka bekerja berdasarkan waktu kerja yang
diperlukan untuk hidup. Jika dibutuhkan 5 jam kerja untuk bertahan hidup, maka
(jika harga kerja dalam satu jam Rp
5.000/jam) ia bernilai Rp 25.000 sehari. Sementara kontrak yang disepakati se-hari
8 jam kerja, berarti 3 jam sisanya adalah milik kapitalis. Rakus memang!
Sementara kita masih terjebak pada Hirarki Maslow yang di gagas oleh
Abraham Maslow, bahwa aktualisasi diri menjadi entitas yang terpenting dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan melupakan keselamatan dan
fisiologi gerakan.
Padahal tidak semua situasi relevan dengan teori Maslow,
dalam suasana yang menjauhi keadilan dan kesejahteraan sebagaimana yang
dirasakan oleh sebagian besar rakyat indonesia saat ini, maka Hirarki Maslow harus dibalik, aktualisasi
diri diletakkan paling bawah diikuti oleh kebutuhan penghargaan, sosial,
keselamatan dan kebutuhan megkonkretkan perlawanan di yang paling atas. Perlawanan
yang utama dilakukan bukan pencintraan diri demi status sosial.
Jika hal ini mampu kita
realisasikan, maka tak ada lagi kesadaran palsu, tak ada lagi kesadaran
parsial, kita bisa melakukan “kontra hegemoni” dengan menepis distorsi
komunikasi dan melogikakan mitos-mitos globalisasi dan pasar bebas. Kekayaan
dan kedaulatan akan kita rebut, nasionalisasi akan terealisasi, harga BBM akan
murah dan rakyat Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaan di dunia maya.
Peluang Gerakan di Dunia Maya
Melalui meletakkan aktualisasi diri pada
posisi paling bawah atau bahkan kita hapus saja dari daftar Hirarki Maslow, maka kita akan leluasa
memanfaatkan intrumen dunia maya untuk mengadvokasi dan memobilisasi massa
untuk bergerak merebut kekayaan alam yang kini dihisap oleh asing. Kita
maksimalkan penggunaan alat-alat komunikasi dan jejaring sosial yang daya
jangkaunya sudah tanpa batas. Kita persempit ruang geraka kapitalis yang selama
ini menggunakan instrumen itu untuk menjajah alam maya kita.
Analisis
tentang keserakahan kapitalis dan liberalisme dan kejahatan yang lainnya kita
salurkan lewat Hand phone yang saat
ini semua orang memilikinya agar setiap saat bisa dibaca dan disebarkan. Lewat
jejaring sosial facebook, twitter dan
sejenisnya kita serukan perlawanan, sehingga mental melawan menagalir kesemua
elemen rakyat dan memunculkan gerakan kolektif.
Jadi jangan sekedar up date status yang intinya “narsis”
diri belaka akibat tuntutan aktualisasi diri yang berlebihan dan itu yang
ditanamkan oleh kapitalis sejak dini pada generasi kita. Sederhananya, massifnya
bahasa perlawanan di dunia maya akan menentukan seberapa kuat daya yang kita
miliki untuk melakukan gerakan revolusioner merebut hak kita.
Jadi,
mari kita bunuh nafsu egoisme pribadi kita masing-masing agar bersemi gerakan
kolektif. Kita masih percaya pada
pepatah ”bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, lebih serius menangani
bangsa ini, jangan lagi pasrah pada penguasa yang cuma “bersilat lidah” pada
saat pemilu dan lupa janji setelah terpilih. Kita punya kekuatan sendiri yang
sebenarnya kekuatan paling hakiki dan dahsyat yaitu “people power”. Hidup rakyat!, hidup kaum tani!, hidup para nelayan!
dan hidup para mahasiswa!
0 Comments