Oleh: Herlianto A
Sumber: merdeka.com |
Tumbangnya rezim orde baru menjadi
angin segar bagi masa depan demokrasi Indonesia. Kebebasan (freedom) dapat didistribuskan secara
merata ke setiap orang. Para mahasiswa dan agen-agen gerakan lainnya tak perlu
lagi bersembunyi berdiskusi, tak ada lagi introgasi dari intel di setiap
bertukar gagasan berapapun jumlah anggota yang terlibat.
Kebebasan
berekspresi betul-betul terwadahi, pers “menggonggong” bebas dimana-mana,
setiap tempat menjadi mimbar bebas berorasi untuk mengkritisi status quo. Pun segerombolan orang yang mengaku aktivis tanpa
rasa malu berlomba-lomba mencalonkan diri di bursa DPR maupun di eksekutif
dalam pemilu pasca reformasi. Perjuanngannya perlu dibayar oleh roti kekuasaan.
Namun ada yang terlupakan dibalik pergantian
Orde itu yaitu hilangnya nyawa para martir. Hilangnya puluhan nyawa pada peristiwa
Malari (1974), Tragedi tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989),
penculikan aktifis, Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II (1998). Kemudian
hilangnya beberapa pembela HAM, misalnya
Munir, Marsinah, Wiji Tukul dsb. Yang sampai saat ini belum ada keadilan yang
berarti bagi para keluarganya.
Kita patut bertanya, sampai sejauh
mana sebenarnya negara ini berniat
menuntaskan persoalan pelanggaran HAM berat yang terjadi selama proses perebutan
keadilan. Sudah berpuluh tahun belum tercium adanya upaya yang serius dari
pemerintah untuk segera mengadili para bodyguard
yang dengan kejamnya membunuh para aktivis dan rakyat.
Atas nama status quo dan pertaruhan jabatan,
mereka “membedil” para agen-agen pencari keadilan. Mereka yang mengais keadilan
dijalan, yang berteriak berorasi dengan damai dianggap provokator bagi setiap
praktek anarkisme yang terjadi.
Komnas HAM yang dibentuk oleh
pemerintah juga tidak punya nyali untuk mengusut pembunuhan atas nama
kekuasaan. Ia lebih tertarik menyikapi pelanggaran HAM kecil yang sejatinya
masih pada kawasan upaya pencitraan pemerintah. Seakan pemerintah melalui Komnas
HAM cepat tanggap menyikapi pertikaian antar warga, kekerasan rumah tangga dsb.
Dengan itu pemerintah mampu menanam kuat akar legitimasi kekuasaannya dimata
rakyat.
Memang, Penyelesaian terhadap sekecil apapun pelanggaran harus
dilakukan. Pelanggaran tetap pelanggaran bagaimanapun besarnya. Cuma pertanyaan
besarnya mengapa Komnas HAM tidak berani menggugat terhadap pelanggaran HAM
berat sebagimana dipaparkan diatas? Apakah memang sengaja tidak dilakukan
karena keterbatasan tenaga? Atau justru sudah disetting oleh kepentingan?
Di penghujung 2011 lalu, kita
dikagumkan oleh diresponnya pelanggaran agresi militer Belanda 1947 di
pengadilan di Denhaag. Pembunuhan ratusan orang tak bersalah di Rawa Gede
Jakarta itu di usut dan menang. Pihak Belanda bertanggung jawab dengan membayar
kompensasi terhadap anak cucu (ahli
waris) para korban agresi belanda ke I itu. Tragedi Rawa Gede ini mengajarkan
pada kita dan pada bangsa ini bahwa tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikan
setiap kasus HAM.
Kita
bisa bayangkan tragedi yang terjadi sekitar 63an tahun yang lalu masih bisa
digugat, lalu kenapa bangsa kita seakan acuh tak acuh dengan kasus HAM berat
yang justru kejadiannya berlangsung tidak sampai berpuluh tahun bahkan
pelakunya pun hidup bebas berkeliaran di negeri ini. Misalnya saja kasus
penembakan pada Mei 1998, yang terjadi sekitar 14an tahun yang lalu, tetapi
tidak ada upaya lanjut oleh pemerintah untuk menyelesaikannya secara hukum.
Yang mana pada saat itu Panglima TNI adalah Jendral Wiranto dan Prabowo
Subianto pejabat keamananya. Bagi penulis mustahil mereka tidak mendapat
laporan tentang pembunuhan yang dilakukan oleh bawahannya baik yang di Semanggi
maupun di kampus Trisakti. Tepat kiranya, jika kedua orang ini yang harusnya
dimintai keterangan bahkan mereka bertanggung jawab terhadap kematian itu,
artinya mereka harusnya diproses secara hukum.
Tapi apa? Mereka bebas, bahkan
menjadi ketua partai dan rame-rame sebagai kandidat presiden di pemilu 2009.
Malah 2014 mereka tanpa ada rasa beban kembali mencalonkan diri sebagai
kandidat presiden. Lalu bagaimana dengan, Bu Hiratte Yoga, Ibunda Elang Mulia
Lesmana korban tragedi Trisakti, Bu Lasmiati yang putra kesayangannya, Heri
Hartanto ditembak mati dibawah tiang bendera di kampus Trisakti pada saat
berorasi, serta para keluarga korban yang lain?
Tidakkah kita para aktivis
gerakan, para akademisi, para hakim, rakyat dan negara ini terenyuh dengan
tirisan air mata ibunda para koraban-korban itu? bagaimana jika pembunuhan itu
justru menimpa keluarga kita? apa yang kita bisa ungkapkan? Renungkanlah wahai
para penegak hukum dan mereka yang telah menikmati sari-sari reformasi di kursi
empuk kekuasaan!
Apalagi
ada selentingan bahwa chaos pada Mei
98 itu tidak ada bedanya dengan terjadinya peristiwa Malari 1974 yaitu
pertarungan antar Jendral Scorpion. Jika pada peristiwa Malari pertarungan
antara Soemetro selaku pangkomkamtib dengan Ali Mertopo selaku Aspri (Asisten
Pribadi) Opsus Suharto. Maka pada Mei 98 adalah Prabowo Subianto dengan
Wiranto.
Kemungkinan ini bisa saja jika kita melihat ambisi dari kedua jendral
ini untuk duduk sebagai orang nomer satu di negeri ini. Hal lain yang perlu
digaris bawahi adalah pada saat itu posisi tentara masih kuat di mayapada
perpolitikan Indonesia. Dwi fungsi TNI belum dicabut dan posisi tentara masih
kuat di legislatif, sementara Suharto sudah semakin terdesak oleh tuntutan
massa agar segera mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Artinnya, ini
peluang luar biasa bagi kedua jendral tadi untuk merebut kursi presiden pasca
turunnya Suharto.
Maka
sebenarnya terlepas dari kondisi ekonomi yang mencekik rakyat oleh krisi
ekonomi, ada kepentingan yang diboncengkan pada gerakan mahasiswa dan rakyat.
Untungnya, kata Gunawan Muhammad, Suharto dengan cepat mengundurkan diri bahkan
sebenarnya tidak terduga ia akan mundur. Maka kemungkinan besar strategi dari
kedua jendral tadi belum sempat tersusun rapi untuk merebut kursi yang
ditinggalkan Suharto.
Pemerintah Give UP
Belakang muncul upaya presiden SBY
untuk meminta maaf kepada para keluarga korban
pembunuhan 1965, Talang Sari, Tanjung Priuk, kasus Mei 1998 dan beberapa
kasus HAM berat lainnya. Hal serupa juga pernah dilakukan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tatkala ia memimpin NU (Nahdlatul Ulama). Ia minta maaf atas keterlibatan Banser pada tragedi
pembantaian rakyat atas nama penyelamatan bangsa oleh bahaya Komunisme dan PKI.
Tentu sebagai rakyat yang arif dan bijak, keluarga korban akan menerima maaf
baik yang disampaikan Gus Dur maupun yang akan disampaikan SBY. Tetapi pada
persoalan penegakan hukum dan masa depan HAM di Indonesia hal minta maaf
menjadi tidak cukup. Untuk menjamin masa depan hukum dan HAM, tidak ada alasan
untuk tidak memproses setiap para pelaku pelanggran HAM.
Tidak bisa dibayangkan, jika setiap
pembunuhan hanya cukup diselesaikan dengan minta maaf atau hanya dengan alasan
klasik terlalu menghabiskan waktu dan tenaga. Karena persoalan bangsa yang lain
juga tengah menunggu untuk diselesaikan. Bagi penulis ini naïf sekali, seakan
semua persoalan negara ini dikerjakan oleh tangan seorang Presiden.
Lalu
bagaimana dengan pembantu-pembantu presiden yang harusnya ditekan oleh presiden
untuk segera menyelesaikan kasus HAM ini? Dengan demikian, pemerintah punya tanggung
jawab untuk menjelaskan pada rakyat apa yang sebenarnya terjadi dibalik
pembunuhan-pembunuhan itu. dan mengapa mereka seakan tidak perlu diadili?
Terus terang sampai saat ini ada ketidakrelaan
dari para keluarga korban. Mereka sepenuhnya meminta pemerintah untuk tidak
main-main dengan kasus HAM. Bukti kongret pada 14 Mei 2012 para keluarga korban
HAM dari beberapa penjuru negeri ini, mendatangi watimpres untuk menyerahkan
1.250 amplop surat tuntutan mereka terhadap dibunuhnya anggota keluarganya.
Tetapi itu pun tidak direspon oleh pemerintah, ratusan surat itu hanya menjadi
tumpukan arsip diruang watimpres.
Bahkan
kasus-kasus kekerasan HAM yang akhir-akhir ini terjadi dibumi pertiwi tidak
ditanggapi secara serius. Wajar jika beberapa LSM kemudian melaporkan Indonesia
ke PBB atas pelanggrana dan kekerasan HAM. Ini bukan suatu upaya untuk
merendahkan martabat bangsa, tetapi ini suatu langkah serius agar ada desakan
kepada pemerintah dan beberapa instrumen hukum negara lainnya, kerena selama
ini di Indonesia penegakan HAM bisa dibilang jarang disuarakan.
Para mahasiswa
pun lebih cendrung memilih isu-isu politis dalam setiap aksi dan tuntutannya.
Padahal sebenarnya isu HAM ini tidak kalah krusialnya dengan isu politik dan
kenaikan harga BBM. Ini menyangkut masa depan mahasiswa yang aktifitasnya
menyuarakan hak rakyat.
Hal lain yang menunjukkan ketidak
keseriusan pemerintah dalam mengusut kasu HAM adalah pemangkasan terhadap dana
anggaran untuk Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LN HAM) dalam APBN kita. Ada
tida lembaga nasional HAM yang dipangkas yaitu Komnas HAM dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masing-masing 30% dari anggaran sebelumnya.
Sementara Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Prempuan (Komnas Prempuan) senanyak
85% dari anggaran sebelumnya. Ini jelas
ada upaya mematikan langkah komnas HAM dalam kinerjanya mengusut kasus HAM
meski sebenarnya sampai saat ini belum
ada kasus HAM besar yang berhasil dituntaskan oleh komnas HAM.
Jadi, jika kita menyadari bahwa
negara ini perlu menciptakan referensi sejarah yang tegas tentang HAM. Maka
kita, para aktivis gerakan, akademisi, penegak hukum dan rakyat harus saling
bergandengan tangan mendorong pemerintah untuk segera mengusut tuntas para
pelaku pelanggaran HAM. Jika tidak maka selamanya akan menjadi trauma sejarah
bagi generasi muda.
0 Comments