Oleh: Herlianto A
Sumber: BBC.com |
Masih belum pudar betul di ingatan kita, peristiwa-peristiwa yang membuat wajah bangsa kita berbeda. Perubahan yang selalu diawali tontonan tragis atau bahasa kerennya perjuangan. Misalnya peristiwa melawan rezim Sukarno yang kemudian lebih dikenal sebagai gerakan angkatan 66, peristiwa Malari (malapetaka 15 Januari) yang lebih dikenal perlawanan angkatan 78 dan gerakan penggulingan Suharto disebut angkatan 98.
Unsur terpenting dari gerakan ini adalah adanya tindakan luar biasa (extra ordinary action) dari mahasiswa dan rakyat yang mengakibatkan adanya reaksi penting pada tatanan yang telah atau merasa mapan. Melawan kekuasaan yang tanpa disadari bergeser kearah otoritarianisme, pembunuhan karakter dan pembredelan terhadap setiap suara yang lantang membeberkan praktek hegemoninya.
Melalui kelengkapan alat negara dari yang ideologis (ideological state apparatus) hingga yang represif (Represif state apparatus) yang dimiliki, rezim menyemai status quonya. Louis Althusser dalam TENTANG IDEOLOGI Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (2010) memetakan masing-masing kedua alat negara tersebut yaitu pendidikan, agama, budaya, media sebagai yang ideologis dan aparat atau tentara sebagai yang represif.
Maka siapa yang mampu memaksimalkan alat itu, akan mampu bertahan paling lama ditahta kekuasaan dalam suatu negara. Soekarno mampu secara ideologis tetapi lemah di wilayah represif, akhirnya ia pun terjungkal oleh ABRI (sekarang TNI). Sementara B.J. Habibi, Megawati Sukarno Putri dan Abdurrahman Wahid (Gusdur) malah tidak memiliki kedua alat vital itu. Akhirnya ketiganya tidak “puas” menikmati kursi empuk kekuasaan.
Habibi hanya mengais kekuasaan sisa Suharto selama 1 tahun, Gusdur yang baru memimpin 2 tahun terjungkal di sidang istimewa MPR oleh tangan-tangan yang mengaku reformis. Mega pun hanya menjalankan sisa kekuasaan yang kurang lebih hanya 3 tahun, dan tak bisa melanjutkan kepemimpinannya karena dipaksa patuh pada hasil pemilu dimana rakyat memilih Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Berbeda dengan yang satu ini, Suharto mampu memaksimalkan kedua alat kekuasaan itu baik ideologis maupun alat represif. Untuk ideologisasi Suharto menciptakan sistem pendidikan yang sentralistik dengan kurikulum terpusat pada rezim.
Akhirnya buku-buku yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah buku atas nama penguatan kekuasaan Suharto dan antek-anteknya. Media yang terlihat “over” mengkritisi agenda pembangunan (developmentalism agenda) langsung ditutup, misalnya Kompas, Tempo dan beberapa media Mahasiswa yang dicabut surat izinnya dengan alasan subversif.
Tontonan film Gerakan 30 September penumpasan PKI (G30/S). Film ini mengagungkan keperkasaan Suharto dalam menumpas PKI walaupun sebenarnya sampai saat ini masih menjadi perdebatan antara menjalankan tugas negara menciptakan keamanan dan egoisme pribadi Suharto dengan kekuasaan.
Pemutaran film ini berbarengan dengan tanggal 30 September setiap tahunnya. Lucunya. Para guru disekolah dari tingkat Dasar hingga Tingkat atas mewajibkan siswanya nonton dan membuat resuman untuk diserahkan pada guru. Dengan ini Suharto menjadi idola di benak anak sejak dini.
Di wilayah represif, Suharto sudah tidak diragukan lagi Jendral-Jendral besar ada dibawah genggamannya, sebut saja Kemal Idris, Soemetro, Ali Mertopo, Nasution pun berhasil dilumpuhkan pengaruhnya oleh Suharto dan di “empit” dibawah ketiak kekuasaaannya dengan mode dia ditempatkan di legislatif. Melalui alat ini Suharto mengkerangkeng kebebasan perfikir dan beraspirasi masyarakat sipil dan intelektual mahasiswa.
Penculikan terjadi dimana-mana, Opsus (Operasi Pasukan Khusus) yang merupakan asisten pribadi (Aspri) Suharto berkeliaran disela-sela diskusi mahasiswa. Petrus (penembakan misterius) banyak berhasil menghilangkan nyawa pembangkan bagi rezim Orba. Dengan demikian maka wajar bila Suharto mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 32 tahun.
Hal serupa juga banyak dilakukan oleh pemimipin otoriter dibeberapa negara misalnya Husni Mubarok (Mesir), Ben Ali (Tunisia), Muammar Khadafi (Libya) yang mampu bertahan dalam jangka yang lama meskipun akhirnya harus mengakui kekuatan people’s power.
Anarki Agen Perubahan
Penguasa yang mampu memaksimalkan dua alat negara akan sulit untuk dirobohkan, semuanya ada dibawah kontrol manipulasi dan spekulasi. Rakyat dibuat haru oleh kebohongan-kebohongan misinya. Agen intelektual tidak diberi ruang untuk melakukan langkah ekstra perlementer mengimbangi kesewenang-wenangan, siapa berani akan di “dooor”.
Maka, tanpa bermaksud membenarkan anarkisme sebagai satu-satunya solusi dalam menyikapi kekerasan negara terhadap rakyat, anarki selalu menjadi jawaban diresponnya sebuah permintaan rakyat. Memang ditinjau dari perspektif manapun kekerasan (violence) tidak pernah dibenarkan apalagi dalam Islam, karena Islam sendiri adalah keselamatan yang Rahmatan lil-alamien. Atau bahkan anarki adalah ketidak mampuan untuk bersabar dalam menyelesaikan persoalan.
Tetapi bagaimana jika secara empiris, sejarah membuktikan bahwa dari sekian perubahan didapat melalui perlawanan yang berdarah-darah dan anarkis. Maka kita bisa bertanya mungkinkah kran demokrasi terbuka tanpa adanya anarki mahasiswa di tahun 1998? Mungkinkah kebebasan beraspirasi tercapai di Mesir dan Libya tanpa adanya gerakan anarki rakyat melawan Mubarok dan Khadafi?
Apakah Mahsiswa dan rakyat salah merebut keadilan dengan anarki jika keadilan tidak pernah diberikan secara damai dan ikhlas? Apakah harga kenaikan BBM akan ditunda atau bahkan dibatalkan demi kesejahteraan rakyat jika mahasiswa tidak mengobrak-abrik dijalanan dan gedung-gedung negara? Maka siapa sebenarnya yang memicu anarki, Mahasiswa, Rakyat atau negara?
Secara manusiawi, rakyat dan mahasiswa adalah mahluk yang dilengkapi dengan hati nurani, punya kasih sayang dan cinta kasih yang dasarnya anti anarki. Tetapi bagaimana jika nurani ini terus dikhianati dan terus “dikecengi” oleh praktek yang jauh dari keadilan, maka atas nama hati nurani mahasiswa dan rakyat akan merebut keadilan dan mengembalikan langkah negara pada keikhlasan.
Negara yang Anarki
Gejolak Demonstrasi “membludak” oleh rakyat dan gerakan mahasiswa menyikapi persoalan kenaikan BBM meskipun akhirnya hanya mengalami penundaan saja. Setidaknya gerakan mahasiswa mendapat respon meskipun perjuangan belum selesai. Gerakan ini kalau boleh dipetakan sebagai “angkatan 2012”.
Sekilas tampak beberapa perlawanan dari mahasiswa dan rakyat dinilai kasar. Perlawanan mahasiswa dengan melempar batu dianggap tidak patut, memacetkan jalan dianggap kurang ajar, memukul polisi dianggap “tukang becak” yang hanya mengandalkan otot. Penilaian ini sungguh tidak adil karena an sich menempatkan demonstran sebagai provokator, padahal di lapangan aparat juga tak jarang memprovokasi massa, dengan mencaci dan mencibir demonstran, menendang hingga memukul.
Belum lagi tembakan gas air mata, pentungan, tembakan peluru karet dsb. Jika perlawanan polisi dengan pentungan, tembakan gas air mata dan peluru karet masih dianggap tidak anarki, lalu yang anarki bagaimana?
Dengan demikian jelas bahwa sebenarnya negaralah yang anarki, demonstran denga tangan kosong dilawan oleh aparat bersenjata lengkap dan merepresi rakyat. Padahal mahasiswa dan rakyat bisa damai dengan membuka ruang-ruang dialog. Maka tidak salah jika mahasiswa dan rakyat melawan anarki negara dan aparatnya juga dengan anarki, karena kesombongan itu boleh dilawan dengan kesombongan.
Untuk itu sebagai solusi, jangan ada lagi tuduhan anarkis kepada demonstran oleh aparat dan begitu sebaliknya, demonstran juga menghargai peran dan tugas aparat. Karena sejatinya aparat dan rakyat adalah sama mereka juga terlahir dari rakyat. Dan seharusnya sama-sama memperjuangkan hak rakyat. Satukan barisan melawan hegemoni, penindasan, ketidak adilan dan kesewenang-wenangan.
0 Comments