Bangkitnya Otoritarianisme di Kampus


By: Herlianto A, Ketua Pers FENOMENA Universiatas Islam Malang
Sumber: kompasiana.com

Tak kalah serunya dengan pemilihan presiden dinegeri ini, di sana sini terpampang brosur-brosur yang mengingatkan “ pilihlah pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab”, serta poster-poster yang masing-masing disertai dengan visi dan misi dari bakal calon rektor. 

Tepatnya pada tanggal 24-27 November 2010 Universitas Islam Malang (Unisma) akan menagadakan rapat senat terbuka yang di hadiri oleh segenap civitas akademika Unisma yang salah satu agendanya adalah memutuskan tiga orang calon rektor(CR) dari empat bakal calon rektor (BCR) yaitu Dr. Maskuri. Msi, Prof. Dr. Drs. Surahmat Msi, Prof Dr. Drs. Yakub Cikusin Msi dan Dr. Ir. Bambang Siswandi M.p. yang terjaring pada seleksi pemilihan bakal calon rektor oleh panita pemilihan untuk periode 2010-2014.

Proses dari BCR ke CR ini akan di pilih oleh mahasiswa yang sifatnya perwakilan artinya terbatas hanya pada mahasiswa yang duduk sebagai kepengurusan di BEM (Badan Exekutif Mahasiswa), karyawan dan dosen. Sayangnya peran mahasiswa, karyawan dan dosen sebagai masyarakat kampus yang akan merasakan dan menikmati kebijakan rektor nantinya hanya terbatas pada penentuan calon rektor saja. 

Untuk proses selanjutnya hingga muncul satu orang sebagai rektor yang akan memimpin Unisma 4 tahun kedepan yang akan di lantik pada tanggal 29 november 2010 nanti adalah otoritas penuh dari yayasan Unisma. Proses yang demikian ini berbeda dari pemilihan rektor periode sebelumnya yang melibatkan perwakilan mahasiswa, karyawan dan dosen dalam menentukan siapa yang seharusnya menjadi rektor.

Hal ini tentunya kurang diterima ditengah boomingnya perjuangan wacana demokrasi yang mana segala sesuatu dituntut penuh trasparansi yang melibatkan semua pihak dalam segala bentuk keputusan, apakah berupa kebijakan atau penentuan pimpinan dalam suatu perkumpulan tertentu. 

Pemilihan ketua RT(Rukun Tetangga) saja yang merupakan unit birokrasi terkecil dari negara ini masih dilakukan secara demokratis dengan memberi kesempatan kepada semua warga dalam satu RT untuk memilih pimpinannya secara langsung dan terbuka. Hal demikian hanya semata-mata mau mengubur otoritarianisme yang telah menindas dan mengkhianati bangsa ini selama puluhan tahun. Lalu bagaimana dengan lingkungan Kampus yang notabene sebagai pusat dan sumber berkembangnya demokrasi dan demokratisasi? Apakah kampus ini sudah berpaling dari demokrasi?

Memang dalam sejarah PILREK (Pemilihan Rektor) Unisma periode lalu (2006-2010) yang melibatkan mahasiswa, karyawan dan dosen dinilai cacat. Karena berdasarkan surat suara, yang menang adalah Prof. Dr. Nurhayati tetapi pada faktanya yang menjadi rektor malah Prof. Dr. Mukri Prabowo. Disinilah nampak sekali penyimpangan yang terwujud dalam ke-otoriteran yayasan yang menindas demokrasi melalui pengabaian hak-hak rakyat Unisma demi kepentingan pribadinya. 

Hal inilah yang membuat ratusan mahasiswa Unisma geram dan sedikit anarkis hingga menyegel kantor pusat selama dua minggu waktu itu. Lalu pertanyaannya, Benarkah pihak yayasan khawatir hal demikian terjadi lagi di Unisma sehingga pilreknya lebih tertutup saat ini ? Atau memang karena pengaruh budaya pesantren yang cendrung feodal? Sehingga yang berhak memimpin Unisma adalah mereka yang mempunyai hubungan sedarah dengan petinggi Unisma sebelumya.

Apapun alasannya, penunjukan seseorang secara arbitrer untuk memimpin kelompok tertentu adalah kekuasaan yang dipandang tidak absah oleh siapapun dan akan mengakibatkan kekisruhan dan ketidak mantapan. Yayasan yang paling tahu tentang Unismapun juga bukan alasan yang tepat untuk tidak melaksanakan pilrek secara langsung terbuka dan demokratis. 

Karena terbukti dan ini harus di katakana dengan tegas bahwa pada kepemimpinan pak Mukri yang merupakan pilihan yayasan,  tidak  membawa perubahan kearah kemajuan yang signifikan pada diri Unisma. Artinya penunjukan secara arbitrer gagal karena pada hakekatnya yang paham siapa yang layak dan pantas untuk memimpin Unisma adalah mahasiswa, karyawan dan dosen bukan yayasan, seharusnya yayasan bertindak  netral dan menjadi fasilitator demi terwujud pemimpin yang ideal bagi Unisma dan tentunya melalui prosedur yang demokratis. Model pemilihan yang Eksklusif sudah tidak pantas dipertontonkan didepan panorama demokrasi dan keterbukaan karena tidak mendatangkan kesejahteraan.

Jadi biarlah mahasiswa, karyawan dan dosen yang menentukan sendiri siapa yang pantas menjadi pimpinannya, agar Unisma tidak menjadi lahan tumbuh berkembangnya cikal-bakal otoritarianisme yang menular pada mahasiswanya. Karena diakui atau tidak, hal itu akan menjadi potret yang akan di praktekkan oleh mahasiswa di dalam kehidupan bermasyarakat nantinya. Kemudian Terlepas dari itu, teori demokrasi perlu kontekstualisasikan dimanapun dan kapanpun sehingga demokrasi betul-betul menjadi way of life bukan sekedar tujuan hidup.

Post a Comment

0 Comments