Menyoal Peran Organisasi Mahasiswa Moderat

Oleh: Herlianto A
Sumber: voa-islam.com
Fenomena kekerasan antar ormas akhir-akhir ini membuat pemaknaan terhadap kelompok radikal dan golongan garis keras mengalami redefinisi dan perluasan makna. Radikalisme tidak lagi milik mereka di sayap kanan (extremist religious). Namun setiap mereka yang tidak mampu menyelesaikan persoalan dengan damai adalah sejatinya radikalis.

Kebebasan berkumpul dan berorganisasi menjamur setelah kran demokrasi dibuka lebar melalui reformasi 98 oleh gerakan mahasiswa. Ormas dengan ideologinya masing-masing secara massif melakukan indoktrinasi keberbagai lini termasuk ke dalam kampus. Mereka mencipta ajaran baru bahwa siapa kita (identity) adalah yang terpenting. Sehingga diluar seragam kita adalah lawan.

Mahasiswa, kata Soe Hoek Gie sebagai the happy selected few, menjadi objek futuristis yang diperebutkan para ormas untuk dikader demi keutuhan eksistensinya. Bukan hal baru organisasi radikal dengan sekian puluh kader militan dilingkungan kampus. Fakultas dan jurusan eksakta seperti kedokteran, Mipa, Science adalah sasaran tembaknya.

Fakultas ini menjadi sasaran empuk karena karakternya yang praktis dan instantif. Mahasiswa ini disajikan sesuatu yang sifatnya mudah, praktis dan tidak butuh dikritisi. Misalnya lima do’a mujarab untuk masuk surga, islam bagi pemula, do’a cepat kaya dan beberapa “wejangan” spritualitas lainnya. Merekapun “mengangguk” patuh dengan tawaran-tawaran itu. Lalu, dimana peran organisasi mahasiswa moderat seperti PMII, HMI dan IMM?

Kalah Kederisasi

Satu hal yang patut dikagumi adalah pola kaderisasi dari organisasi radikal yang tidak dimiliki oleh organisasi moderat maupun sayap kiri. Ruang spritualitas adalah sasaran utama yang dibidik oleh organisasi radikal melalui intensifikasi refleksi dan sharing. Sementara kaum moderat masih berkutat pada pola logis-problem solving dan mengacak-acak spritualitas. 

Dalam sudut pandang pendidikan, pola kaderisasi kaum moderat masih bertumpu pada learn how to know dan learn how to do. Hal itu bisa kita lihat dalam setiap tahapan-tahapan pengkaderannya yang hanya menghadirkan ceramah oleh senior dan paling top dialog. Sehingga posisi kader sebagai listener sejati bukan creator yang mengalami kondisi real. 

Padahal ada dua pilar lainnya yang mestinya dipenuhi yaitu learn how to be dan learn how to live together/to live with other agar menjadi satu pola kaderisasi yang utuh. Memberi kader pengalaman dengan turun kelapangan dan membentuk group sharing adalah jauh lebih baik daripada hanya mendengarkan.

Kemudian, di aspek inteligensi kaum moderat mestinya tidak hanya melibatkan satu aspek inteligensi saja: logica (problem solving). Tetapi, beberapa dimensi inteligensi lainnya seharusnya diintegrasikan, misalnya dimensi linguistic (mendengarkan dan menulis), musical/audio (mendengarkan musik), kinesthetic (sentuhan dan gerakan), visual (gambar dan mind map), environmental (relasi dan perhatian terhadap lingkungan), intrapersonal (refleksi, dan perenungan) dan interpersonal (sharing dan kelompok kerja). Dengan begitu tidak ada ruang-ruang inteligensi yang kosong yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan radikal untuk menancapkan doktrinnya.

Krisis Profesionaliosme

Perlu diakui dan disadari bahwa organisasi kemahasiswaan moderat masih sebatas mencetak politisi, obsesi kekuasaan, bukan profesionalis. Sehingga mahasiswa eksakta yang cendrung mentabukan politik bahkan apatis dengan politik tidak memiliki ruang di organisasi moderat. Leading sector penting lainnya seperti dunia wirausaha, industri, pertanahan, kelautan dsb tidak mampu dijangkau.

Kelompok moderate masih disibukkan dengan pengusungan calon pasangan pemimpin tertentu baik dipemerintahan atau di BEM Kampus. Mereka berdemonstrasi untuk menuntut dibatalkannya kebijakan kenaikan BBM yang penuh dengan nuansa politik. 

Sementara isu kemanusiaan lainnya seperti masyarakat tidak bisa belajar akibat mahalnya biaya pendidikan, masyarakat tidak mendapat pelayanan kesehatan, outsoursing dsb tidak disentuh dan hampir tidak pernah diperjuangkan. Kalaupun toh itu disuarakan, hanya sebagai isu turunan dari isu politik bukan grand issu. Sehingga kesannya menjadi isu yang kurang menarik bagi organisasi moderat.

Maka, pertanyaannya adalah benarkah teriakan organisasi mahasiswa moderat (PMII, HMI dan IMM) sama dengan/adalah teriakan rakyat? Yang pasti saat ini mobilisasi rakyat bisa terjadi tanpa melalui mahasiswa. Lihat saja mobilisasi massa untuk koin prita, seribu sandal untuk AL, dan saat ini koin saweran untuk gedung KPK. Gerakan ini jalan hanya cukup melalui twitter, facebook dan jejaring sosial lainnya. Dengan begitu masih perlukah organisasi kemahasiswaan?

Menghidupkan Nilai-Nilai Universal

Ini fakta, bahwa mahasiswa kini terpetakan kedalam jurusan-jurusan dengan obsesi segera lulus kuliah dan kerja berdasarkan profesionalismenya serta masuk syurga di akhir hayatnya. Dengan demikian organisasi moderat harus mampu bergerak lebih elastis lagi, istilahnya “masuk dari pintu mereka dan keluar dari pintu kita” untuk mengkounter proses radikalisasi yang kian massif ini.

Organisasi mahasiswa moderat harus berperan sebagai aktor dalam menghidupkan nilai-nilai universal yang selama ini dipenetrasi ke sudut sempit oleh radikalis. Dalam konteks Living Values Education (LVE), setidaknya ada 12 nilai yang harus dielaborasi kedalam kehidupan bermasyarakat heterogen ala Indonesia, yaitu peace (perdamaian), cooperation (kerjasama), responsibility (tanggung jawab), freedom (kebebasan), tolerance (Toleransi), happiness (kebahagiaan), honesty (kejujuran), love (cinta), unity (kesatuan), respect (menghormati), simplicity (kesederhanaan) dan humility (rendah hati). 

Nilai-nilai ini yang akan mentralisir “racun” radikalis yang sudah menyusup ke nadi-nadi gerakan mahasiswa dan pemuda saat ini. Nilai universal tidak melarang jihad tetapi ia mengatakan bahwa Indonesia bukan wilayah konflik perang, dengan begitu tidak dibenarkan segala bentuk aksi kekerasan di Indonesia.

Dengan begitu, organisasi mahasiswa moderat juga punya andil dalam melawan secara ideologis ormas radikal maupun secara kaderisasi. Karena apapun alasannya negara ini milik kita bersama, setiap orang didalamnya bak dalam satu kapal yang tengah berlayar, jika kapal ini karam dan gagal mencapai tujuan, maka sebenarnya ini adalah kegagalan kita semua.

Jadi, kekerasan antar ormas di negeri ini sudah sepatutnya diselesaikan secara mendasar. Pola evakuasi yang selama ini dipraktekkan oleh pemerintah melalui polri adalah temporal dan tidaklah cukup. Sementara perbedaan dan konflik antar ormas tidak hanya riil tetapi mendasar.


Post a Comment

0 Comments