Desakralisasi "Hari Pahlawan"


Oleh: Herlianto A, mahasiswa STF Al-Farabi Malang
Sumber: channelutama.com

10 November tiba, segera bendera dikibar setengah tiang, upacara dihelat dihampir setiap lapangan. Semua mengheningkan cipta dengan penuh khidmad, para sejarawan kembali menjelaskan peristiwa mengenaskan itu. Pun mahasiswa berdebat sengit tentang peristiwa agung yang menewaskan jendral besar Inggris, Mallaby, dimana juga ribuan nyawa pejuang melayang.

“Hari Pahlawan” orang-orang menyebutnya. Meski sebenarnya kurang pantas dengan label itu karena hari itu adalah kekalahan dan kurang layak dibanggakan, dimana Surabaya hancur lebur oleh senjata perang Sekutu, baik yang dari laut, udara maupun darat. Dan 6.000-16.000 pasukan Bung Tomo tewas, angka ini jauh lebih besar ketimbang sekutu yang hanya 600-2.000. Apalagi kalau bukan hanya “hari berkabung”. Jangan emosi dulu kisanak!!

Pahlawan adalah, menurut KBBI, orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran atau pejuang yang gagah berani. Benar, jika ini pijakan kita untuk meletakkan 10 November sebagai hari pahlawan. Tetapi ingat, peristiwa besar lain yang pernah terjadi di Nusantara dalam kontek melawan penjajahan tidak hanya itu, ada perang Padri (1803), perang Diponegoro (1825). 

Tapi kok tidak disebut hari pahlawan bahkan tidak pernah diperingati. Padahal segala bentuk perlawanan terhadap penjajah yang terjadi di jagad Indonesia ini adalah rangkaian perlawanan dari peristiwa sebelumnya. Sangat picik kiranya jika kita tidak menyebut dan merayakan peristiwa Padri dan Diponegoro sebaga hari pahlawan hanya karena terjadi sebelum proklamasi. Benarkan sahabat!! Tapi baiklah, ini mungkin hanya persoalan penanda (signifier) dan petanda (signified) yang tak pernah ada habisnya karena selalu mengalami penundaan makna.

Jika begitu, apa esensi 10 November? Bagi saya esensinya adalah perlawanan yang solid. Tujuan sejati gerakan kita adalah keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat, bukan semata untuk kesejahteraan PMII, HMI, KAMMI, PMKRI, GMNI dst. Meneladani sikap tulus rakyat, kaum santri, kiayi dan pemuda Surabaya dalam berkorban. 

Mereka tidak pernah berkipir jabatan apa atau gelar kehormatan apa yang akan disandangkan padanya setelah perang berakhir. Tetapi satu tekat bahwa segala bentuk penjajahan harus dilawan hingga titik darah penghabisan.

Tekat bulat para pejuang untuk melawan yang tanpa hitungan matematis mesti disemai, mereka tahu sekutu lebih kuat dengan ribuan tentara terlatih, dengan meriam yang lengkap, dengan strategi yang apik. Namun pilihannya adalah melawan sekalipun kondisinya lebih mungkin mati daripada hidup.

Kita jangan berlarut-larut terkesima dengan “allahuakbar” seperti teriakan terakhir pidato Bung Tomo. Kita harus segera beranjak dari “sajadah” untuk merebut IPTEK, menciptakan riset, membangun industri dari hulu hingga ke hilir. Mesti berani mengatakan “tidak” dengan segala bentuk yang mengkhianati rakyat.

Untuk mencapai itu semua kita tidak perlu berpanas-panasan upacara, menunduk kepala mengheningkan cipta. Apalagi setelah itu tidak ada pengaruh yang signifikan. Malah kita hanya menjadi pengkhianat hati nurani. Kerena ternyata rakyat Papua dibiarkan berjuang sendiri dengan PT. Freeport, SDA kita dibiarkan dikeruk oleh asing, PKL dan pasar tradisional yang merupakan sentra ekonomi pedagang miskin dibiarkan digusur demi mall. Maka pilihannya tidak lagi dua “merdeka atau mati” tetapi “mati” saja.

Jadi yang terpenting adalah bukan seberapa banyak bendera setengah tiang yang berkibar, bukan seberapa banyak massa upacara dan bukan seberapa khidmad kita mengheningkan cipta. Tetapi dengan semangat kepahlawanan ada berapa petani, nelayan, buruh, KMK yang teselamatkan haknya?

Post a Comment

0 Comments