"Silat Lidah" Jero Wacik dan Emosi Wartawan

Oleh: Herlianto A, Mahasiswa STF Al-Farabi Malang
Sumber: jawapos.com

Beberapa hari yang lalu, dunia kewartawanan geger oleh rekaman suara Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Rekaman yang dilansir jurnalis asing itu dinilai melecehkan profesi wartawan. Wartawan ibarat anak “idiot” yang untuk mengerti suatu masalah perlu dijelaskan berkali-kali. “Sekali belum ngerti, dua kali, dua kali belum ngerti, lima kali, lima kali belum ngerti, sepuluh kali” begitu tegasnya suara itu.

Seakan  perlu dilakukan pendekatan “keibuan” agar pemahamannya tepat dan berita yang ditulis sesuai dengan yang diinginkan. Juga, wartawan perlu dikasih makan dan hadiah (gratifikasi), tentu biar ia tidak “kapok” mendengar penjelasan yang berulang-ulang itu. Dan agar beritanya selalu tepat sasaran dan melegakan.

Dilihat dari konteks pembicaraannya, rekaman itu dilakukan sebelum BP Migas di bubarkan oleh MK, tetapi dalam proses gugat. Misalnya kalimat “Mulai hari ini humasnya tidak boleh mati angin” menunjukkan bahwa harus terus berupaya untuk mempertahankan BP Migas yang tengah digugat di MK. Tetapi pada akhirnya dibubarkan juga.

Sampai saat ini belum ada gugatan dari wartawan, tetapi rekaman itu membuatnya “tidak enak badan”. Ini adalah pukulan telak terhadap profesinya, karena secara tidak langsung wartawan tidak punya kredibilitas. Kode etik jurnalis sebagai norma yang membuatnya ber-etika terhempas dalam sepiring nasi dan sebungkus hadiah. 

Kejujuran yang dijunjungnya meleleh pada penjelasan yang dijejalkan dengan berkali-kali. Idealismenya semakin “telanjang” setelah dikatakan bahwa “wartawan kan rakyat” yang artinya juga butuh makan dan penghargaan. Komitmennya tak lebih mahal dari sepiring nasi. Layakkah wartawan dikatakan demikian?

Berdasarkan klarifikasinya pada MetroTv, Jero Wacik mengatakan bahwa ia tidak pernah bermaksud melecehkan wartawan. Ia hanya ingin agar wartawan lebih fair dalam pemberitaan antara yang buruk dan yang bagus. Karena kerja wartawan hanya menulis yang didengar, mendengar dari pengaruh orang lain maka itu yang ditulis tanpa verifikasi sehingga beritanya tidak berimbang.

Tentu pengakuan ini tidak sepenuhnya benar, kita sudah terbiasa dihadapkan dengan pengakuan yang sejatinya tak lebih dari “bersilat lidah” lebih-lebih para penguasa yang tertangkap basah. Hal itu bisa kita analisis dari setiap tekanan intonasi pada rekaman itu yang menunjukkan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang ia hendak sembunyikan pada publik tetapi terlanjur terbuka pada wartawan. Dan wartawan memberitakan itu.

Sehingga dalam kondisi terdesak oleh gugatan di MK, secara tertutup ia perlu menjelaskan pada Humas BP Migas bagaimana menghadapi wartawan. “Wartawan itu diajak menerangkan baik-baik” petikan ini mengindikasikan bahwa perlu ada rayuan-rayuan bahkan tawar-menawar dengan wartawan tentang suatu pemberitaan. 

Lalu “begitu dimuat, periksa muatannya sudah benar belum” kalimat ini menjelaskan bahwa selama ini sudah ada kebiasaan jual-beli berita dengan wartawan. Sehingga ia tahu persis bahwa harus dicek beritanya apakah sesuai antara bayaran dengan berita yang diterbitkan.

Kemudian pernyataan akhir Wacik, bahwa ia siap di gugat dan diadili, juga memperkuat bahwa sebenarnya apa yang ia jelaskan tidak sama dengan apa yang ia maksudkan dalam rekaman itu. Pola pasrah demikian adalah wajar kita jumpai pada seseorang yang tengah terpojok karena rahasianya terbongkar, demi mempertahankan citranya agar rakyat tetap percaya.

Jangan salahkan Jero Wacik

Namun demikian jangan salahkan Wacik. Ia telah menunjukkan celah yang ada pada kinerja wartawan selama ini. Selaku pemangku jabatan, ia sudah biasa berhadapan dengan wartawan yang beritanya seharga sepiring nasi dan idealismenya sekuat elusan kata-kata pujian. Bahkan ia tidak hanya sekali melakukan itu. 

Cuma sayang, dalam klarifikasinya Wacik tidak berani mengatakan bahwa memang ada wartawan yang “mata duitan” dan sok independen. Ia tidak membongkar bahwa ada wartawan yang jika disodori uang beritanya berubah. Dan lalu menunjukkan dari media mana ia berasal. Tetapi ini cukup beresiko, tampaknya ia juga punya sesuatu yang tak ingin wartawan mewartakannya ke publik.

Lantas layakkah aliansi wartawan menggugat? Menurut penulis organisasi kewartawanan tidak perlu kebakaran jenggot dengan rekaman itu. Justru ini adalah momentum untuk melakukan evaluasi terhadap kredibilitas wartawan. Kinerja wartawan dilapangan perlu dievaluasi sampai sejauh mana ia mampu mempertahankan idealismenya. Berita yang setorkan oleh wartawan perlu diteliti dengan cermat sehingga pemberitaannya imbang.

Kemudian, merumuskan bagaimana mendeteksi para “pembangkang” kode etik jurnalis dilapangan. Karena tampaknya lemah diwilayah itu sehingga wartawan seenaknya saja tawar-menawar berita dengan “kliennya”. Kode etik bukan hanya untuk dihafalkan dan dipahami oleh wartawan tetapi dipraktekkan. 

Penulis yakin Wacik tidak akan mengatakan demikian jika sebelumnya ia tidak punya pengalaman memberi makan siang dan hadiah pada wartawan setelah beritanya sesuai pesanan. Bahkan ia sangat gamblang menggambarkan bagaimana menghadapi wartawan agar pemberitaannya “bisa disesuaikan”. 

Maka, sebelum melakukan penuntutan (jika perlu), Aliansi Wartawan perlu melihat kondisi wartawan saat ini. Sampai sejauh mana sebenarnya wartawan mampu dipercaya beritanya. Apa jaminan yang bisa diberikan bahwa wartawan tidak “memplintir” setiap isu yang ada hingga tampak menarik meski merugikan. Apa jaminan bahwa berita wartawan bukan hasil bayaran. Jika itu belum bisa dijawab, mending keinginan untuk menggugat dipendam dulu.

Tak kalah menariknya, bagi para media baik cetak maupun elektronik sangat perlu memperhatikan kondisi wartawan baik kesejahteraan maupun keselamatannya. Benar kata Wacik wartawan juga rakyat, ia butuh kesejahteraan dan butuh keselamatan, meski jaminan keselamatan sebenarnya dari negara tetapi paling tidak media harus juga ikut memperjuangkan hal itu. 

Bagaimana mempertahankan idealisme jika gaji wartawan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primer misalnya. Bagaimana berita bisa disampaikan dengan jujur jika nyawanya terancam. Maka pada saat “peluang kesejahteraan” terbuka disikat saja sama wartawan, serta ditulislah berita asal nyawanya selamat.

Jadi, jika memang pers diyakini sebagai salah satu pilar berdemokrasi, wartawan tidak perlu emosi dengan klarifikasi menteri ESDM. Tetapi melalui momentum rekaman itu, mari kita tegakkan pers ini dengan melindungi wartawan selaku sumber berita. Tidak bijak kiranya, jika selalu menyalahkan pihak luar yang menggoda wartawan. Sudah saatnya daya tolak terhadap pelecehan profesi wartawan datang dari dalam diri wartawan.

Post a Comment

0 Comments