Gagasan Muchtar
Naim untuk men-design ulang sistem
pemerintahan negara ini menjadi federal (Kompas, 7/1/13) menarik untuk kita
cermati. Tawaran yang cukup radikal ini bertolak dari kondisi bangsa ini yang
tak kunjung sampai pada visinya untuk mensejahterakan rakyat, bahkan terjebak
pada lautan ketidakadilan dan gelombang korupsi yang kian kronis.
Naim juga melihat
wilayah Indonesia terlalu luas untuk dikelola secara terpusat sehingga
unitaritas NKRI perlu dipecah. Lalu secara historis, RIS (Republik Indonesia
Serikat) pernah diterapkan, tetapi tidak cukup dijadikan alasan untuk menilai
bahwa federal tidak cocok dengan Indonesia karena RIS hanya hidup 8 bulan.
Bukan
Trial and Error
Sebelum federalisasi, ada beberapa dari pendapat Naim yang
perlu dikritisi. Partama, karena ia
berangkat dari temuannya bahwa beberapa negara besar dan maju dikelola secara
federal, maka pertanyaanya adakah dari negara-negara federal itu yang punya kontur
heterogenitas layaknya Indonesia? Karena ia tidak menyebutkan negara federal
mana yang akan kita acu, ini mengindikasikan bahwa federal nantinya harus
disesuaikan dengan pluralitas ke-Indonesiaan. Dan sepanjang pengetahaun penulis
belum ada negara federal se-heterogen Indonesia, sekalipun Amerika yang sering
dielu-elukan kemajuannya karena sistem negaranya yang federal. Jika itu terjadi,
maka bentuk federal Indonesia tidak akan berbeda dengan Otonomi daerah yang
kita jalankan sekarang.
Kedua, berangkat dari temuan Max Weber dalam The Protestan Etic and Spirit Capitalism
(1904) bahwa prilaku negara maju cendrung mematuhi prinsip dasar kehidupan, bertangung jawab terhadap amanah yang
diberikan negara dan patuh terhadap hukum. Sementara negara miskin atau
berkembang cendrung bergantung pada alam, brutal dan masih bingung mana yang
menjadi haknya dan yang bukan, nilai kejujuran dan tanggung jawab tercerabut
oleh ganasnya eksploitasi hidup, artinya bahwa kesejahtraan, keadilan, dan
terbebasnya penyakit korupsi tidak ada sangkut pautnya dengan sistem
pemerintahan dalam sebuah negara. Mislanya dalam hal ini, kita bisa bercermin
pada Cina dan Vietnam yang tidak federal.
Ketiga, jika kita fleshback sejarah, RIS sebenarnya experimen yang cukup untuk
menilai ketidak efektifan federal bagi Indonesia yang multi kultur, RIS
berpotensi mempertajam konflik etno-regional yang tak berkesudahan sehingga
ditolak. Maka jika federal dipaksakan, jaminan apa yang bisa diberikan bahwa
tidak akan muncul gigantisme daerah
melihat tidak hanya berbeda kultur tapi kekayaan alam? Apakah perlombaan ini
tidak memunculkan ego daerah yang
berlebihan serta kesepakatan teknis yang tak mungkin tercapai? Ingat! Persoalan
sistem pemerintahan bukanlah perkara trial
and error.
Selamatkan
Heterogenitas
Heterogenitas sebagai fakta
kondisi Indonesia memang tidak bisa dikesampingkan dalam merumuskan kebijakan
apapun di bangsa ini termasuk sistem pemerintahan, ini juga yang pernah membuat
John F. Kennedy kagum pada Indonesia yang bisa bersatu dalam perbedaan.
Ajaran
bernegara apapun yang datang pada kita perlu dikontekstualisasi dengan keadaan
bangsa ini termasuk demokrasi. Maka wajar jika Donny Gahral Adian menyebutnya Demokrasi Kami bukan demokrasi kita,
karena demokrasi telah dielaborasi dengan heterogenitas. Bentuk negara ini yang
tidak sepenuhnya Republik juga tidak sesungguhnya parlemen, selanjutnya Kacung
Marijan menyebutnya Republik Quasi-Parlementer, adalah karena ini yang paling
sesuai dengan bangsa Indonesia.
Sikap
hati-hati perlu dikedepankan agar negara ini tidak seperti yang dikatakan
Komaruddin Hidayat dalam buku Memaknai
Jejak-Jejak Kehidupan (2009) sebagai sampah negara. Yaitu hanya mengambil
enaknya dalam tata bernegara. Kita mengadopsi komunis tapi bukan semangat revolusioner
yang kita kedepankan tapi sampah kediktatorannya, kita menganut demokrasi
liberal tapi bukan disiplin dan tanggung jawabnya yang diterapkan tapi sampah
kebebasannya yang kita benarkan. Bagaimana jika dalam federalisasi justru
semangat perpecahan yang terjadi?
Otoda=Indonesia
Federal
Saya membenarkan bahwa Indonesia
yang luas dan manusianya yang melimpah serta kekayaan alam yang banyak,
memerlukan pengelolaan yang tidak terpusat. Tetapi, saya kira sepenuhnya negera
federal bukan jawaban dalam hal ini.
Otonomi
Daerah adalah Federal Ala Indonesia yang sudah lama diupayakan untuk menjawab
kegelisahan akan kemakmuran dalam negara dengan cirinya ini, dengan tidak
melepaskan identitas persatuan NKRI namun rakyat dan kekayaan alam dikelola
secara federal. Dengan Otoda subsidi silang baik berupa SDA maupun SDM bisa
dilakukan antara daerah kaya ke daerah miskin.
Persoalan
tidak berimbangnya keuangan daerah dan pusat hanya persoalan judial review UU otoda ke MK. Tapi
kesenjangan yang terjadi bukan karena otoda yang tidak tepat, wewenang dan
keuangan dari pusat ke daerah sudah cukup. Tetapi mental pemimpin dan
masyarakat kita yang perlu dibenahi. Saya membayangkan jika pemimpin di
berbagai daerah provinsi atau kota/bupati seperi Jokowi (tanpa bermaksud
mengkultuskan seseorang), maka otoda akan tepat menjadi jawaban bagi
tercapainya kesejahteraan. Dan itu yang dirasakan masyarakat Solo setelah otoda
diterapkan.
Jadi, federalisasi
tidak semerta-merta berkait erat dengan perbaikan budaya kita yang terlanjur
korup, justru kalau kita berbicara penyebaran virus korupsi, di era Suharto
yang murni sentralistik adalah lebih baik dari desentralistik. Artinya
sekalipun federal tidak akan serta merta
terbebas dari kesenjangan dan koruptif tanpa diimbangi oleh pemimpin yang
berani, jujur dan amanah.
Namun demikian,
gagasan Naim perlu diapresiasi karena usaha pencariannya. Saya pun punya
semangat yang sama dengan beliau, yang sudah muak melihat kesenjangan serta
korupsi yang tak berujung pangkal.
0 Comments