Federal Ala Indonesia

Oleh: Herlianto A, Mahasiswa STF Al-Farabi Malang.
Sumber: commons.wikepdia.org

Gagasan Muchtar Naim untuk men-design ulang sistem pemerintahan negara ini menjadi federal (Kompas, 7/1/13) menarik untuk kita cermati. Tawaran yang cukup radikal ini bertolak dari kondisi bangsa ini yang tak kunjung sampai pada visinya untuk mensejahterakan rakyat, bahkan terjebak pada lautan ketidakadilan dan gelombang korupsi yang kian kronis.

Naim juga melihat wilayah Indonesia terlalu luas untuk dikelola secara terpusat sehingga unitaritas NKRI perlu dipecah. Lalu secara historis, RIS (Republik Indonesia Serikat) pernah diterapkan, tetapi tidak cukup dijadikan alasan untuk menilai bahwa federal tidak cocok dengan Indonesia karena RIS hanya hidup 8 bulan.

Bukan Trial and Error

Sebelum federalisasi, ada beberapa dari pendapat Naim yang perlu dikritisi. Partama, karena ia berangkat dari temuannya bahwa beberapa negara besar dan maju dikelola secara federal, maka pertanyaanya adakah dari negara-negara federal itu yang punya kontur heterogenitas layaknya Indonesia? Karena ia tidak menyebutkan negara federal mana yang akan kita acu, ini mengindikasikan bahwa federal nantinya harus disesuaikan dengan pluralitas ke-Indonesiaan. Dan sepanjang pengetahaun penulis belum ada negara federal se-heterogen Indonesia, sekalipun Amerika yang sering dielu-elukan kemajuannya karena sistem negaranya yang federal. Jika itu terjadi, maka bentuk federal Indonesia tidak akan berbeda dengan Otonomi daerah yang kita jalankan sekarang.

Kedua, berangkat dari temuan Max Weber dalam The Protestan Etic and Spirit Capitalism (1904) bahwa prilaku negara maju cendrung mematuhi prinsip dasar kehidupan,  bertangung jawab terhadap amanah yang diberikan negara dan patuh terhadap hukum. Sementara negara miskin atau berkembang cendrung bergantung pada alam, brutal dan masih bingung mana yang menjadi haknya dan yang bukan, nilai kejujuran dan tanggung jawab tercerabut oleh ganasnya eksploitasi hidup, artinya bahwa kesejahtraan, keadilan, dan terbebasnya penyakit korupsi tidak ada sangkut pautnya dengan sistem pemerintahan dalam sebuah negara. Mislanya dalam hal ini, kita bisa bercermin pada Cina dan Vietnam yang tidak federal.

Ketiga, jika kita fleshback sejarah, RIS sebenarnya experimen yang cukup untuk menilai ketidak efektifan federal bagi Indonesia yang multi kultur, RIS berpotensi mempertajam konflik etno-regional yang tak berkesudahan sehingga ditolak. Maka jika federal dipaksakan, jaminan apa yang bisa diberikan bahwa tidak akan muncul gigantisme daerah melihat tidak hanya berbeda kultur tapi kekayaan alam? Apakah perlombaan ini tidak memunculkan ego daerah yang berlebihan serta kesepakatan teknis yang tak mungkin tercapai? Ingat! Persoalan sistem pemerintahan bukanlah perkara trial and error.

Selamatkan Heterogenitas

            Heterogenitas sebagai fakta kondisi Indonesia memang tidak bisa dikesampingkan dalam merumuskan kebijakan apapun di bangsa ini termasuk sistem pemerintahan, ini juga yang pernah membuat John F. Kennedy kagum pada Indonesia yang bisa bersatu dalam perbedaan.

            Ajaran bernegara apapun yang datang pada kita perlu dikontekstualisasi dengan keadaan bangsa ini termasuk demokrasi. Maka wajar jika Donny Gahral Adian menyebutnya Demokrasi Kami bukan demokrasi kita, karena demokrasi telah dielaborasi dengan heterogenitas. Bentuk negara ini yang tidak sepenuhnya Republik juga tidak sesungguhnya parlemen, selanjutnya Kacung Marijan menyebutnya Republik Quasi-Parlementer, adalah karena ini yang paling sesuai dengan bangsa Indonesia.  

            Sikap hati-hati perlu dikedepankan agar negara ini tidak seperti yang dikatakan Komaruddin Hidayat dalam buku Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan (2009) sebagai sampah negara. Yaitu hanya mengambil enaknya dalam tata bernegara. Kita mengadopsi komunis tapi bukan semangat revolusioner yang kita kedepankan tapi sampah kediktatorannya, kita menganut demokrasi liberal tapi bukan disiplin dan tanggung jawabnya yang diterapkan tapi sampah kebebasannya yang kita benarkan. Bagaimana jika dalam federalisasi justru semangat perpecahan yang terjadi?
             
Otoda=Indonesia Federal

            Saya membenarkan bahwa Indonesia yang luas dan manusianya yang melimpah serta kekayaan alam yang banyak, memerlukan pengelolaan yang tidak terpusat. Tetapi, saya kira sepenuhnya negera federal bukan jawaban dalam hal ini.

            Otonomi Daerah adalah Federal Ala Indonesia yang sudah lama diupayakan untuk menjawab kegelisahan akan kemakmuran dalam negara dengan cirinya ini, dengan tidak melepaskan identitas persatuan NKRI namun rakyat dan kekayaan alam dikelola secara federal. Dengan Otoda subsidi silang baik berupa SDA maupun SDM bisa dilakukan antara daerah kaya ke daerah miskin.

            Persoalan tidak berimbangnya keuangan daerah dan pusat hanya persoalan judial review UU otoda ke MK. Tapi kesenjangan yang terjadi bukan karena otoda yang tidak tepat, wewenang dan keuangan dari pusat ke daerah sudah cukup. Tetapi mental pemimpin dan masyarakat kita yang perlu dibenahi. Saya membayangkan jika pemimpin di berbagai daerah provinsi atau kota/bupati seperi Jokowi (tanpa bermaksud mengkultuskan seseorang), maka otoda akan tepat menjadi jawaban bagi tercapainya kesejahteraan. Dan itu yang dirasakan masyarakat Solo setelah otoda diterapkan.

Jadi, federalisasi tidak semerta-merta berkait erat dengan perbaikan budaya kita yang terlanjur korup, justru kalau kita berbicara penyebaran virus korupsi, di era Suharto yang murni sentralistik adalah lebih baik dari desentralistik. Artinya sekalipun federal tidak akan  serta merta terbebas dari kesenjangan dan koruptif tanpa diimbangi oleh pemimpin yang berani, jujur dan amanah.

Namun demikian, gagasan Naim perlu diapresiasi karena usaha pencariannya. Saya pun punya semangat yang sama dengan beliau, yang sudah muak melihat kesenjangan serta korupsi yang tak berujung pangkal. 

Post a Comment

0 Comments