Mereka Bukan Tuhan: Menggugat Tiga Peran Mahasiswa


Oleh: Herlianto A, Mahasiswa STF Al-Farabi Malang
    
Sumber: nusantaranews.com


Membincang gerakan perubahan dalam negara ini seakan tidak lengkap jika tidak mengupas peran intelektual muda dan mahasiswa. Sejarah menuturkan bahwa kelompok mahluk yang satu ini memiliki peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak literatur sejarah  mendeskripsikan bagaimana peran kaum muda dalam perubahan. 

Budi Utomo, Sumpah Pemuda 1928, angkatan 66, angkatan 74 dan angkatan 98 adalah bukti gamblang yang sering ditulis oleh para sejarawan atau yang dilisankan oleh para orator. Tonggak itu benar adanya, tetapi kurang bijak mereduksi gerakan pemuda semata-mata kedalam hanya beberapa peristiwa sejarah. 

Ini akan membawa pemuda pada arogansi masalalu yang berlebihan dan gampang lupa diri. Artinya perlu dihadirkan sisi lain, dimana pada sisi itu gerakan pemuda perlu dikoreksi. Menarik untuk menghadirkan puisi Taufik Ismail dalam hal ini:
“Mahasiswa takut dengan dosen, dosen takut dengan dekan, dekan takut dengan rektor, rektor takut dengan menteri, menteri takut dengan presiden, presiden takut dengan mahasiswa”[1].
Petikan puisi ini menggambarkan betapa mahasiswa memiliki kekuatan dahsyat, orang nomer satu dalam suatu negara berhasil “ditakut-takuti”. Telah banyak kekuasaan rezim berhasil dilengserkan. Di Indonesia lengsernya Sukarno bersama Orde Lama dan turunnya Suharto beserta Orde Baru adalah fosil sejarah dari sepak terjang mahasiswa dalam mendepak otoriterisme. 

Termasuk dibeberapa negara lain, sebut saja Tunisia, dimana mahasiswa menjadi pengibar bendera runtuhnya rezim Zine Den Ben Ali, di Mesir mahasiswa menjadi inspektur suara-suara demokrasi hingga rezim Husni Mubarok terjungkal, pun di Libya meski pada akhirnya Muammar Khadafi tewas ditangan opposisi. Di lapangan Tiananmen, Beijing, sempat menumpahkan darah demokrasi, meski berhasil diredam oleh rezim komunis Cina. Sungguh menakutkan bagi para penguasa!

Namun, untaian sajak diatas juga melihat sisi lemah mahasiswa, mereka tidak bisa sepenuhnya dijadikan simbol segala bentuk pelumpuhan kekuasaan. Dibeberapa momen harus diakui bahwa perlawanan mahasiswa berhasil diredam. Bahkan sesekali ditunggang oleh elite demi perebutan kekuasaan. Sehingga menjadi semacam mata rantai kekuasaan yang sama-sama punya kelebihan dan kekurangan. 

Penguasa yang takut pada mahasiswa ternyata sangat mungkin untuk melemahkan mahasiswa, bahkan melumpuhkan segala bentuk potensi melawan yang dimilikinya. Bagaimana kemudian penguasa memaksimalkan alat-alat kekuasaannya dalam hal ini aparat untuk secara sistematis membendung pandangan kritis mahasiswa. 

Orde Baru melalui mikanisme pendidikan, berhasil “memborgol” nyali mahasiswa yaitu ketika  NKK/BKK diterapkan dengan menganulir semua aktivitas politik mahasiswa, dan ternyata berhasil membekab suara-suara mahasiswa dan Orba ajeg selama 32 tahun. Entah apakah “pendidikan karakter” yang saat ini didengung-dengungkan oleh pemerintah termasuk dari bagian melemahkan gerakan mahasiswa atas nama moral?

Tetapi justru kondisi menekan dan manipulatif ini mendorong pemuda dan mahasiswa bangkit dan bersatu untuk melawan. Perlawanan ekstra parlemen sering menjadi jalan pintas bagi mahasiswa untuk mewujudkan perlawanannya. Sering, bentuk perlawanan itu terejawantahkan menjadi gerakan jalanan (demonstrasi) yang melibatkan massa tidak sedikit, mementahkan legitimasi rezim di mata rakyat. 

Kekuatan advokasi yang dimiliki memposisikan dirinya sebagai orang yang dipercaya oleh rakyat untuk memulai gerakan perlawanan. Ini yang kemudian memunculkan term mahasiswa sebagai agen perubahan. Lantas, bagaimana sebenarnya peran mahasiswa?

Mahluk kritis

Wacana ini berangkat dari sebuah kenyataan bahwa mahasiswa sebagai komunitas yang lebih maju dibandingkan dengan komunitas pemuda lain. Lebih maju karena mahasiswa mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang masyarakat kebanyakan

Meminjam istilah Soe Hok Gie, mahasiswa adalah the happy selected few. Mereka, di kampus, memperoleh pendidikan secara sistematis, komprehensif, detail dan universal dengan dipandu oleh para ahli dan pakar (dosen). Peluang itu tidak di dapat oleh masyarakat pada umumnya.

Juga didukung oleh kondisi yang punya banyak waktu untuk belajar, tidak ribet dengan persoalan biaya hidup, meski ada beberapa yang kuliah sambil kerja. Itu karena kebutuhan dasarnya disupport oleh keluarga. Sehingga mereka fokus menimba pengetahuan tanpa dirintangi oleh kebutuhan “lauk pauk”. 

Waktu lebih yang dimiliki memungkinkan menggali pengetahuan tidak hanya diruang kuliah tetapi juga diluar kelas, misalnya terlibat dalam beberapa organisasi pergerakan. Ada ruang-ruang diskusi, sebagai sisi lain mengasah logika dan berdialektika tanpa terikat waktu sebagaimana dikelas.

Melihat kondisi itu mereka kerap disebut sebagai intelektual. Intelektual adalah seseorang yang baginya aktifitas berfikir, meneliti, dan perjuangan mengubah tatanan dunia yang kacau adalah sebagai bentuk kerja[2]

Selalu jauh dari merasa puas pada berbagai hal yang sudah ada dan pakem. Mendistribusikan informasi edukatif dan sebagai motor dari kebudayaan, atau mereka yang memiliki tanggung jawab, misi, keinginan bahkan kewajiban untuk membawa pencerahan dari kegelapan zaman[3].

Arizal Mutahir mencoba menguraikan tiga pandangan dari figur yang berbeda terkait peran intelektual dalam masyarakat. Mereka adalah Karl Mannheim, Julien Benda dan Antonio Gramsci. Tokoh pertama menyatakan bahwa kaum intelektual adalah bagian dari masyarakat yang tidak terikat dan tidak masuk dalam satu kelas (independen). Karena posisinya yang “lepas bebas” maka mereka berperan sebagai mediator atau jembatan yang menghubungkan antar kelas agar terjalin keselarasan dan kesaling pengertian.

Dengan begitu kaum intelektual tidak memiliki interest apapun baik ekonomi maupun politik. Yang mereka impikan adalah kedamaian, keadilan serta kesejahteraan dengan dihapusnya segala bentuk penindasan dan ekploitasi. Sementara Julian Benda dalam hal independensi tidak berbeda dengan Mennheim, ia menambahkan bahwa kaum intelektual memiliki keteritakan yang besar terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Ini muncul karena mereka tidak memiliki kepentingan secara ekonomis. 

Jadi intelektual yang bekerja dan terlibat dalam kekuasaan dipandang telah berselingkuh dari kebenaran kerena mereka terobsesi dengan kekuasaan, popularitas dan uang. Kekhawatiran yang muncul adalah mereka cenderung mengaburkan antara yang ilmiah dan yang fiksi/semu. Benda kemudian mempertegas bahwa intelektual adalah mereka yang haus akan kebenaran, tidak tergoda terhadap uang, kehormatan dan kekuasaan. Dengan demikian mereka adalah kelas pada dirinya.

Sementara Gramsci menyatakan bahwa “semua orang adalah intelektual tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat”. Pernyataan ini didasari oleh beberapa orang yang memiliki keilmuan lalu kemudian dipraktekkan dan sebaliknya, orang yang memiliki keilmuan tetapi diam dalam keilmuannya. 

Persoalan intelektual Gramsci berbeda dari kedua tokoh diatas. Ia menyatakan bahwa masing-masing kelas memiliki intelektual sehingga mereka mampu memahami tidak hanya peran dan fungsi bagi kelasnya tetapi juga bagi kekuasaan, ekonomi dan sosial. Intelektual yang bergabung dengan status quo dinilai mengabaikan dan melanggar kepentingan kelas sosial, tetapi tidak melanggar kepentingan kebenaran profesinya. 

Dari ilustrasi diatas masih menempatkan perubahan ada ditangan intelektual dengan posisinya yang independen. Jika mahasiswa adalah intelektual maka perubahan ada di pundak mahasiswa dan perjuangan merebut perubahan tidak mesti melalui kursi kekuasaan.

Dibangsa ini mahasiswa dipercaya sebagai motor dari gerakan dan perubahan sosial. Mereka diyakini akan mengantarkan tatanan sosial masyarakat pada sebuah perubahan kearah yang lebih baik, adil dan damai. Diakui bersama rakyat dan atas nama rakyat mereka merebut keadilan yang diabaikan oleh penguasa. 

Mereka juga diyakini mampu mendobrak setiap ketimpangan sosial yang melilit rakyat yang berupa relasi mereka dengan penguasa (vertikal). Penilaian ini oleh Hermawan Sulistyo disebut post factum yaitu dirangkai dan dipercaya setelah suatu peristiwa terjadi. Artinya bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan setelah melihat peristiwa 1908 (Budi Utomo), 1928 (sumpah pemuda), 1965 hingga 1998, dimana mahasiswa menjangkarkan perannya dalam kehidupan bernegara yang bebas.

Tapi Hermawan Sulistyo tidak “berkacamata mata kuda” dalam melihat rentetan peristiwa itu, karena ternyata elemen non-mahasiswa juga benyak mengambil peran dalam lahirnya tonggak itu. Pada 1908 lebih banyak unsur pedagang dan birokrat kolonial, 1928 lebih banyak unsur pemuda, 1965 tentara yang lebih signifikan kontribusinya, pun 1998 tidak terlepas dari peran akdemisi, peneliti dan inteletual bebas[4]. Namun demikian, secara natural mahasiswa yang selalu mengawali perubahan melalui gerakan moral (moral force).

Mahasiswa juga dipercaya sebagai pembela nilai dengan memegang senjata kebenaran dilengkapi dengan rasionalitas dan misionaris ideologis dengan profesi sebagai intelektual. Tiada lelah mendampingi, mengadvokasi, menciptakan penyadaran dan memberikan pendidikan alternatif bagi kaum tertindas untuk proses pembebasan dari hegemoni elit penguasa. Kondisi ini menempatkan mahasiswa sebagai penjaga dari keseluruhan nilai yang ada di masyarakat.

Mahasiswa sebagai golongan intelektual menurut Pierre Bourdieu sebagaimana dikutip Arizal Mutahir dalam Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi memiliki tanggung jawab universal yaitu mempertahankan kebenaran dan keberpihakan pada yang tertindas baik secara ekonomi, sosial-politik dan budaya, hal itu karena:
1) Intelektual merupakan fraksi subordinat dari kelas dominan yang memiliki solidaritas dengan kelas lain yang juga terdominasi. 2) Intelektual secara tradisional mempunyai tanggung jawab moral. 3) Intelektual mempunyai otoritas untuk melakukan refleksi atas realitas yang dihadapi[5].
Arbi Sanit menyimpulkan ada lima alasan mengapa mahasiswa peka terhadap permasalahan rakyat yang kemudian mendorong mereka untuk bergerak melakukan perubahan. Pertama, mereka sebagai kelompok masyarakat yang mendapat pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. 

Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain mereka adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. 

Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah kemasyarakatan, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier. Seiring perputaran waktu, mahasiswa tak jarang mengisi waktu dengan mendirikan komunitas-komunitas kecil dan kelompok kelompok studi dikampus[6].

Hasibuan menekankan bahwa mahasiswa sebagai kaum muda adalah young human recourses, mereka sebagai subjek sekaligus objek pemberdayaan. Sebagai subjek mereka memiliki kecakapan-kecakapan efektif dengan bakat, minat dan keterampilan serta di dukung oleh melek teknologi untuk melibatkan diri secara aktif dalam meramu solusi-solusi terhadap masalah yang membelit bangsa. Sementara sebagai objek mereka masih membutuhkan bimbingan, bantuan serta dukungan untuk mengembangkan kemampuan dan sikap mandiri dalam keterlibatannya dimasyarakat[7].

Adi Suryadi Culla merumuskan mahasiswa selain sebagai entitas yang memiliki  pendidikan tinggi, mereka juga memiliki sikap spontanitas yang tinggi terhadap kondisi masyarakat  yang anomie akibat ambruknya tatanan lama sementara nilai-nilai yang baru belum terbentuk dengan demikian kondisi ekonomi, politik dan sosial berada dalam kondisi yang fluktuatif. 

Kemudian mahasiswa juga dinilai memliki sikap responsif terhadap infrastruktur dan suprastruktur politik negara yang tidak berjalan dengan baik dan mengakibatkan penindasan secara sistemik dan struktural[8].

Sulistyo mencoba menganalisis dari sisi pembiayaan pendidikan yang diterima oleh mahasiswa. yang mana pendidikan yang didapat dibangku perguruan tinggi tidak terlepas dari subsidi pemerintah. Pemerintah dapat dana dari rakyat. Secara tidak langsung mahasiswa telah menggunakan uang rakyat. 

Mereka belajar dan pintar karena sumbangsih rakyat secara finansial melalui retribusi pajak. Sehingga subsidi itu memunculkan kesadaran sosial di kalangan mahasiswa bahwa mereka dibiayai rakyat. Selanjutnya mereka punya hutang sosial pada rakyat, dan untuk membayar itu mereka perlu melibatkan diri dalam aktifitas sosial untuk rakyat, hal itu bisa termanifestasikan dalam gerakan-gerakan moral force yang dilakukan oleh mahasiswa[9].

Apa yang diwacanakan Bourdieu, Sanit, Hasibuan, Culla dan Sulistyo terhadap intelektual mahasiswa  secara umum adalah menempatkan mahasiswa sebagai agen of intellectual, agent of control dan agen of change yang sudah lama disandangkan pada mahasiswa. 

Meski penguatan terhadap gelar itu dalam bentuk praktek nyata dimasyarakat semakin memudar seiring dengan intensitas gerakan mahasiswa dalam membela hak minoritas yang menurun. Ke-tiga gelar justru menjadi perlambang prestis eksistensi, sementara secara substansi saat ini lebih banyak diperankan oleh media, LSM dan partai politik (politisi) meskipun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan yang tersirat didalamnya.

Bukan “Tuhan” atau Pendekar

Kita patut menghargai induksi dari beberapa tokoh diatas dalam menempatkan posisi mahasiswa dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tentu telah melalui penelusuran sejarah dari dekade demi dekade untuk sampai pada kesimpulan yang saat ini diamini oleh seluruh kalangan. 

Ini sekaligus menjadi gelar kebanggaan bagi mereka yang berstatus mahasiswa, tetapi juga ini sekaligus pengabaian terhadap pemuda non mahasiswa yang sejatinya sama-sama punya potensi untuk menciptakan perubahan, kontrol bahkan sebagai intelektual.

Tiga gelar mahasiswa diatas memang terkesan terlalu memasrahkan bangsa ini pada mahasiswa. Dengan tiga gelar suci nan agung diatas menempatkan mahasiswa laksana sang pendekar yang selalu hadir dikala ketimpangan mendera rakyat. Mereka datang untuk memerangi para bromocorah-bromocorah yang sewenang-wenang menggunakan otoritas untuk menyandra yang lemah dan menindas kaum duafa’

Mahasiswa dipercaya sebagai pengawas otoritas superior terhadap inferior, membela yang lemah dan yang terkucilkan agar tatanan kehidupan berbangsa, bernegara atau beragama tetap pada rel yang berkeadilan-memanusiakan. Sungguh Sulistyo, Sanit, Hasibuan dan Culla menempatkan peran mahasiswa hampir sempurna.

Bagi penulis ini terkesan “menuhankan” mahasiswa jika mereka diposisikan dengan peran-peran yang terlalu berlebihan diatas, karena kondisi mahasiswa tidak demikian adanya. Ini hanya akan melahirkan semacam ketergantungan pada mahasiswa untuk melakukan aksi, terbukti jika ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa kurang berpihak pada rakyat selalu mahasiswa yang ditanyakan gerakannya, dan ternyata mahasiswa tidak dapat memenuhi tuntutan itu. Sejatinya peran intelektual, kontrol dan perubahan bukan semata-mata tanggung jawab mahasiswa tetapi tanggung jawab setiap warga negara yang berkesadaran.

Boleh dikatakan apa yang dirumuskan oleh beberapa pemerhati mahasiswa diatas adalah hipotesa sementara, karena memang mereka berangkat dari sejarah bangsa ini, dimana belum banyak orang pandai. Orang pandai hanya lahir dari bangku kuliah dan ruang sekolah. 

Alat-alat untuk belajar dan informasi pengetahuan hanya ada di universitas sehingga masuk universitas menjadi kesempatan langka yang perlu dikagumi, ditambah lagi dengan pemetaan-pemetaan pelajar pada zaman Belanda.

Saat ini mahasiswa tidak ada bedanya dengan masyarakat pada umumnya. Jika mahasiswa dianggap sebagai kelas yang beruntung kerena punya kesempatan belajar sehingga punya pengetahuan yang lebih, maka alasan itu akan termentahkan dengan sendirinya, karena memperkaya ilmu pengetahuan tidak harus dikampus saat ini. Berkembangnya teknologi menjadi pembongkar sekat antara mahasiswa dan non mahasiswa. pengetahuan menjadi milik siapapun yang bersungguh-sungguh belajar, bukan lagi milik mereka yang kuliah. 

Perlu  diakui bahwa Google adalah professor paling cerdas saat ini, yang untuk dapat belajar padanya tidak perlu kuliah. Maka, untuk menjadi intelektual tidak perlu menunggu ke bangku kuliah. Apalagi dengan mahalnya biaya kuliah, sebagai mahasiswa tidak lagi menjadi perlambang intelektulitas tetapi perlambang dari kelas yang beruang. Serta tidak ada jaminan bahwa yang kuliah pasti mengalahkan yang tidak kuliah baik secara intelektualitas, kreatifitas, sikap kritis maupun moral.

Perubahan dasarnya adalah bukan semata fisik dan usia (seberapa tua/muda) atau tanggung jawab secara satatus, tetapi kesadaran yang muncul dari dalam diri setiap warga yang merupakan bagian dari negara ini. Negara bukan milik mahasiswa, bukan milik rakyat, bukan milik presiden dan menteri dan bukan milik politisi, negara milik kita bersama. 

Maka mestinya tanggung jawab perubahan tidak berkaitan dengan status ataupun umur manusia, melainkan seberapa sadar dan kemauan yang dimiliki untuk segera beranjak melakukan perubahan itu sendiri. Klasifikasi tua dan muda harus dihapus dalam konteks merebut keadilan, perubahan bahkan revolusi, yang tua bisa berjiwa muda yang memiliki spirit, optimisme dan antusiasme untuk berubah. Sebaliknya jiwa tua terjebak dalam fisik yang muda memiliki seribu alasan untuk psimis, malas dan putus asa.

Lantas siapa yang harus memulai perubahan itu, rakyat, politisi, atau tentara? Jika rakyat, rakyat yang mana? Lalu begaimana dengan kondisi rakyat yang belum sepenuhnya paham dengan kondisinya? Politisikah? Jaminan apa yang kita berikan bahwa politisi memang sepenuhnya berjuang untuk rakyat, bukan untuk partai? Kepercayaan apa yang bisa kita berikan ditengah banyaknya politisi yang diburu akibat kasus korupsi? 

Tentara pun serupa, tetap menjadi taming bagi penguasa, bahkan ada berapa banyak rakyat yang telah diinjak-injak oleh tentara? Berapa banyak rakyat dan mahasiswa yang mati ditangan tentara? Siapa lagi yang memulai? 

Tulisan ini bukan untuk melimpahkan beban negara kepada mahasiswa sebagai kaum muda, tetapi suatu fakta yang tidak bisa pungkiri bahwa kita adalah penumpang dalam satu kapal yang sama yakni Indonesia dan bumi tempat kita hidup. Tetapi masing-masing penumpang memiliki tujuan dan kondisi yang berbeda. Minoritas kecil berada dalam kabin yang mewah dan fasilitas yang lengkap dan menyantap makanan yang sehat dan bergizi. 

Sementara mayoritas berada pada sebagaimana zaman budak, perjalannannya sengsara dan mengenaskan. Maka kapal yang penuh ketidakadilan yang sedang melaju dimedan irasionalitas ini mustahil bisa seimbang berlayar dan selamat sampai ke pelabuhan. Pelayaran demikian ditakdirkan terbentur gunung es dan tenggelam, jika itu terjadi maka kita semua akan karam bersama kapal tersebut[10].

Adalah fakta bahwa terlalu melelahkan untuk memilih kaum tua (politisi, hakim tentara dsb) yang benar-benar berdedikasi untuk bangsa ditengah kebiasaan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Inisiatif pemuda dan mahasiswa untuk menyelamatkan kapal yang tengah oleng ini adalah harapan yang paling mungkin bagi pencapaian masa depan yang bersih, dan berani berkata tidak pada segala praktek kotor. Jika tidak, kaum muda akan tenggelam bersama kaum tua. Kerakusan dan kebejatan para tetua saat ini akan menjadi kegagalan bagi mahasiswa dimasa yang akan datang.

Dsisi lain, hidup ini bukanlah masa sekarang, masa depan pasti dihadapi. Berbicara masa depan kurang lengkap kiranya jika yang dibahas hanya para kaum tua (secara umur). Kerena mau tidak mau gerakan mereka dibatasi oleh usia. 

Masa depan ikonnya, tanpa mengenyampingkan peran kaum tua dalam membina generasi muda, adalah para pemuda dan mahasiswa yang secara fisik lebih fresh dan memiliki kesempatan lebih mungkin untuk mempelajari masa depan melalui masa lalu, serta secara natural masa depan adalah warisan bagi para pemuda. Apalagi mahasiswa sebagai pemuda yang belajar dijenjang pendidikan yang lebih tinggi dari pada masyarakat pada umumya. 

Secara hitungan  matematis mahasiswa seharusnya memiliki pengetahuan, kesadaran dan motivasi yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya untuk mengawal negeri ini kedepan. Jika tidak, kegagalan dimasa depan untuk membina suatu negeri yang berkepribadian, berkedamaian, berkeadilan, demokratis menjadi ancaman. Para kaum buruh, Kaum Miskin Kota (KMK), para nelayan, petani dan masyarakat marjinal akan kehilangan pahlawan, yang berdasarkan sejarah, mahasiswa adalah aspirator mereka.

Mahasiswa pantas terketuk hatinya, tersayat-sayat jiwa dan terenyuh batinnya menyaksikan rakyat sebagai budak ditambang-tambang milik sendiri, sebagai pelayan nafsu berkuasa para kapitalis. Rakyat belum beranjak sebagai pekerja rodi seperti dijaman Belanda hanya saja sekarang lebih sistemik ketimbang jaman belanda yang hanya menggunakan cemeti. 

Namun memiliki esensi yang sama yaitu rakyat diperas harta dan tenaganya. Rakyat mengucurkan “peluh kuning” disekujur tubuh tanpa diperlakukan secara manusiawi. Rakyat menjadi asing di negeri sendiri, dengan demikian tidak ada opsi lain selain melawan demi perubahan dan perubahan.

Kesimpulan

Bukanlah hal yang salah dan tidak berlebihan menempatkan mahasiswa sebagai agen dari perubahan. Rentetan sejarah membuktikan bagaimana peran mahasiswa dalam mencipta gerakan perlawanan, selain memang mereka punya kapasitas keilmuan yang diperolehnya dikampus. Kondisi carut-marut perpolitikan di negara ini akibat oleh tangan-tangan penguasa yang tidak bertanggung jawab menjadikan posisi mahasiswa cukup strategis untuk selalu menabuh gong dimulainya perlawanan.


[1] Puisi Taufik Ismail di kutip oleh Pahmi Sy dalam  Politik pencintraan : 2010, hal 202.
[2] Arizal Mutahir. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana. 2011
[3] Ibid., hal 3
[4]  Hermawan Sulistyo. Lawan: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Suharto. Jakarta: Pensil-324. 2002, hal 106-107.
[5]  Op. Cit., hal 9.
[6]  http://jamilkusuka.wordpress.com/2010/08/03/refleksi-gerakan-mahasiswa-setelah-12-tahun-reformasi/
[7]  Hasibuan, Muhammad Umar Syadat. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008, hal 3.
[8]  Adi Suryadi Culla dalam Gimnastik Politik nasionalis Radikal. 2009, hal 357.
[9]  Lawan. 2002, hal 105-106.
[10]  Pidato Fidel Castro yang disampaikan pada konferensi tingkat tinggi para pemimpin negara selatan yang tergabung dalam kelompok 77 di Havana pada 12 April 2000. Dalam Zaviera. Fidel Castro: Revolusi Sampai Mati. 2007,  hal 144.

Post a Comment

0 Comments