Bertopeng Pancasila: Sejarah Bukan Ideologi

Oleh: Herlianto A
Sumber: manhajsalafi.com
Entah berapa orang akan berontak jika Pancasila dihapus, mereka beranggapan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang menyatukan Indonesia. Tapi benarkah pancasila adalah ideologi final bagi Indonesia? Dan apakah bangsa ini telah bergerak berdasarkan pancasila sebagai konsekuensi dari finalisasi itu? sampai sejauh mana rakyat butuh ideologi? 

Secara sederhana Karl Marx dalam German Ideology mengatakan bahwa Ideologi tidak hanya sebagai doktrin dan keyakinan tetapi yang terpenting adalah ada sesuatu yang disembunyikan melalui ideologi. Marx melihat ideologi tidak pernah tampil dalam wujud yang netral. 

Untuk melihat bagaimana Ideologi berelasi dengan praktek kehidupan bernegara, ada beberapa hal yang perlu diketengahkan. Pertama, universalisasi demokrasi dalam perspektif Abraham Lincoln, bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pertanyaannya, siapakah rakyat itu? dalam negara kapitalis, para pemilik kapital adalah rakyat, dalam negara proletar, para proletar adalah rakyat, dan koruptor juga rakyat, disini kita terjebak dalam kubangan universalisasi. 

Kedua, sebagai konsekuensi dari universalisasi demokrasi, rakyat tanpa wajah. Meminjam bahasa Albert Camu “rakyat” menjadi absurd, semua mendifinisikan diri sebagai rakyat. Sementara  Dalam perspektif Emanuel Levinas, bahwa cinta, benci dan dendam terwujud hanya apabila wajah itu tampak.

Ketiga, Pagelaran dari keadaan alamiah. Thomas Hobbes mengatakan bahwa secara esensi ada leviathan dalam diri manusia, sehingga manusia adalah Homo Homini Lupus. Maka yang kita lihat saat ini adalah upaya saling jegal yang tak pernah usai diantara manusia. Mereka yang kuat adalah yang survive. Keempat, model masyarakat konsumsi ala Jean Budrillard, bahwa masyarakat digerakkan oleh kebuthan konsumsi, hasrat, prestis dan keperluan-keperluan iri lainnya. 

Jadi masyarakat tidak bergerak atas dasar ideologi melainkan pemenuhan kebutuhan dan hasrat. Disini pancasila tak lagi hadir seperti yang ada dalam idealitas imagi kita. 

Determinasi Ekonomi

Marx menegaskan bahwa ekonomi adalah basis yang menentukan terhadap suprastruktur yaitu politik, hukum, pendidikan, budaya dst. Dengan kata lain persoalan perut adalah persoalan mendasar manusia. Tak ada satu pun manusia rela lapar. Maka wajar jika dari sekian gejolak revolusi dalam suatu negara muncul akibat tak terpenuhinya kebutuhan perut alias goncangya perekonomian suatu negara. Revoulusi Mesir, Tunisa, Libya, Suria dan Indonesia pada 1998 saat diterjang krismon adalah contoh kongkrit. 

Negara maju berusaha sekuat tenaga mencengkram perekonomian negara berkembang melaui agenda pasar bebas dan pinjaman asing. Doktrin yang dibawa adalah globalisasi dan demokratisasi. Namun tidak masalah sekalipun tidak demokratis asalkan menyerahkan kekayaannya pada negara maju, itu yang kita lihat pada negara Arab dan negara timur tengah lain yang bergejolak saat ini.

Terpilihnya Joko “Jokowi” Widodo sebagai Gubernur Jakarta, meski secara kultur bukan orang Betawi, adalah bukan karena secara politis ia dikader PDIP. Tetapi Jokowi lebih menjanjikan akan kesejahteraan dibandingkan yang lain. Gaya down-to earth (blusukan) dengan membantu langsung rakyat dibawah, menjadikan Jokowi di harapkan oleh rakyat. Sehingga ia tersimbolisasi sebagai pemimpin yang menyejahterakan.

Jadi dalam kasus ini rakyat tidak digerakkan oleh ideologi apapun. Mereka digerakkan oleh rasionalisasi kesejahteraan. Orang papua jelas menolak Pancasila, pemberontakan mereka ,seperti yang dilakukan OPM, bukan karena tidak paham pancasila. 

Yang mereka butuhkan adalah keterpenuhan ekonomi apapun ideologinya, HTI dan organisasi Khilafiyah lainnya juga menolak pancasila, bisa kita telusuri dana operasionalnya dari mana. Dengan demikian ekonomi sebagai basis Ideologi. Ideologi dibutuhkan sejauh membentuk ekonomi. Maka kontradiksi kehidupan ekonomi menuntut penyesuaian ideologi.

Ekonomi bersifat determinan, sementara ideologi bersifat dinamis dan dialektis. Saya yakin Sukarno sebagai perumus Pancasila memiliki maksud yang berbeda dengan yang dipahami dan diterapkan sekarang. Kita bisa flash back bagaimana alur interpretasi terhadap Pancasila. Masa Orde Lama “komunis” yang tergabung dalam “Nasakom” masuk sebagai yang inheren dalam Pancasila. 

Orde Baru berhasil menghapus itu, dengan menciptakan tafsirnya sendiri dalam P4. Suharto menempatkan pancasila sebagai legitimasi status quonya, ia pun langgeng selama 32 tahun. Setelah reformasi bergulir makna Pancasila kembali berubah, desentralisasi menjadi yang inheren. Entah pasca reformasi, Pancasila akan menopengi siapa lagi.

Jadi Pancasila belum final dan selamanya tidak akan pernah final. Maka dalam kondisi ketidak finalan inilah sebenarnya kita tidak sedang berpancasila. Pancasila hari ini (dari sila ke satu hingga ke lima) hanyalah formalisasi untuk melegitimasi kuasa tertentu. Dan sama sekali tidak ada relevansinya dengan kesejahteraan rakyat dan persatuan. Kita bersatu bukan karena pancasila tapi karena sejarah.

Belakangan Indonesia mulai ragu dengan Pancasila. Pancasila tidak lagi diletakkan sebagai dasar dari negara sebagaimana dimaksud oleh Sukarno. Pancasila dengan posisi barunya sebagai “pilar” telah tereduksi oleh pilar yang lain yaitu pilar NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 sebagaimana dirumuskan MPR. Artinya pancasila saja tidak cukup. Dibalik itu, kita bisa bertanya berapa dana yang dihabiskan untuk sosialisasi empat pilar? Artinya disitu ada motif ekonomi entah apa bentuknya.

Rakyat Butuh Sejarah

Bangsa atau masyarakat tidak butuh ideologi tapi butuh sejarah. Ada tiga Fase Sejarah yang oleh M.Yamin diacu pada saat merumuskan dasar negara, yaitu Sriwijaya-Syailendra, Majapahit dan Indonesia Mederka yang sekarang ini. Sriwijaya dan Majapahit bisa eksis karena mereka menciptakan sejarah. 

Sejarah yang mereka ciptakan adalah sejarah kesejahteraan. Tidak mungkin Majapahit dibawah kendali Gajah Maja bisa melakukan invasi keberbagai penjuru jika kondisi internal kesejahteraan Majapahit tidak tercapai, termasuk juga Sriwijaya. 

Belakangan rakyat merindukan sosok Suharto. Rakyat miskin rindu Orde Baru dimana harga sembako murah, harga BBM terjangkau, petani tidak kekurangan pupuk, laut terbebas dari penjarahan baik dari pihak asing maupun orang sendiri, suasana tanpa konflik horizontal baik atas nama etnis maupun atas nama preman serta kehidupan beragama yang damai. 

Memang Suharto memerintah negeri ini dengan tangan besi, tapi ia berhasil menciptakan sejarahnya sendiri. Sehingga rezim Suharto selalu hadir sebagai perbandingan dengan kondisi negara yang tak kunjung membaik.

Jadi pada dasarnya ideologi merupakan konstruk kuasa, Pancasila selalu hadir dalam posisi selalu miring pada kepentingan. Kini rakyat butuh kesejahteraan tak peduli apapun ideologinya. Untuk itu, bangsa, sejarah dan ideologi bersatu sebagai konstruksi kuasa ekonomi demi kesejahteraan.

Post a Comment

0 Comments