Mahasiswa dan Tentara Trauma

Oleh: Herlianto, wartawan Jawa Pos Radar Malang. 
Sumber: socio-politco.com

Trauma secara psikologis itu sangat mungkin sekali menimpa manusia, siapapun dia. Begitu juga pada diri mahasiswa. Mereka sebagai agen perubahan harus diakui bahwa mereka merasa trauma di benaknya. Trauma itu terjadi karena ia pernah di hadapkan dengan kekerasan yang berbau tentara atau militer dan aparat-aparat yang lain. Era orde baru adalah masa yang membuat mereka secara psikologis gentar dimana tentara secara ketat mempressing mahasiswa. 

Suharto sukses memperalat tentara untuk menjalankan misinya sebagai pemimpin otoriter dengan memposisikan tentara sebagai pelindungnya. Mahasiswa sebagai segolongan masyarakat yang cukup kritis kala itu dibungkam suaranya dengan popor senjata, tendangan dan penculikan. Tentu peristiwa mengerikan ini membuat psikologis mahasiswa trauma berat. Wajar, jika yang berbau tentara diidentikkan dengan kekerasan, dehumanisasi, penculikan dan kaki tangan kekuasaan oleh mahasiswa. 

Rasa inilah yang saya lihat saat meliput aksi demo mahasiswa di Universitas Merdeka Malang beberapa waktu lalu. Mahasiswa menolak keras kebijakan rektorat yang menyerahkan pelatihan mental mahasiswa baru (maba) pada tentara. Konon, maba akan dilatih kedisiplinan melalui tangan dingin tentara di lapangan rampal kota Malang. 

Rektorat Unmer berkeyakinan bahwa disiplin perlu dicamkan dalam diri mahasiswa apalagi mereka masih baru. Dan satu-satunya jalan yang paling tepat adalah melalui pelatihan yang dilakukan oleh tentara. Ngomong kedisiplinan, tentaralah gembongnya. Sekalipun opini ini menuai pertanyaan mendasar, benarkah kedisiplinan sepenuhnya milik pada tentara?.

Melihat kebijakan itu, puluhan mahasiswa Unmer yang merasa peduli dengan adik-adiknya tidak terima, mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan maba dari tangan dingin tentara. Mereka kemudian datang berbondong-bondong kedepan rektorat Unmer, dengan sebuah megaphone mereka berorasi. 

Mencaci rektorat sebagai manusia yang tidak paham akan sejarah perjuangan berdarah mahasiswa dengan tentara. Bahkan ada upaya dengan melupakan sejarah masa lalu antara mahasiswa dan tentara, dimana mahasiswa selalu menjadi korban kebejatan mereka. Sampai saat ini masih ada belasan mahasiswa yang belum ditemukan dimana rimbanya akibat penculikan tentara pada tahun 1978 dan 1996.

Mahasiswa meminta agar rektorat menemui dirinya di halaman rektorat, untuk menjelaskan terkait pilihan rektorat menyerahkan maba pada tentara. Tetapi sayangnya ,rektorat tidak mau keluar menemui mereka. Malah yang datang hanya korem Malang dan seorang intel yang mengaku namanya Arif. Mahasiswa begitu geram, akhirnya mereka membakar daun palem yang sudah kering, dan beberapa kantong plastik sampah yang sudah dipersiapkan sebelumnya. 

Berkali-kali mahasiswa memberikan aba-aba laksana pemimpin upacara atau bos dalam sebuah perusahaan untuk meminta rektorat keluar dan menjelaskan pada mahasiswa. Tetapi lagi-lagi yang keluar hanya seorang satpam yang justru menyembunyikan keberadaan rektorat. Si satpam mengaku bahwa rektorat tidak ada diruagan. 

Padahal mahasiswa berkeyakinan rektorat ada di dalam. Akhirnya mahasiswa membakar semua kantong sampah tepat di depan gedung rektorat. Satpam mencoba melarang mereka tetapi mahasiswa mendesaknya agar tidak ikut campur dalam urusan ini. Satpam pun diam.

Saya yang baru tiga hari menjadi wartawan Jawa Pos Radar Malang, mencoba menemui korlap aksi. Saya mewawancarai dia. Tetapi saya tidak menemukan alasan yang substantif tentang penolakan mereka dengan kebijakan rektor itu. Malah saya menduga mereka hanya terjebak pada kisah masa lalunya bahwa dulu tentara keras dan menindas. Mereka anti dengan perubahan tentara yang ada saat ini. Paling tidak tentara tidak lagi masuk dalam tatanan politik bernegara kita. Sungguh aneh,yang mereka takutkan justru takut adik-adiknya berambut cepak setelah dikader oleh tentara. Lucu sekali!!!.  

Sayangnya setelah saya mencoba menemui rektor untuk mengkonfirmasi apa yang dituduhkan oleh mahasiswa, saya malah dihadang oleh satpam yang menurut saya tidak paham bagaimana profesi wartawan. Dia dengan bernada kasar bertanya pada saya kenapa kok tidak langsung menemui rektorat, kenapa masih menemui mahasiswa dulu. Bagi saya satpam ini konyol, membuat aturan sendiri tentang bagaimana harusnya wartawan meliput. 

Tetapi aku mencoba menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya bahwa wartawan harus membuat berita yang berimbang. Artinya tidak cukup menerima pesan dari mahasiswa saja tetapi perlu ada penjelasan dari rektorat. Alasan ini saya temukan di kode etik jurnalis. Bahwa seorang wartawan harus memberitakan sesuatu secara seimbang. Akhirnya satpam minta maaf, dan memberi saya air minum. Saya menolaknya, ini bukan suatu keangkuhan biar dia mengecamkan bahwa wartawan dijaga oleh kode etik.

Terlepas dari apa jawaban rektorat. Saya merasa bahwa trauma mahasiswa ada benarnya juga. Itu harus dihargai, paling tidak dengan sosialisasi yang massif dulu oleh rektorat, tidak seenaknya. Karena, adalah fakta bahwa mahasiswa pernah menjadi korban kekerasan tentara. Dan kita semua sudah mafhum akan hal itu. 

Sebaliknya juga mestinya mahasiswa lebih dialogis lagi menyelesaikan masalah ini. Karena bagi saya, isu pelatihan ini tidak perlu diselesaikan dengan cara demo, apalagi sampai bakar-bakar sesuatu yang sama sekali tidak perlu. Bagi saya masalah itu dapat diselesaikan sambil minum kopi dan ngerokok. Tidak perlu bengak-bengok.

Mahasiswa harus memahami juga bahwa, dalam sejarah Indonesia, mahasiswa tidak hanya menjadi korban dari tentara tetapi mahasiswa juga pernah bermitra dengan tentara. Itu terbukti pada saat mahasiswa dijadikan kawan oleh Suharto pada saat menggulingkan Sukarno. Mahsiswa banyak yang tidur di korp tentara. Bahkan setelah Sukarno lengser mahasiswa bagi-bagi kekuasaan dengan tentara di legislatif.  

Jadi sebenarnya mahasiswa tidak perlu berlebihan menyikapi perkara tentara. Persoalan bahwa dulu mahasiswa pernah menjadi korban penculikan adalah wilayah hukum. Dan semestinya itu yang terus di suarakan oleh mahasiswa. Tentara saat ini sudah banyak tentara yang bukan masalalu sekalipun masih ada yang merupakan bagian masa lalu.

Post a Comment

0 Comments