Oleh: Herlianto A, Mahasiswa STF Al-Farabi Malang, Wartawan Jawa Pos Radar Malang
Kompas
membeber tuju mahasiswa baru (maba) tewas sejak tahun 2000 hingga 2013 akibat
kekerasan saat ospek, yaitu 3
Maret 2000, Ery Rahman, Praja STPDN, 31 agustus 2001 Donny Maharaja,
Universitas Gunadarma, 2 nov 2002, EM Velley Nur, universitas padjajaran, 3 sep
2003, Wahyu Hidaya, Praja STPDN, 3 April 2007, Cliff Muntu, mahasiswa IPDN, 12
mei 2008, Agung Bastian Gultom,Taruna Sekolah tinggi ilmu pelayaran, 9 feb
2009, Dwiyanto Wisnu Nugroho, ikatan mahasiswa geodesi ITB, dan trakhir 12 ok
2013 Fikri Dolasmantya Surya, Mahasiswa ITN Malang (14/12/ 2013). Ini membuat banyak pihak miris bahkan kompak mempertanyakan signifikansi
ospek bagi maba.
Data ini menunjukkan bahwa kekerasan atas nama ospek
bukan hal baru dalam dunia kampus, bahkan kita sudah akrab menyebutnya sebagai
perploncoan. Perpeloncoan, menurut Susan Lipkins dalam Menumpas Kekerasan Pelajar dan Mahasiswa: Menghentikan Perploncoan di
Sekolah/Kampus (2008:16), tiada bedanya dengan prinsip sororitas dalam
dunia kemiliteran. Dimana senior berusaha mempertahankan sebuah hirarki yang
sudah mapan dalam tata senioritasnya dikampus. Ini dilakukan dengan
menghalalkan banyak cara. Dan maba sebagai newbie
(pendatang baru) harus tunduk pada hirarki itu.
Tingkat kekejaman dan modus yang digunakan untuk
membuat maba tunduk tergantung pada senior yang menginginkan maba hormat pada
“tetua”. Semakin
maba punya keberanian untuk melawan, semakin keras pula punishment yang diberikan. Kerasnya sanksi bisa berupa denda uang
dalam jumlah yang besar, atau ancaman tidak lulus ospek jika tidak mengikuti
perintahnya, dan tahun depan harus ngulang serta paling kasat mata hukuman
fisik.
Dengan
segala ketakutan, maba melakukan apa saja perintah senior sekalipun menyadari
sepenuhnya bahwa yang dia lakukan sama sekali tidak ada kaitannya dengan
pembangunan mental yang selama sering digadang-gadang sebagai alasan terkuat
kenapa ospek harus diadakan. Maba kemudian pasrah
mengenakan pakaian kardus, kalung tali rafia, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, kira-kira jenis mental apa yang di
dapatkan mahasiswa setelah diperlakukan demikian? Benarkah pendidikan penuh
ancaman akan melahirkan mental pemberani dan penyayang? Benarkah dengan
dipelonco maba kelak menjadi pemimpin yang bijaksana, tidak korup dan patuh
pada hukum? saya rasa belum ada rujukan yang menjawab ini, termasuk cara-cara
mahasiswa senior dalam memperpelonco maba.
Celakanya, meski para pemangku kebijakan di negeri
ini sadar bahwa perpeloncoan tidak membentuk karakter dan tidak ada relasinya
dengan pembentukan mental. Tetapi mereka enggan untuk mengambil sikap yang
tepat dan tegas. Yang terjadi dibiarkan menjadi siklus sororitas yang terus
berlanjut tiap tahun. Setalah mahasiswa baru menjadi senior, mereka balas
dendam melakukan hal yang sama pada mahasiswa baru selanjutnya. Sehingga maba
selalu menjadi korban kekerasn senior dikampus. Entah kapan akan berakhir?
Ospek
Sebagai Kesadaran Naif
Dengan demikian jelas perpeloncoan bertentangan dengan
semangat pendidikan membebaskan. perpeloncoan menjadi sebentuk neo-dehumanisasi
yang dipraktekkan oleh seniornya sendiri.
Dengan kata lain, menurut Paulo Freire, mahasiswa baru dijejali
kesadaran “magis” dan “naif”. Kesadaran magis (magical consciousness) berarti kesadaran yang tak mampu melihat
adanya kaitan antara satu tindakan dengan tindakan yang lain, dan menganggap
penindasan terhadap dirinya sebagai sebuah pre-determinasi kampus (aturan
kampus) yang tak bisa ditentang.
Perlakuan senior dalam Ospek dianggap tahapan-tahapan
prosedur yang ditetapkan oleh kampus. Dan memiliki konsekuensi jika tidak
dipatuhi.Sementara kesadaran naïf (naival
consciousness) yaitu sadar bahwa yang ada diatasnya dalam hal ini senior,
sebagai penyebab akan penindasan terhadap dirinya tetapi tidak memiliki keberanian
untuk melakukan perlawan.
Pola
demikian bagi Freire adalah antagonisme pendidikan: Senior sebagai Subjek dan
Maba sebagai objek, Senior berfikir sementara Maba dipikirkan, Senior
mengetahui segalanya dan Maba tidak tahu apa-apa, Senior menentukan peraturan
sementara Maba diatur, Senior memaksakan pilihan dan Maba menyetujuinya, dst. Pendidikan
demikian sama sekali tidak memanusiakan.
Selanjutnya disebut banking education of concept (pendidikan ala bank) yang menempatkan
maba sebagai sirkulasi deposito terbinanya budaya patriarkal dikampus. Ini
jelas pembodohan massal di kampus.
Seharusnya yang ditanamkan oleh mahasiswa senior
sebagai yang sudah mengetahui seluk-beluk kampus adalah menanamkan kesadaran
kritis (critical consciousness),
yaitu bagaimana memahami antara satu faktor dengan faktor yang lain dan relasinya
dengan sistem yang berlaku. Dengan demikian maba
harusnya dihadapkan dengan persoalan yang sebenarnya. Misalnya, mengapa biaya
kuliah mahal, mengapa korupsi tak kunjung usai, buruh tetap saja sengsara
padahal negara ini kaya dst.
Nah,
penyadaran melalui menghadapkan maba pada masalah yang sebenarnya inilah yang
disebut oleh Freire Problem Possing
Education (Pendidikan hadap masalah), yaitu menghadapkan langsung maba pada
polemik sosial yang sebenarnya. Maba menjadi sadar realitas dan paham kondisi
real.
Inilah
model pendidikan yang seharusnya ditanamkan dalam proses pendidikan lebih-lebih
jenjang perguruan tinggi. Sehingga terasahlah nalar kritis para maba, lahirlah
tokoh-tokoh pembela kemanusiaan, kebenaran, keadilan. Bukan figur-figur
hippokrit nan korup.
Sebagaimana diajarkan oleh Freire, kita tidak ingin
generasi yang lahir adalah “nekrofili” yang cinta kematian dan hobbi menghisap
bangkai saudara sendiri. Harapan kita semua adalah generasi “biofili” yaitu
generasi yang cinta dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Humanisme hanya akan
lahir dari proses pendidikan yang humanis pula, pendidikan rakus dan kejam akan
ditakdirkan melahirkan orang-orang yang tamak dan pembual serta pendendam.
Dengan
demikian, bukan “memesis” (semu/tiruan) yang disampaikan pada maba melalui
menakut-nakuti dengan denda apalagi kekerasan fisik. Sudah bukan jamannya
sororitas diterapkan dikampus, kerena tentara saja sudahmeninggalkan pendidikan
tak manusiawi ini. Sehingga siklus yang terjadi: refleksi, berfikir dan aksi,
bukan siklus perpeloncoan dan pembodohan.
0 Comments