Agen of Change: Bukan Berati Tuhan

Oleh: Herlianto, Wartawan Jawa Pos Radar Malang, Mahasiswa STF Al Farabi Malang


Add caption: penulishidupku.com
Membincang gerakan perubahan di bangsa ini rasanya tidak lengkap jika tidak mengupas peran intelektual muda dan mahasiswa. Sejarah menuturkan bahwa kelompok mahluk yang satu ini memiliki peran begitu vital dalam kancah gerak perubahan. Sekian literatur mengupas bagaimana sikap progresif kaum muda dalam memotori perlawanan. Hampir disetiap pergeseran orde dan rezim mahasiswa selalu mengambil bagian penting. Budi Utomo 1908, Indonesia Muda 1928, gerakan mahasiswa angkatan 66, 74 dan 98 adalah fosil sejarah yang kerap dikemukakan oleh para sejarawan pun para pemerhati gerakan mahasiswa.

Tonggak itu mengantarkan mahasiswa pada posisi puncak pujian sebagai “pembela rakyat” yang dielu-elukan hampir disepanjang masa. Kisah-kisah mahasiswa begitu melegenda bak cerita-cerita kepahlawanan. Jangan tanya siapa mahasiswa, karena jawabannya sudah pasti, mahasiswa adalah kaum intelektual muda yang berperan penting dalam menciptakan perlawanan demi mengawal perubahan. Meski sebenarnya pujian berlebihan ini tidaklah terlalu baik bagi kesehatan dan ketangguhan gerakan mahasiswa itu sendiri, karena akan membawa pada perasaan merasa jumawa dan “merasa bisa” bukan “bisa merasa”. 

Alur sejarah beserta hiruk-pikuk gerakannya tereduksi menjadi jejak-jejak perjuangan sang “pendekar penyelamat”. Sementara cerita penyerta nan buram dibalik rencana-rencana dan pesta demonstrasi mahasiswa menjadi tertimbun oleh situs-situs gerakan heroism dan tak lagi kasat mata. Gerakan pemuda dan mahasiswa dipadatkan kedalam beberapa peristiwa sejarah saja.  

Secara psikologis, pujian yang berlebihan akan membentuk mental prise junkis[1] mahasiswa, yaitu bergerak atas tuntutan segenggam pujian dan kehendak memperoleh sanjungan. Jika terus menerus ini dilakukan, maka mendapat penghormatan dari khalayak melampaui dari tujuan tindakannya, sederhananya menjadi manusia “gila hormat”. 

Belakangan kita sering memergoki mahasiswa mencari hormat. Seperti, muncul demonstrasi demi merebut media, agar orang-orang (setidaknya nama korlapnya) beserta nama organisasi dapat menghiasi rubrik media yang dibaca banyak orang. Saya memahami mereka akan berontak jika dikatakan demikian dan menegaskan bahwa semua yang dilakukan adalah dalam upaya advokasi untuk rakyat. 

Tetapi jika mahasiswa mau jujur dan ksatria akan mengakui hal ini dan menyadari bahwa kebanggaan berlebihan membawa mahasiswa larut dalam masa lalu, ruang diskusi hanya dipenuhi oleh nostalgia demi nostalgia dan cerita-cerita heroism. Kondisi demikian, lambat laun akan menjungkalkan mahasiswa pada arogansi masalalu dan gampang lupa diri. Arogansi akan mengikis habis idealisme, sementara idealisme adalah ruh lahirnya gerakan perlawanan, idealisme adalah tulang rangka gerakan serta kompas bagi tujuan gerakan.  

Maka segala bentuk pembiakan arogansi sama artinya menyusun rencana panjang pelumpuhan gerakan mahasiswa itu sendiri. Sebagai bagian dari mahasiswa saya merasa bahwa situasi  ini layak untuk dipikirkan dan direnungkan. Langkah otokritik diperlukan sebagai upaya korektif untuk mengembalikan ghiroh gerakan mahasiswa yang memang pernah ada.

Saya  ingin menghadirkan satu petikan puisi yang ditulis oleh Taufik Ismail era 65an. Puisi ini kerap dikutip untuk menggambarkan kekuatan yang dimiliki mahasiswa dalam berhadap-hadapan dengan penguasa beserta rentetannya dengan rantai kekuasaan yang ada diperguruan tinggi. Bunyinya demikian:

“Mahasiswa takut dengan dosen, dosen takut dengan dekan, dekan takut dengan rektor, rektor takut dengan menteri, menteri takut dengan presiden, presiden takut dengan mahasiswa”[2].

Petikan puisi ini menggambarkan betapa mahasiswa memiliki kekuatan dahsyat, orang nomer satu suatu negara berhasil “ditakut-takuti”. Berbagai kekuasaan rezim  dilengserkan. Di Indonesia lengsernya Sukarno bersama Orde Lama dan turunnya Suharto beserta Orde Baru – tanpa bermaksud menghilangkan penunggang gelap gerakan mahasiswa ‒ adalah prasasti sejarah sepak terjang mahasiswa dalam mendepak otoriterisme.

Dibeberapa negara dunia, seperti revolusi Rusia 1917 juga melibatkan pemuda terpelajar sebagaimana disampaikan I.V Lenin sendiri dalam what is to be done, Revolusi di Filiphina menumbangkan rezim Marcos, maupun rezim Franco di Spanyol. Dan baru-baru ini bisa kita saksikan dalam revolusi Tunisia, dimana mahasiswa menjadi pengibar bendera runtuhnya rezim Zine Den Ben Ali, di Mesir mahasiswa menjadi inspektur suara-suara demokrasi hingga rezim Husni Mubarok terjungkal, pun di Libya meski pada akhirnya Muammar Khadafi tewas ditangan para opposan. Di lapangan Tiananmen, Beijing, sempat menumpahkan darah demokrasi, meski berhasil diredam oleh rezim komunis Cina. Sungguh menakutkan bagi para penguasa!

Namun, untaian sajak diatas juga melihat sisi lemah mahasiswa, mereka tidak bisa sepenuhnya dijadikan simbol segala bentuk pelumpuhan kekuasaan. Dibeberapa momen harus diakui bahwa perlawanan mahasiswa berhasil diredam. Bahkan sesekali ditunggang oleh elite demi perebutan kekuasaan. Ini menjadi semacam dua sisi koin kekuasaan yang sama-sama punya kelebihan dan kekurangan. 

Penguasa yang takut pada mahasiswa ternyata sangat mungkin untuk melemahkan mahasiswa, bahkan melumpuhkan segala bentuk potensi melawan yang dimilikinya. Itu tergambar misalnya pada orde baru, bagaimana penguasa memaksimalkan alat-alat kekuasaannya, dalam hal ini aparat, untuk secara sistematis membendung sikap kritis mahasiswa. Secara perangkat ideologis melalui mikanisme pendidikan, Orde baru berhasil “memborgol” nyali mahasiswa melalui NKK/BKK. NKK/BKK menganulir semua aktivitas politik mahasiswa dan meletakkannya dibawah kontrol penuh perangkat kampus seperti dosen, dekan, rektor dan pembantu rektor. 

Upaya ini berhasil membekab suara-suara mahasiswa, walhasil Orba ajeg selama 32 tahun. Entah apakah “pendidikan karakter” yang belakangan didengung-dengungkan oleh pemerintah merupakan bagian melemahkan gerakan mahasiswa atas nama moral.

Rasanya kita perlu mengakui peran strategis mahasiswa yang pernah ada dalam perubahan, tetapi bukan lalu kemudian mahasiswa sombong dengan itu. Mahasiswa harus pandai mengoreksi diri agar selalu ada pada khittah gerakan. Indikasi-indikasi gerakan mahasiswa di abad 21 ini menunjukkan adanya involusi gerakan mahasiswa, terbukti reformasi hanya melahirkan semangat berkisah tentang keagungan masa lalu. Ini berbanding terbalik dengan era Orde Baru yang mencekam tetapi justru kondisi menekan dan manipulatif ini  mendorong pemuda dan mahasiswa bangkit dan bersatu untuk melawan.

 Intelektual Kritis

Wacana mahasiswa sebagai intelektual kritis berangkat dari bahwa mahasiswa sebagai komunitas yang lebih maju dibandingkan dengan komunitas pemuda lain. Lebih maju karena mahasiswa mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi ketimbang masyarakat kebanyakan. Meminjam istilah Soe Hok Gie, mahasiswa adalah the happy selected few

Mereka, di kampus, memperoleh pendidikan secara sistematis, komprehensif, detail dan universal dengan dipandu oleh para ahli dan pakar (dosen). Juga didukung oleh kondisi yang punya banyak waktu untuk belajar, membaca, berdiskusi dan menulis. Tidak ribet oleh persoalan pemenuhan biaya hidup karena orang tua sudah menyediakan itu, meski ada beberapa mahasiswa yang kuliah sambil bekerja untuk memenuhi kebutuhan belajar. Karena kebutuhan dasar telah disupport oleh keluarga, maka mereka bisa fokus menimba pengetahuan tanpa dirintangi oleh persoalan “lauk pauk”. 

Waktu lebih yang dimiliki memungkinkan menggali pengetahuan tidak hanya diruang kuliah tetapi juga diluar kelas. Misalnya terlibat dalam beberapa organisasi pergerakan, berdebat di ruang-ruang diskusi untuk menguji keabsahan gagasannya, mengasah logika dan berdialektika untuk mempertajam kemampuan analisinya tanpa terikat waktu. Peluang itu tidak didapat oleh masyarakat pada umumnya.  

Maka, mereka kerap disebut sebagai intelektual. Secara sederhana, menurut Arizal Mutahir intelektual adalah seseorang yang baginya aktifitas berfikir, meneliti, dan perjuangan mengubah tatanan dunia yang kacau adalah sebagai bentuk kerja. Selalu jauh dari merasa puas pada berbagai hal yang sudah ada dan pakem. Mendistribusikan informasi edukatif dan sebagai motor dari kebudayaan, atau mereka yang memiliki tanggung jawab, misi, keinginan bahkan kewajiban untuk membawa pencerahan dari kegelapan zaman[3]

Mutahir juga mencoba menguraikan tiga pandangan dari figur yang berbeda terkait intelektual dan perannya dalam masyarakat. Mereka adalah Karl Mannheim, Julien Benda dan Antonio Gramsci. Tokoh pertama menyatakan bahwa kaum intelektual adalah bagian dari masyarakat yang tidak terikat dan tidak masuk dalam satu kelas (independen). Karena posisinya yang “lepas bebas” maka mereka berperan sebagai mediator atau jembatan yang menghubungkan antar kelas agar terjalin keselarasan dan kesaling pengertian.

Dengan begitu kaum intelektual tidak memiliki interest apapun baik ekonomi maupun politik. Yang mereka impikan adalah kedamaian, keadilan serta kesejahteraan dengan dihapusnya segala bentuk penindasan dan ekploitasi. Sementara Julian Benda dalam hal independensi tidak berbeda dengan Mennheim, ia menambahkan bahwa kaum intelektual memiliki keteritakan yang besar terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 

Ini muncul karena mereka tidak memiliki kepentingan secara ekonomis. Jadi intelektual yang bekerja dan terlibat dalam kekuasaan dipandang telah berselingkuh dari kebenaran kerena mereka terobsesi dengan kekuasaan, popularitas dan uang. Kekhawatiran yang muncul adalah mereka cenderung mengaburkan antara yang ilmiah dan yang fiksi/semu, yang adil yang zalim yang hak dan yang batil. Ujungnya menjual rakyat demi kepentingan pribadinya. Benda kemudian mempertegas bahwa intelektual adalah mereka yang haus akan kebenaran, tidak tergoda oleh uang, kehormatan dan kekuasaan. Dengan demikian mereka adalah kelas pada dirinya.

Sementara Gramsci menyatakan bahwa “semua orang adalah intelektual tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat”. Pernyataan ini didasari oleh beberapa orang yang memiliki keilmuan lalu kemudian dipraktekkan dan sebaliknya, orang yang memiliki keilmuan tetapi diam dalam keilmuannya laksana menara gading. 

Persoalan intelektual Gramsci berbeda dari kedua tokoh diatas. Ia menyatakan bahwa masing-masing kelas memiliki intelektualnya sehingga mereka mampu memahami tidak hanya peran dan fungsi bagi kelasnya tetapi juga bagi kekuasaan, ekonomi dan sosial. Intelektual yang bergabung dengan status quo dinilai mengabaikan dan melanggar kepentingan kelas sosial, tetapi tidak melanggar kepentingan kebenaran profesinya. 

Dalam pandangan Pierre Bourdieu intelektual memiliki tanggung jawab universal untuk mempertahankan kebenaran dan keberpihakan pada yang tertindas baik secara ekonomi, sosial-politik dan budaya. Kondisi ini disandarkan pada keadaan bahwa: 1) Intelektual merupakan fraksi subordinat dari kelas dominan yang memiliki solidaritas dengan kelas lain yang juga terdominasi. 2) Intelektual secara tradisional mempunyai tanggung jawab moral. 3) Intelektual mempunyai otoritas untuk melakukan refleksi atas realitas yang dihadapi[4].

James Petras Guru Besar Sosiologi di Universitas Binghamton New York memperkuat posisi intelektual bahwa intelektual menjadi penting karena beberapa alasan. Pertama, Mereka dapat mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial. Kedua, melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan, atau gerakan politik. Ketiga, menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan, dan strategi-strategi imperialis. 

Keempat, menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik, dan program-program bagi rejim, gerakan, dan para pemimpin. Kelima, mengorganisasi serta berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan[5]. Rasionalisasi Petras ini dekat pada bahwa intelektual sebagai agen dari perubahan, intelektual selalu proaktif untuk merebut momentum demi menciptakan perubahan. 

Sementara intelektual dalam pandangan Nurani Soyomukti adalah mereka yang memiliki pola pikir ilmiah dan pengetahuan yang obyektif. Dengan menggunakan cara pandang materialisme Marxist, Soyomukti mendefinisikan pengetahuan objektif adalah pengetahuan yang tidak terpisah dengan akar meterialnya. 

Pengetahuan yang objektif adalah ilmu yang berpihak pada kelas tertindas dan golongan miskin. Dengan demikian “intelektual sejati adalah intelektual yang menganalisa sejarah dan realitas sosial secara objektif dan material”. Intelektual hakiki adalah mereka yang memiliki spirit kaum miskin dan tak memalsu realitas, karena akar-akar historis mengatakan bahwa orang miskin tidak punya kepentingan apapun untuk memalsu realitas, dan ini yang mengkontraskan dengan kaum borjuis yang selalu bersembunyi dibalik topeng ideologisnya untuk menyembunyikan ekploitasinya[6]

Sehingga intelektual punya kemauan untuk mengorbankan waktunya dalam memikirkan tentang rakyat. Dengan waktu dan pengetahuan yang dimiliki “mau berbicara tentang realitas yang lebih luas di luar dirinya juga, hubungannya dengan orang lain, masyarakat, bangsa dan negara. Kaum ini (dianggap) sebagai pembicara soal masyarakat, mampu menghubungkan suatu konsep dan gambaran-gambaran yang ada tentang masyarakat dan lingkungan”. Dari sinilah Soyomukti perlu memetakan anatara intelektual dengan orang biasa[7]. Ia menyatakan bahwa:

pembedaan antara ‘intelektual’ dan ‘manusia biasa:’ kalau manusia ‘biasa’ dalam ruang-waktunya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan (dan memikirkan) dirinya sendiri, misalnya, bagaimana bisa makan, minum, atau sekedar membikin kegiatan yang berguna bagi kepuasan dan kesenangan diri (happy-happy, ‘dugem-dugeman”); maka intelektual (dianggap) manusia yang, dengan tidak menafikan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, masih sempat atau (bahkan) menghabiskan waktunya untuk berpikir, menganalisa, dan dalam hal tertentu, menghasilkan solusi. Lebih jauh lagi, bukan hanya bicara dan menulis tetapi, juga menyusun kekuatan dan strategi taktik untuk mewujudkan sesuatu yang lebih objektif dan tidak kontradiktif. Yang terakhir inilah yang disebut Intelektual Progresif.
Maka salah satu yang menyebabkan intelektual dianggap orang bermartabat, karena ia tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang primitif (sekedar makan, minum, kebutuhan seksual, kepuasan-kepuasan nafsu dan psikologis yang dibawa oleh eksistensinya sebagai tubuh). Tapi, berupaya mengorbankan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan tubuh (fisiologis dan psikologis) dan memperbanyak aktivitas yang memperkaya pengetahuan dan berusaha mengubah keadaan (baca, diskusi, aksi). Itu sebabnya, kaum intelektual dianggap ‘bermutu,’ ‘tinggi derajatnya,’ ‘lebih langka dan unik,’ karena ia tak hanya menjalani hidup seperti binatang. Atau hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan kepuasan diri, atau yang berprinsip “Untuk apa susah-susah dan mikir yang berat-berat, senang-senang saja kan enak!”[8]

Dalam analisa Tan Malaka, memposisikan kaum terpelajar pada Barisan Pelopor disamping Kelas Cadangan yang terdiri dari kaum buruh yang kurang revolusioner dan berada dibawah garis komando. Intelektual sebagai Barisan Pelopor mampu mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa” sehingga terjadi “aksi massa”. 

Golongan ini memiliki kecakapan revolusioner, cerdas, tangkas, waspada politik. Ia juga harus bekerja dengan kekuatan nasional dan tidak mengharapkan kekuatan yang sekedar lamunan. Dan tak kalah pentingnya memahami tabiat massa yaitu mengetahui waktu dan cara bagaimana reaksi rakyat terhadap kejadian politik dan ekonomi[9].

Secara keseluruhan ilustrasi diatas masih menempatkan perubahan ada ditangan intelektual dengan posisinya yang independen dan kaya akan pengalaman dan pengetahuan. Jika mahasiswa adalah intelektual – sebagaimana banyak orang menyebutnya saat ini ‒ maka perubahan ada dipundak mahasiswa. 

Mahasiswa berkewajiban untuk memotori gerakan rakyat. Berdosalah jika membiarkan penindasan dan ekploitasi menghinggapi rakyat, dan tanpa melakukan upaya apapun. Yang tak kalah pentingnya bahwa perjuangan membela rakyat dan merebut perubahan tidak mesti melalui kursi kekuasaan. Sederhannya, dalam mengawal persolan dikampus tidak perlu harus menjadi presiden BEM ataupun Dewan Mahasiswa.

Untuk itu mahasiswa diidealkan sebagai pembela nilai dengan memegang senjata kebenaran dilengkapi dengan rasionalitas dan misionaris ideologis dengan profesi sebagai intelektual. Tiada lelah mendampingi, mengadvokasi, menciptakan penyadaran dan memberikan pendidikan alternatif bagi kaum tertindas untuk proses pembebasan dari hegemoni elit penguasa. Kondisi ini menurut Arizal Mutahir menempatkan mahasiswa sebagai penjaga dari keseluruhan nilai yang ada dimasyarakat.

Mahasiswa lalu dipercaya sebagai motor perubahan sosial. Diyakini dapat mengantarkan tatanan sosial masyarakat pada sebuah perubahan kearah yang lebih baik, adil dan damai. Diakui mereka bisa merebut keadilan yang diabaikan oleh penguasa dan mampu mendobrak setiap ketimpangan sosial yang melilit rakyat, terutama relasi mereka dengan penguasa (vertikal). Penilaian ini, menurut sejarawan LIPI, Hermawan Sulistyo, disebut post factum yaitu justifikasi setelah suatu peristiwa terjadi. 

Artinya bahwa mahasiswa disebut agen perubahan hanya jika mahasiswa telah terbukti melakukan perubahan. Dalam ini yang diacu sebagai fakta dari agen perubahan mahasiswa adalah peristiwa seputar 1908 (berdirinya Budi Utomo dan organisasi kepemudaan lainnya), 1928 (sumpah pemuda), 1965 (perlawanan terhadap rezim orde lama) hingga 1998 (penumbangan kekuasaan orde baru), dimana mahasiswa menjangkarkan perannya dalam kehidupan bernegara yang bebas. Dalam petakan-petakan orde ini mahasiswa memang diakui perannya.

Tapi, Sulistyo tidak “berkacamata mata kuda” dalam melihat rentetan peristiwa itu, dia mencoba mengorek sampai sejauh mana ketunggalan gerakan mahasiswa. Benarkah gerakan mahasiswa pure sendiri tanpa adanya keterlibatan elemen-elemen lain? Tanpa dukungan fisik dan strategi dari tentara misalnya? Ternyata Sulistyo menemukan jawabannya bahwa elemen non-mahasiswa juga banyak mengambil peran dalam lahirnya tonggak gerakan mahasiswa itu. Pada 1908, ia menemukan lebih banyak unsur pedagang dan birokrat kolonial atau kaum priyai yang kemudian melahirkan Budi Utomo. 

Dalam peritiwa 1928 lebih banyak unsur pemuda dan mahasiswa hanya ada beberapa saja. Tahun 1965 ditemukan justru tentara dan aparat lainnya yang lebih signifikan kontribusinya dalam menumbangkan rezim orde lama dan mahasiswa ditemukan kerap bermalam dimarkas-markas aparat. Pun pada 1998 penggulingan Suharto, mahasiawa disupport oleh peran-peran penting akademisi, peneliti dan inteletual bebas[10]. Namun demikian, secara natural mahasiswa yang selalu mengambil inisiatif untuk mengawali perubahan melalui gerakan moral (moral force).

Mahasiswa sebagai agen perubahan diperkuat oleh temuan Arbi Sanit. Ia menyimpulkan ada lima alasan mengapa mahasiswa peka terhadap permasalahan rakyat yang kemudian mendorong mereka untuk bergerak melakukan perubahan. Pertama, mereka sebagai kelompok masyarakat yang mendapat pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak diantara semua lapisan masyarakat. 

Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain mereka adalah kelompok elit dikalangan kaum muda. 

Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah kemasyarakatan, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier. Seiring perputaran waktu, mahasiswa tak jarang mengisi waktu dengan mendirikan komunitas-komunitas kecil dan kelompok kelompok studi dikampus[11]

Tampaknya Sanit melihat mahasiswa tidak hanya sebagai sekelompok muda yang mengenyam pendidikan di universitas, tetapi juga dipersiapkan untuk mengganti birokrat-birokrat dilingkaran kekuasaan yang secara kodrati pasti berakhir, sementara kekuasaan harus diteruskan. Ini sedikit lebih moderat dari apa yang dikatan Karl Mannheim, bahwa intelaktual mestinya tidak punya ketertarikan pada kekuasaan.

Muhammad Umar Syadat Hasibuan menekankan bahwa mahasiswa sebagai kaum muda adalah young human recourses, mereka sebagai subjek sekaligus objek pemberdayaan. Sebagai subjek mereka memiliki kecakapan-kecakapan efektif dengan bakat, minat dan keterampilan serta didukung oleh kemampuannya melek teknologi. Kondisi ini memungkinkan mahasiswa untuk melibatkan diri secara aktif dalam meramu solusi-solusi terhadap masalah yang membelit bangsa. 

Tetapi mahasiswa adalah golongan muda yang masih perlu banyak belajar,  sebagai objek mereka masih membutuhkan bimbingan, bantuan serta dukungan untuk mengembangkan kemampuan dan sikap mandiri dalam keterlibatannya dimasyarakat[12]. Standarisasi Hasibuan tentang mahasiswa ini lebih rendah targetnya ketimbang perumus-perumus yang lain karena ia sepenuhnya menyadari bahwa mahasiswa perlu dibina dan diposisikan sebagai objek dalam hal belajar, dan ini yang terjadi dikampus.    

Bandingkan dengan apa yang dikatakan Adi Suryadi Culla. Culla merumuskan mahasiswa selain sebagai entitas yang memiliki  pendidikan tinggi, mereka juga memiliki sikap spontanitas yang tinggi terhadap kondisi masyarakat  yang anomie akibat ambruknya tatanan lama sementara nilai-nilai yang baru belum terbentuk dengan demikian kondisi ekonomi, politik dan sosial berada dalam kondisi yang fluktuatif. Kemudian mahasiswa juga dinilai memliki sikap responsif terhadap infrastruktur dan suprastruktur politik negara yang tidak berjalan dengan baik dan mengakibatkan penindasan secara sistemik dan struktural[13].

Analisa menarik dikemukakan oleh Sulistyo dimana perkara financial justru menjadi latar belakang harus bergeraknya mahasiswa. Ia  mencoba menganalisis dari sisi pembiayaan pendidikan yang diterima oleh mahasiswa, yang mana pendidikan yang didapat dibangku perguruan tinggi tidak terlepas dari subsidi pemerintah melalui alokasi APBN. 

Bahkan UUD mengamanatkan bahwa 20% dari APBN/APBD harus dibudgetkan untuk pembiayaan pendidikan. Sementara  APBN/APBD didapat dari uang rakyat melalui retribusi pajak, maka secara tidak langsung mahasiswa telah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan belajarnya. Mereka belajar dan pintar karena sumbangsih rakyat secara finansial. 

Situsai inilah yang memunculkan kesadaran sosial dikalangan mahasiswa bahwa mereka dibiayai rakyat, mereka menikmati uang rakyat dalam proses pendidikan. Selanjutnya mereka punya hutang sosial pada rakyat karena dipintarkan oleh rakyat dan untuk membayar itu mereka perlu melibatkan diri dalam aktifitas sosial untuk rakyat, hal itu bisa termanifestasikan dalam gerakan-gerakan moral force yang dilakukan oleh mahasiswa[14]. mahasiswa selayaknya menjadi orang paling tidak terima jika rakyat ditindas oleh penguasa, panas nuraninya jika rakyat dianiaya oleh rezim.    
Sebagai benang merah, apa yang diwacanakan Bourdieu, Petras, Sanit, Hasibuan, Culla dan Sulistyo terhadap intelektual mahasiswa  secara umum adalah menempatkan mahasiswa sebagai agen of intellectual, agent of control dan agen of change yang sudah lama disandangkan pada mahasiswa, sekaligus menjadi perlambang pentingnya peran mahasiswa.  Meski kini ke-tiga gelar itu lebih sebagai simbol prestis eksistensi mahasiswa ketimbang peran yang sesungguhnya, dan nyatanya substansinya lebih banyak diperankan oleh media, LSM dan partai politik (politisi) meskipun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan yang tersirat didalamnya.

Tetapi Bukan “Tuhan” 

Kita patut menghargai proses induksi maupun post factum dari beberapa tokoh diatas dalam menempatkan posisi mahasiswa. Hal itu tentu melalui penelusuran sejarah dari dekade demi dekade untuk sampai pada kesimpulan yang saat ini diamini oleh seluruh kalangan.   Dengan tiga gelar suci nan agung diatas, mahasiswa sangat dipuji, dihargai dan dinantikan gebrakannya laksana sang “bengawan” layaknya dalam dongeng-dongeng kuno. 

Mereka   harus selalu hadir dikala ketimpangan mendera rakyat. Mereka mesti datang untuk memerangi para bromocorah-bromocorah yang sewenang-wenang menggunakan otoritas untuk menyandra yang lemah dan menindas kaum duafa’. Mahasiswa perlu mengawasi otoritas superior terhadap inferior, membela yang lemah dan yang terkucilkan agar tatanan kehidupan berbangsa, bernegara atau beragama tetap pada rel yang berkeadilan-memanusiakan. Sungguh Sulistyo, Sanit, Hasibuan dan Culla menempatkan peran mahasiswa hampir sempurna. 

Bagi penulis ini terkesan “menuhankan” mahasiswa jika mereka diposisikan dengan peran-peran yang terlalu berlebihan diatas, karena kondisi mahasiswa tidak demikian adanya. Ini hanya akan melahirkan semacam ketergantungan pada mahasiswa untuk melakukan aksi, terbukti jika ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasa kurang berpihak pada rakyat selalu mahasiswa yang ditanya gerakannya. Emangnya yang lain kemana? Mengapa harus mahasiswa yang menjadi “peluru” sementara yang lain menjadi penikmat jerih payah mahasiswa. Dan celakanya, ternyata mahasiswa tidak dapat memenuhi harapan itu.

Kondisi ini menutup peluang bagi non-mahasiswa untuk berkiprah dalam perubahan, bahkan keterlibatan masyarakat dianulir, semua dianggap hasil usaha mahasiswa. Padahal, seiring perkembangan zaman, intelektualisme didapat tidak hanya dikampus. Intelektual adalah mereka yang belajar, membaca, meneliti, dan menulis dan tidak serta merta mereka yang ada diperguruan tinggi. Gerakan aksi buruh yang belakangan menggejala baik di kota-kota besar ataupun didaerah adalah hasil kombinasi antara antara anak-anak lulusan SMA, pemuda dan Mahasiswa. Tidak melulu mahasiswa.  

Ini menguatkan bahwa apa yang dirumuskan oleh beberapa pemerhati mahasiswa diatas hanyalah hipotesa, karena memang mereka berangkat dari sejarah dimana belum banyak orang pandai pada pra-kemerdekaan, orde lama dan orde baru. Waktu itu orang pandai didominasi oleh mereka yang lahir dari bangku kuliah dan ruang sekolah. Alat-alat untuk belajar dan informasi pengetahuan hanya ada di universitas sehingga masuk universitas menjadi kesempatan langka yang perlu dikagumi, ditambah lagi dengan pemetaan-pemetaan pelajar pada zaman Belanda.

Tetapi saat ini mahasiswa tidak ada bedanya dengan masyarakat pada umumnya. Jika mahasiswa dianggap sebagai kelas yang beruntung kerena punya kesempatan belajar sehingga punya pengetahuan yang lebih. Maka alasan itu termentahkan dengan sendirinya, karena memperkaya ilmu pengetahuan tidak harus diruang kuliah dan dikampus yang besar. 

Berkembangnya teknologi menjadi pembongkar sekat antara mahasiswa dan non-mahasiswa, antara alam dan kampus. Jargonnya kini adalah “setiap orang adalah guruku dan alam adalah sekolah ku”. Pengetahuan menjadi milik siapapun yang bersungguh-sungguh belajar. Kita mengakui bahwa Google adalah professor paling cerdas saat ini, yang untuk dapat belajar padanya tidak perlu kuliah. 

Maka, untuk menjadi intelektual kritis tidak perlu menunggu empat tahun di universitas. Apalagi dengan mahalnya biaya kuliah, hari demi hari sebagai mahasiswa tidak lagi menjadi perlambang intelektulitas tetapi perlambang dari kelas yang beruang dan mapan serta elitis. Tidak ada jaminan bahwa yang kuliah pasti mengalahkan yang tidak kuliah baik secara intelektualitas, kreatifitas, sikap kritis maupun moral.

Perubahan dasarnya adalah bukan semata fisik dan usia (seberapa tua/muda) atau tanggung jawab secara status, tetapi kesadaran yang muncul dari dalam diri setiap warga yang merupakan adalah motor perubahan sebenarnya, orang-orang bilang people power. Dan ini sudah teruji dihampir semua negara yang berhasil melakukan perubahan besar. Negara bukan milik mahasiswa, bukan milik presiden dan menteri dan bukan milik politisi, negara milik kita bersama. 

Maka mestinya tanggung jawab perubahan tidak berkaitan dengan status ataupun umur manusia, melainkan seberapa sadar dan kemauan yang dimiliki untuk segera beranjak melakukan perubahan itu sendiri. Klasifikasi tua dan muda harus dihapus dalam kamus perubahan dan konteks merebut keadilan, bahkan revolusi, yang tua bisa berjiwa muda yang memiliki spirit, optimisme dan antusiasme untuk berubah. Sebaliknya fisik muda terjebak dalam jiwa yang tua memiliki seribu alasan untuk psimis, malas dan putus asa. 

Pada bab ini, penulis tidak sedang membuat kontradiksi gagasan tentang mahasiswa, antara memiliki peran penting dan peran sebagaimana layaknya rakyat, sehingga bab ini menjadi lucu dan kontradiktif. Penulis tidak ingin terlalu melampaui dan membesarkan hingga menuhankan peran mahasiswa, ini berbahaya karena ditengah harapan yang sungguh besar ini justru mahasiswa tidak kunjung hadir dengan porsinya sebagaimana yang diharapkan. 

Ini akan mematikan potensi-potensi lahirnya agen-agen perlawanan dari tubuh rakyat akibat terlalu menyerahkan persoalannya pada mahasiswa. Dilain hal, penulis juga tidak sedang dalam upaya menghapuskan peran mahasiswa, baik yang telah dicatat oleh sejarah maupun yang masih mau dicatat oleh sejarah. Adalah fakta bahwa mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang saat ini sedang belajar diperguruan tinggi, dan berjuang bersama rakyat. 

Perlawanan Moral 

Lantas siapa yang harus memulai perubahan itu, rakyat, politisi, atau tentara? Jika rakyat, rakyat yang mana? Politisikah? Jaminan apa yang kita berikan bahwa politisi memang sepenuhnya berjuang untuk rakyat, bukan untuk partai? Kepercayaan apa yang bisa kita berikan ditengah banyaknya politisi yang diburu akibat kasus korupsi? Tentara pun serupa, tetap menjadi taming bagi penguasa, bahkan ada berapa banyak rakyat yang telah diinjak-injak oleh tentara? Berapa banyak rakyat dan mahasiswa yang mati ditangan tentara? So who?    

Tulisan ini bukan untuk melimpahkan beban negara kepada mahasiswa sebagai kaum muda. Tetapi, mengutip pidato Fidel Castro, bahwa suatu fakta yang tidak bisa pungkiri bahwa kita adalah penumpang dalam satu kapal yang sama yakni Indonesia dan bumi tempat kita hidup. Tetapi masing-masing penumpang memiliki tujuan dan kondisi yang berbeda. Minoritas kecil berada dalam kabin yang mewah dan fasilitas yang lengkap dan menyantap makanan yang sehat dan bergizi. Sementara mayoritas berada pada sebagaimana zaman budak, perjalanannya sengsara dan mengenaskan. 

Maka kapal yang penuh ketidakadilan yang sedang melaju dimedan irasionalitas ini mustahil bisa seimbang berlayar dan selamat sampai ke pelabuhan. Pelayaran demikian ditakdirkan terbentur gunung es dan tenggelam, jika itu terjadi maka kita semua akan karam bersama kapal tersebut[15]. Adalah fakta bahwa terlalu melelahkan untuk memilih kaum tua (politisi, hakim tentara dsb) yang benar-benar berdedikasi untuk bangsa ditengah kebiasaan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Semua dalam rangka merebut harta negara, membohongi rakyat. Maka Inisiatif pemuda dan mahasiswa untuk menyelamatkan kapal yang tengah oleng ini adalah harapan yang paling mungkin bagi pencapaian masa depan yang bersih, dan berani berkata tidak pada segala praktek kotor. Mahasiswa layak bergerak untuk bersama-sama membangunkan mereka yang terlelap dalam lumpur dusta yang sengaja diciptakan.

Disisi lain, hidup ini bukanlah masa sekarang, masa depan pasti dihadapi. Berbicara masa depan kurang lengkap kiranya jika yang dibahas hanya para kaum tua (secara umur). Kerena mau tidak mau gerakan mereka dibatasi oleh usia (tanpa bermaksud menentang takdir). Masa depan ikonnya, tanpa mengenyampingkan peran kaum tua dalam membina generasi muda, adalah para pemuda dan mahasiswa yang secara fisik lebih fresh dan memiliki kesempatan lebih mungkin untuk mempelajari masa depan melalui masa lalu, serta secara natural masa depan adalah warisan bagi para pemuda.
 
Mahasiswa sebagai pemuda yang belajar dijenjang pendidikan yang lebih tinggi dari pada masyarakat pada umumya. Secara hitungan  matematis mahasiswa seharusnya memiliki pengetahuan, kesadaran dan motivasi yang lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya untuk mengawal negeri ini kedepan. Jika tidak, kegagalan dimasa depan untuk membina suatu negeri yang berkepribadian, berkedamaian, berkeadilan, demokratis menjadi ancaman. 

Para kaum buruh, Kaum Miskin Kota (KMK), para nelayan, petani dan masyarakat marjinal akan kehilangan pahlawan, yang berdasarkan sejarah, mahasiswa adalah aspirator mereka. Tetapi juga sangat tidak bijak kita menggantungkan perubahan dan perlawanan hanya pada mahasiswa. Bijaknya, rakyat dan mahasiswa harus bersama-sama turun kejalan untuk melakuna perlawanan. 

Dalam teori “aksi massa” Tan Malaka memang diklasifikasi antara kaum terpelajar dan buruh yang belum insyaf, tetapi kedua elemen ini harus menyatu untuk membangun suatu kekuatan kolaboratif, dan bukan saling lempar tanggung jawab perubahan. Itu pula yang membedakan antara aksi massa dan putch (aksi anarkis) dalam pandangan Tan Malaka.  

Memang gerakan perlawanan intelektual mahasiswa tidaklah mudah, karena yang mereka hadapi adalah para seniornya disenayan yang sudah makan banyak “garam” dalam dunia intelektual dan pergerakan. Tetapi mahasiswa memulai gerakan perlawanan moral pada mereka yang sudah bejat secara moral. Dengan independensinya mestinya mahasiswa mampu memenangkan perlawanan moral. Jika tidak, kaum muda akan tenggelam bersama kaum tua. Kerakusan dan kebejatan para tetua saat ini akan menjadi kegagalan bagi mahasiswa dimasa yang akan datang. 

Mahasiswa pantas terketuk hatinya, tersayat-sayat jiwa dan terenyuh batinnya menyaksikan rakyat sebagai budak ditambang-tambang milik sendiri, sebagai pelayan nafsu berkuasa para kapitalis. Rakyat belum beranjak sebagai pekerja rodi seperti dijaman Belanda hanya saja sekarang lebih sistemik ketimbang jaman belanda yang hanya menggunakan cemeti. Namun memiliki esensi yang sama yaitu rakyat diperas harta dan tenaganya. Rakyat mengucurkan “peluh kuning” disekujur tubuh tanpa diperlakukan secara manusiawi. Rakyat menjadi asing di negeri sendiri, dengan demikian tidak ada opsi lain selain melawan demi perubahan dan perubahan.
          


[1] Dalam term pendidikan prise junkis adalah siswa yang mengelu-elukan pujian dan ingin selalu dihargai karena prestasinya, sehigga tindak-tanduknya adalah dalam rangka hanya mendapat sanjungan. Setelah sanjungan tiada maka akan berhenti bergerak atau melakukan sesuatu.
[2] Puisi Taufik Ismail di kutip oleh Pahmi Sy dalam  Politik pencintraan : 2010, hal 202.
[3] Arizal Mutahir. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu: Sebuah Gerakan Untuk Melawan Dominasi. Bantul: Kreasi Wacana. 2011., hal 3
[4] Ibid., hal 9.
[5] James Petras "Role of the Intellectuals in social change," dalam http://www.rebelion.org, Oktober 15, 2005. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dalam IndoPROGRESS, 21/1/2007.
[6] Nurani Soyomukti. Kaum Intelektual dan Sikap Ilmiah. IndoPROGRESS, 30/5/2006
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Tan Malaka. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi. 2008., hal 103-109
[10]  Hermawan Sulistyo. Lawan: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Suharto. Jakarta: Pensil-324. 2002, hal 106-107.
[11]  http://jamilkusuka.wordpress.com/2010/08/03/refleksi-gerakan-mahasiswa-setelah-12-tahun-reformasi/
[12]  Hasibuan, Muhammad Umar Syadat. Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008., hal 3.
[13]  Adi Suryadi Culla dalam Gimnastik Politik nasionalis Radikal. 2009, hal 357.
[14]  Lawan. 2002, hal 105-106.
[15]  Pidato Fidel Castro yang disampaikan pada konferensi tingkat tinggi para pemimpin negara selatan yang tergabung dalam kelompok 77 di Havana pada 12 April 2000. Dalam Zaviera. Fidel Castro: Revolusi Sampai Mati. 2007,  hal 144.

Post a Comment

0 Comments