Oleh
: Herlianto A
Berawal
dari jawaban Prabowo terhadap pertanyaan Jusuf Kalla dalam debat capres babak
satu soal kasus HAM, perseteruan Wiranto-Prabowo kembali ditabuh. Saat itu
prabowo menyatakan “tanyakan saja keatasan saya,” yang berarti menunjuk pada
Wiranto atasannya saat itu. Kemudian, perseteruan itu diperpanas oleh
beredarnya surat
DKP (Dewan Kehormatan Perwira) tentang
pemecatan prabowo.
Sehingga Wiranto merasa perlu menjawab tuduhan Prabowo
secara terbuka pun mengklarifikasi soal surat
DKP. Namun sebenarnya tidak ada yang baru dari jawaban Wiranto, pun permintaan
Prabowo untuk bertanya keatasannya bukan sesuatu yang spesial untuk membuat
kasus HAM itu terjawab. Pasalnya semua wacana itu tak lebih dari wacana usang
yang didaur ulang dengan bumbu politik.
ABRI Nasionalis dan ABRI
Hijau
Rivalitas
Wiranto-Prabowo bukanlah hal baru. Perseteruan keduanya sudah dimulai sejak
tahun 1997. Saat itu dikenal istilah ABRI Merah-Putih yang berhaluan nasionalis
kubu Wiranto dan ABRI hijau yang dekat dengan ulama kubu Prabowo. Winda dan
Febriana dalam buku Rivalitas
Wiranto-Prabowo: Dari Reformasi 1998 Hingga Perebutan RI-1 membeber sentimen terjadi antara dua golongan
aparat ini ketika ternyata ABRI hijau lebih dekat dengan Suharto.
Kedekatan ini
dilatari keberhasilan Mayjen Faisal Tanjung, bagian ABRI hijau, dalam
menjalankan tugasnya sebagai ketua DKP terhadap peristiwa Santa
Cruz 12 November 1991 di Dili Timur Timor.
Yaitu peristiwa penembakan terhadap massa demonstrasi
menuntut pelepasan diri dari Indonesia
yang kemudian Indonesia
mendapatkan tekanan internasional untuk menyelesaikan kasus HAM itu.
Saat
itu DKP memberhentikan Mayjen Sintong Panjaitan (Pangdam Udayana) dan Brigjen
RS Warouw (Pangkoopskam Timtim) dari dinas kemiliteran karena dianggap bersalah
dalam kasus itu. Kemudian Prabowo bermaksud mengenalkan Faisal Tanjung kepada
Suharto untuk menandingi Benny Moerdani yang tak lain adalah bagian dari ABRI
Merah-Putih. Namun usaha itu tidak terealisasi (Winda dan Febriana, 2009:5-6).
Kronik
sentimen ini sebenarnya pernah diendus oleh Suharto. Ini yang membuat bapak
pembangunan itu membagi kekuasaan secara adil terhadap keduanya untuk mencegah
kudeta terencana. Wiranto di beri kekuasaan atas Mabes ABRI di Cilangkap,
beberapa krunya diantaranya Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Sintong Panjaitan,
Djamhari Chaniago dan Johnny Lumintang. Sementara Prabowo bersama Muchdi,
Sjafrie Syamsuddin dan Zacky Anwar Makarim menguasai Mabes Angkatan Darat di
Merdeka barat (Winda dan Febriana, 2009:5-6).
Pangdam
Siliwangi, Diponegoro dan Brawijaya diserahkan pada kubu Wiranto. Dengan
demikian, Probowo menjadi kuat di daerah ibu Kota Jakarta dan sekitarnya,
sementara Wiranto kuat di luar Jawa. Melalui
pemetaan ini diyakini akan mencegah kudeta terhadap Suharto pasalnya tidak
mungkin penjungkalan terhadap Suharto terjadi apabila kekuatan tentara Jawa dan
luar Jawa tidak menyatu.
Dua Jendral Scorpion
Menjelang
reformasi 1998 desus-desus rivalitas Wiranto-Prabowo semakin santer. Prabowo
dianggap melakukan inisiatif sendiri oleh Wiranto saat melakukan penculikan
pada para aktivis reformasi. Sementara Prabowo
menegaskan, dia mendapat daftar nama penculikan dari atasannya yaitu Wiranto.
Namun, faktanya Prabowo tetap dicopot dari dinas kemiliteran (kopassus).
Kejadian ini membuat ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, angkat bicara bahwa
pemecatan itu tidak adil karena Prabowo hanya bawahan mestinya atasan selaku
pemberi titah juga diadili. Sumitro berkesimpulan bahwa pencopotan Prabowo
hanyalah upaya Wiranto untuk membungkam karir Prabowo.Wiranto tak kalah logika, dia menjawab untuk apa
kemudian bersaing dengan Prabowo karena nyatanya Prabowo adalah bawahannya.
A Pambudi mencatat dalam buku Kalau Prabowo jadi Presiden, alasan lain yang dijadikan dasar oleh Wiranto untuk menepis rivalitas
itu adalah saat dia mendukung Prabowo menjadi Pangkostrad. Seandainya Wiranto
berminat meng-cut karir Prabowo, maka
Wiranto tidak akan mengizinkan pengangkatan itu. Tetapi sayangnya Wiranto tidak
hadir pada pelantikan itu, bagi Pambudi ini kekalahan Wiranto pada babak
pertama.
Pasca lengsernya Suharto, Majalah GAMMA edisi 28
Februari 1999 menceritakan bahwa pada saat pengumuman
kabinet pemerintahan B.J. Habibie. Saat Habibie mem-briefing kabinet reformasi, Wiranto datang menemui Habibi dan
berkisah soal pasukan dibawah komando Prabowo mengkonsentarsikan pasukan di
beberapa tempat. Pemusatan pasukan oleh Probowo ini ditengarai akan digunakan
untuk melakukan tindakan “tidak konstitusional” terhadap kepemimpinan Habibie.
Disisi lain desas-desus juga santer tentang Prabowo
“akan berbuat sesuatu” dengan kekuasaan. Isu itu diperkuat oleh media luar
negeri, Asiaweek yang memberitakan tentang pengerahan pasukan oleh Prabowo
disaat Indonesia sedang genting. Habibie secara terbuka menyebut nama Prabowo
relasinya dengan insiden-insiden 12 Mei 1998.
Suasana makin memanas setelah rekaman mirip suara
Habibie dengan kejagung Andi. M. Ghalib mengupas persoalan pelanggaran
kerusuhan Mei dan petrus (penembakan misterius) yang menyebut nama Prabowo
sebagai dalangnya.
Tetapi semua itu ditampik oleh Prabowo. Sebagaimana
di jelasakan dalam majalah Gamma, bahwa pengkonsentrasian massa yang mengakibatkan
tertundanya pelantikan kabinet reformasi hanyalah semata-mata untuk melindungi
Habibie dari anarkisme massa. Dan terkait peristiwa 12 Mei Prabowo menjawab
bahwa apa yang dia lakukan sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku. Apa yang
dilakukan oleh Prabowo adalah titah komando dari atasanya.
Memang sejarah menjawab, Wiranto dan Prabowo tidak
melakukan upaya kudeta, tetapi perseteruan keduanya dalam konstelasi politik bukan
tidak mungkin mereka memiliki niat kuat untuk melakukan langkah inkonstitusional
demi RI satu.
Hal lain yang perlu digaris bawahi pada saat itu
posisi tentara masih kuat di mayapada perpolitikan Indonesia. Dwi fungsi TNI
belum dicabut dan posisi tentara masih kuat di legislatif. Fraksi militer masih
bercokol di DPR. Sementara rezim Suharto sudah berada di ujung tanduk
keruntuhan dan semakin terdesak oleh tuntutan massa agar segera mengundurkan
diri dari kursi kepresidenan. Artinya, terbuka peluang bagi Prabowo dan Wiranto
untuk memancing di air keruh merebut kursi presiden setelah Suharto lengser.
Untungnya, menurut Gunawan Muhammad, Suharto dengan
cepat mengundurkan diri bahkan tidak terduga akan mundur. Dengan demikian kuat
dugaan strategi yang dibangun belum sempat tersusun rapi untuk merebut kursi
yang ditinggalkan Suharto. Dari itu perseteruan keduanya disebut scorpion general.
Dengan
demikian, perseteruan Wiranto-Prabowo sebenarnya barang lama. Bisa kita
pastikan bergejolaknya pertarungan keduanya hanya upaya politis untuk membentuk
citra negatif satu sama lain. Apalagi keduanya berada dalam dua partai yang
saat ini bertarung di pemilu 2014 ini, sekalipun Wiranto gagal mejadi calon
presiden. Saya yakin pasca pemilu isu seksi ini akan kembali meredam
sebagaimana pada saat Prabowo berpasangan dengan Megawati sebagai cawapres-capres
dalam pemilu 2009 lalu.
0 Comments