"Anak-Anak Revolusui" Taming Budiman

Oleh: Herlianto
Sumber: Budimansudjatmiko.ner
Membaca buku "Anak-Anak Revolusi" di tulis oleh Budiman Sudjatmiko, yg tak lain adalah aktor utama dari buku itu, membuat kita banyak belajar khususnya soal idealisme. Buku setebal 473 halaman itu menceritakan kisah pilu bagaimana bung Budiman, demikian dia akrab disapa, menjalani hidupnya sebagai aktivis yg gelisah dengan gigantisme rezim otoriter Suharto. 

Dia membaca banyak buku soal bagaimana melawan dan menegakkan kebebasan dan keadilan. Das kapital, magnum opus karl marx, adalah salah satu buku pusaka yg dia hatamkan, sebagaiamana dioretkan dalam buku yang booming awal tahun 2013 itu. Tentu buku Marx yg lain juga dihatamkan.

Buku yang berkisah soal aktivis muda itu begitu mempesona, Budiman menjadi satu dari generasi yang punya kesadaran matang dan dengan idealisme yang mantap saat itu namun hidup tragis dalam represivitas rezim suharto. Inilah romantisme masalalu seorag aktivis seperti Budiman yang pernah mencicipi dinginnya penjara.


Tapi bukan itu yang ingin saya katakan dalam catatan singkat ini. 

Kini budiman menjadi bagian dari negara yang dulu pernah di tolaknya sebagaimana Marx menganalisa kehadiran negara. Budiman memilih menikmati perjuangannya di kursi kekuasaan ketimbang melanjutkan perjuangannya yang elum tuntas. Saat para dewan yang terhormat berduyun-duyun studi banding kelur negeri yang mghabiskan uang negara miliaran rupiah. Budiman menjadi salah satu dari mereka yg juga memakan uang rakyat. 

Tentu budiman punya alasan kuat, bahwa dirinya tetap berjuang tetapi kini perjuangannya di dalam sistem menjadi representasi rakyat. Namun demikian representasi tetap menyisakan ruang dan jarak antara dirinya dengan rakyat yang tak bisa dijembatani oleh apapun selain kehadirannya di tengah-tengah rakyat. Dan dalam ruang dan jarak ini yang terjadi hanya kebohongan. 


Budiman lupa dengan dialektika Marxis yang dipujanya bahwa perjuangan adalah mencipta antitesis dari penguasa sebagai tesis. Tetapi dia memilih masuk menjadi tesis dalam birokrasi, maka dengan sendiri menghilangkan antitesis yaitu perjuangan itu sendiri.


 Sebenarnya buku yang diterbitkan oleh kompas gramedia itu ditulis untuk menyakinkan rakyat kini akan kiprahanya, sekalipun dia sedang larut dalam fantasi kekuasaan dan memakan uang rakyat. "Anak2 Revolusi" tak lain menjadi taming sahwatnya terhadap kekuasaan.


Tentu tipe-tipe aktivis semacam ini tidak hanya pada Budiman. Bisa kita lihat Fahri Hamzah, Abdul Malik Haramain, Anas Urbaningrum. Dan yg terbaru Adian Napitupulu. Mereka dulunya pejuang rakyat. Tapi kini memilih masuk dalam birokrasi. Sebagian ada yang sudah di gelandang di sel tahanan KPK.


Terus terang saya rindu sosok pemuda yg konsisten dengan idealismenya seperti sosok Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Dua orang ini mempertaruhakan hidupnya demi idealismenya. Sayangnya sejarah tak lagi melahirkan generasi semacam mereka lagi. Justru sejarah mencabut nyawanya di saat mereka sedang mekar. Disaat mereka menjadi oase di ditengah keringnya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di negeri ini.


Gie dan Wahib, seandainya kalian masih hidup. Pasti akan sedih melihat Indonesia saat ini. Bangsa yang kalian cintai ini sedang diserang badai amoralitas dan miskin idealisme. Moral, kehormatan, kasih sayang, idealisme dan cinta sekalipun telah digadaikan demi kekuasaan oleh generasimu yg rakus itu.

Post a Comment

0 Comments