Mahasiswa: antara Aksi, Demokrasi, dan Lifestyle

Oleh : Herlianto[1]
Sumber: septaristya.blogspot.com

Belum lama ini penguasa Tiongkok direpotkan oleh aksi massa[2] mahasiswa yang menuntut demokratisasi yang sejauh ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintahnya. Dalam aksi yang berlangsung kurang lebih lima hari itu menewaskan setidaknya tiga mahasiswa. Menariknya, ribuan massa yang hadir di jalan-jalan itu diorganisir hanya melalui media sosial (medsos). Ini menunjukkan betapa sebenarnya medsos memiliki kekuatan revolusioner apabila dimanfaat dengan benar dan tepat.

Aksi besar-besaran seperti yang dilakukan mahasiswa Tiongkok bukan hal baru di jagat perpolitikan dunia termasuk Indonesia. Gerakan ekstra parlementer kerap kali menjadi upaya terakhir setelah semua upaya agar suara mayoritas rakyat di dengarkan dan dipahami penguasa buntu. Suara rakyat untuk hidup secara demokratis tidak didengarkan. Semua aspirasinya diabaiakan tanpa dipertimbangkan, dan sikap kritis dianggap subversif. Dalam situasi negara yang demikian, menurut Widji Thukul, hanya ada satu kata “LAWAN”. Sejauh ini tampaknya ini yang dilakukan oleh mahasiswa Tiongkok. 

Di Indonesia juga punya pengalaman yang sama dimana mahasiswa bersama beberapa elemen masyarakat lainnya kerap turun jalan menyuarakan demokratisasi dan transparansi birokrasi. Puncaknya adalah lahirnya gerakan 1998 yang menumbangkan gigantisme rezim Suharto. Di negara-negara dunia juga terjadi hal yang sama, diantaranya: pada 2012 lalu aksi massa Mesir yang kemudian menumbangkan rezim Husni Mubarok yang berkuasa 30 tahun mendera warganya. Kemudian disusul Muammar Kadafi di Libya, dan Zine Dane Ben Ali di Tunisia. Ini adalah sederat fakta dimana keterlibatan mahasiswa dalam perubahan cukup penting. Yang kemudian secara post factum menobatkan mereka sebagai agent of change dan agent of social control

Pembaca yang kritis akan menarik suatu pertanyaan penting yaitu bagaimana dan dimana relasi antara mahasiswa, aksi, dan demokratisasi itu sendiri? Pertanyaan ini langsung menusuk ke jantung pembahasan tulisan ini. Dalam paper yang sangat terbatas ini saya akan mencoba untuk menjawabnya sebelum nanti akhirnya mengupas lifestyle (gaya hidup) yang justru mengamputasi semangat revolusioner para mahasiswa.

Agensi dan Perubahan

          Perubahan atau tepatnya demokratisasi itu sendiri bukanlah sesuatu yang taken for granted yang jatuh dari langit yang kemudian dapat dengan rakus dinikmati oleh ummat. Demokrasi adalah situasi yang lahir melalui proses perjuangan berdarah-darah, melalui pengorbanan yang tak hanya materi tetapi juga sesuatu yang paling berarti dari diri manusia: nyawa.  Itulah sebabnya tiap kali demokrasi lahir selalu memakan korban. Tak ada kelahiran demokrasi, yang kini dianggap sebagai satu bentuk tatanan bermasyarakat paling ideal, tanpa pengorbanan. Karena sejatinya otoritarianisme cenderung rakus dengan kekuasaan dan tak ingin tahtanya diambil alih begitu saja oleh kedaulatan rakyat. 

         Sang otoriter dalam mempertahankan kekuasaannya selalu melibatkan apa yang disebut oleh Louis Althusser[3] represive state apparatus (RSA) yaitu aparat negara di dalamnya termasuk tentara, polisi dan pelaku kekerasan lainnya. Disamping itu juga ideological state apparatus (ISA) yaitu aparatur ideologis yang kadang membuat kita tidak sadar berada dalam genggaman rezim pengusa dan merasa damai disitu. Dalam hal ini lazimnya melalui institusi pendidikan, seni, sastra, dan agama. Dari situ weltanshaung (pandangan dunia) manusia dibentuk bagaimana secara de facto atau de jure dapat membenarkan kepenguasaan tertentu. Kita baru sadar setelah 32 tahun oleh rezim Suharto diminta untuk membuat resuman film G30/S/PKI setiap tanggal 30 Desember. Ternyata film yang dianggap dokumenter dan mengerikan itu tak lain kebohongan belaka rezim Suharto untuk kepentingan ideologisnya. Kita secara ideologis dibuat jijik terhadap PKI (partai komunis indonesia) dan elemen-elemennya. Orang yang diembeli PKI langsung di-justice salah dan pengkhianat negara sekalipun belum melalui proses hukum yang jelas. Melalui dua alat  RSA dan ISA itulah otoriterianisme menjangkarkan kekuasaannya dimana demokrasi dikubur. 

            Maka untuk melawan dua aparatur kekuatan penguasa tersebut dibutuhkan sikap kritis dan keberanian. Dibutuhkan nyali dan mental yang besar untuk melawan aparat negara. Perlu perjuangan yang panjang dan melelahkan. Yang terpenting lagi perjuangan akan menjadi sesuatu yang kosong dan tak mungkin terjadi tanpa ada agen-agen (agensi) yang berjuang di dalamnya. Perjuangan dan para pejuangnya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan. Pada titik inilah kehadiran pemuda mahasiswa sebagai agen pejuang menjadi penting. Maka Sukarno mengatakan “berikan aku sepuluh orang pemuda akan aku goncang dunia ini”. Dari pernyataan ini tersirat makna yang dalam akan pentingnya peran pemuda mahasiswa dalam perjuangan demi perubahan. Sukarno hanya meminta sepuluh orang dan tidak meminta seratus atau seribu orang untuk mencipta perubahan. Statemen ini menunjukkan betapa mahasiswa punya kekuatan dan kualitas diri yang luar biasa dibanding sekelompok masyarakat yang lain. Lantas muncul pertanyaan lanjutan mengapa pemuda mahasiswa dan bukan pemuda yang lain? Atau bahkan mereka yang menjadi legislative, yudikative, dan eksekutive yang sudah dipilih rakyat yang mestinya bertarung demi keadilan dan kesejahteraan negeri ini? Mahasiswa tahu apa wong hanya baru belajar satu tahun saja sudah blagu dan sok kritis?

            Saya menjawab justru karena kekuasaan rakyat melalui pemilu sudah diserahkan pada para penguasa itulah sehingga keterlibatan mahasiswa menjadi penting. Penting karena baik legislatif (pembuat aturan), eksekutif (pelaksana aturan), dan yudikatif (pengawas jalannya aturan), tepatnya orang yang dipercaya oleh rakyat, sudah sama-sama tidak bisa dipercaya. Ketiganya tak ada yang terbebas dari kejahatan korupsi yang sudah kita kecam sebagai extraordinary crime di negeri ini. Itulah tontonan keseharian kita. Malangnya, para mahasiswa hidup di dalam negara yang dikuasai oleh orang-orang miskin kepercayaan ini. Maka, menurut Fidel Castro, pemimpin revolusi Kuba, kita berada dalam satu kapal yang sama yaitu Indonesia. Yang mana kapal ini berada dalam ketidak adilan, sebagian kecil penumpangnya sejahtera dan mayoritas berada dalam penindasan dan ketidakadilan. Maka kapal yang melaju seperti ini ditakdirkan tenggelam. Dan jika karam, mahasiswa akan menjadi bagian dari kemudharatan itu[4].      

Disisi lain mahasiswa adalah orang-orang pilihan. Mereka adalah orang-orang istimewa yang memiliki kesempatan luas untuk mengasah keberanian dan sikap kritisnya dikampus. Tidak semua orang bisa belajar dikampus dan bertemu dengan para doktor dan profesor. Untuk masuk ke dalam universitas paling tidak harus punya tekat belajar dan memang punya uang lebih. Kita sadari bahwa biaya masuk kuliah saat ini sangat amat mahal. Sehingga studi dikampus masih menjadi barang langka di negara yang UUD tegas menyatakan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. 

Menurut Arbi Sanit ada lima alasan mengapa mahasiswa peka terhadap permasalahan rakyat yang kemudian mendorong mereka untuk bergerak melakukan perubahan. Pertama, mereka sebagai kelompok masyarakat yang mendapat pendidikan terbaik. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang diantara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan dan struktur ekonomi. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah kemasyarakatan[5].

Inilah tanggung jawab sosial mahasiswa. Bahwa mereka dikuliahkan bukan berapa IPK (Indeks Prestasi Komulatif) yang diperoleh nantinya, tetapi berapa banyak kaum miskin dan kaum yang terzalimi secara hukum yang sudah dibela. Berapa banyak berada digarda depan saat kaum buruh terus menerus diperas oleh kapitalis. Mereka berlatih mandiri menyemai idealisme. Sehingga pulang ke masyarakat mengerti bagaimana membela mereka yang terus menerus dibodohi oleh elite. Dan bukan menjadi mahasiswa yang merengek kebingungan mencari kerja lantaran tak punya pengetahuan apa-apa, selain hanya punya ijazah. Mahasiswa harus berani melibatkan diri dalam setiap proses demokratisasi. Lagi-lagi kata Sukarno “jika ada seribu orang berjuang maka saya adalah satu diantaranya, jika ada seratus orang berjuang maka saya juga satu diantaranya, jika ada sepuluh orang yang berjuang maka saya adalah orang yang kesepuluh, dan jika hanya ada satu orang yang berjuang maka dia adalah saya sendiri”. Inilah tekat dan semangat untuk berpartisipasi dalam perjuangan yang pernah ditunjukkan oleh Bung Karno.
  
Lawan Proseduralisme Demokrasi

Dimana letak demokratisasi yang mesti sahabat-sahabat mahasiswa bela? Demokrasi kita masih berkutat pada demokrasi proseduralisme[6]. Yaitu kesejatian demokrasi diukur dari prosedur yang digunakan. Salah satu tandanya adalah proses pemilu. Dimana pemilu menjadi segala-segalanya. Hadirnya lembaga-lembaga demokrasi, diantaranya: NGO (non goverment organization), institusi media, dan aparatur pemerintah itu sendiri. Menurut Samuel P Huntington dalam buku The Third Wave of Democratization apabila dalam tiga kali pemilu dalam satu negara tidak terjadi konflik maka negara bisa dibilang demokratis. Tetapi rasanya analisa ini kurang tepat melihat kenyataan demokrasi di negara ini. Memang pemilu minim konflik dibandingkan negara lainnya, tetapi pada faktanya proses pemilu justru diwarnai sesuatu yang paling mencederai demokrasi itu sendiri yaitu money politic dan kecurangan hak pilih lainnya. Dengan demikian yang paling banyak uangnyalah yang berkuasa karena mampu membayar para konstituennya. Dan secara prosedur dia menang dan dianggap berhak atas kekuasaan secara demokratis. Maka para pengusahalah yang paling mungkin duduk di kursi kekuasaan. Situasi ini bukan demokrasi melainkan oligarki yaitu kekuasaan oleh para saudagar-saudagar kaya.

Tak hanya itu, peran media yang semestinya melalui netralitasnya menggiring proses demokrasi ini pada relnya, malah melakukan keberpihakan yang tidak semestinya. Belakangan media besar televisi seperti MetroTV dan TVOne mempraktekkan keburukan itu. Media cetak juga mengalami hal yang sama. Soalnya adalah para pemilik media juga menjadi pelaku politik. Dalam proses demokrasi demikian kedaulatan rakyat menjadi mimpi belaka. Kita baru saja mengalami penzaliman massal yaitu saat DPR merumuskan UU yang mengembalikan pemilihan kepala daerah terhadap DPRD. Ini mengembalikan kita pada zaman Orde Baru. Inilah situasi demokrasi kita yang mesti kaum mahasiswa pikirkan.

Terbelit Trend dan Fashion       

            Sayangnya, sampai sejauh ini tepatnya pasca reformasi, peran mahasiswa belum beranjak dari kenyamanannya. Terobosan peran mahasiswa kurang terlihat justru disaat negara ini mencicipi demokrasi. Para kawula muda masih terbelit dengan kenikmatannya sendiri yaitu kenikmatan trend dan fashion dimana membentuk lifestyle-nya. Para mahasiswa merasa nyaman berlama-lama di mal dengan mengelilingi gatget dan mode pakaian yang didiskon katanya, ketimbang berlama-lama diperpustakaan membaca buku, berdiskusi, dan menulis. Kesibukannya terjerumus dalam penampilan. Ini yang oleh David Chaney dalam bukunya Lifestyle disebut budaya dandyisme yaitu budaya dimana orang tak lagi memperhatikan esensi dirinya sebagaimana manusia hidup, melainkan bagimana memuaskan hasratnya berdandan untuk tampil modis. Kulit “sawo matang” yang menjadi ciri khas ras melayu ingin diputihkan sebagaimana yang diiklankan di televisi melalui produk pemutih tertentu. Hidung pesek ingin dimancungkan melalui operasi kecantikan sebagaimana hidung artis Korea.  Sehingga yang menjadi wacana adalah mode atau pemutih terbaru apa yang bisa dibeli dan digunakan. Itulah sebabnya Matos (Malang Town Square) dan MOG (Mal Olympic Garden) selalu lebih ramai ketimbang perpustakaan umum Kota Malang. Para mahasiswa disibukkan soal nanti makan makanan merk apa, Mc Donal atau KFC (Kentucki Fried Chicken) dsb. Warung-warung kopi ramai tetapi miskin aktivitas kritis, mereka asyik bermain kartu dan sebatas membuang waktu luang yang dimilikinya. 

          Mahasiswa yang digolongkan kelas menengah[7] menjadi begitu konsumtif dengan segala produk gatget dan kecantikan. Tanpa sadar, melalui iklan, pemuda dibentuk mindsetnya sehingga segala estetika dan etika patronnya adalah dunia barat yang secara hakiki berbeda dengan dirinya sebagai ras melayu yang hidup di wilayah garis khatulistiwa dengan iklim tropis. Sejak soal trend, fashion, dan budaya komsumtif melanda para mahasiswa, maka tangggung tawab sosialnya untuk mengawal dan menjadi agen dari perubahan itu sendiri terlupakan.

Penutup

Sebagai penutup, mari kita mulai dari sekarang untuk menata diri yang menyadari bahwa mahasiswa adalah cogito[8] yaitu aku yang berpikir, aku yang kritis, dan aku yang tidak serta-merta percaya dan menerima segala apa yang datang. Baik berupa budaya, tradisi, dan fenomena-fenomena yang terjadi dalam keseharian. Semua itu harus dikritisi dan dipertanyakan keabsahannya. Jangan lagi mudah dibodohi soal budaya dan soal nilai sehinggga terjerembab ke dalam konsumtivisme-hedonisme. Bahwa bangsa ini juga punya nilai dan budaya yang mesti dipertahankan. Maka, sejak dinyatakan diterima di Universitas Kanjuruhan dan bergabung dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kita adalah makhluk kritis yang siap mengorbitkan demokrasi yang sesungguhnya yaitu goverment by the people, from the people, and for the people. Dan kita siap bertarung untuk itu dimanapun dan kapanpun. Selamat berjuang sahabat!         


[1] Debu pulau Masalembu yang kini belajar di STF Al-Farabi, penulis buku Mahasiswa dalam Pergulatan Politik, mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang.
[2] Menggunakan terminologi “aksi massa” bukan “massa aksi”. Dalam pandangan Tan Malaka terdapat perbedaan antara keduanya. Aksi massa dimana massa yang terlibat memahami persoalan, sementara massa aksi hanya sekumpulan orang  yang  hanya ikut-ikutan saja.
[3] Louis Althusser. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Jogjakarta: Jalasutra. 2010., hal 30.
[4] Pidato Fidel Castro yang disampaikan pada konferensi tingkat tinggi (KTT) para pemimpin negara selatan yang tergabung dalam kelompok 77 di Havana pada 12 April 2000 lalu. Dalam Zaviera. Fidel Castro: Revolusi Sampai Mati. Jogjakarta: Garasi.2007,  hal 144.
[5]  http://jamilkusuka.wordpress.com/2010/08/03/refleksi-gerakan-mahasiswa-setelah-12-tahun-reformasi/
[6] Setidaknya itu yang dicatat oleh Donny  Gahral Adian dalam bukunya Demokrasi Kami. Jakarta: Koekoesan. 2011.
[7] Disebut kelas menengah karena mahasiswa masih menerima gaji rutin dari orang tua setiap bulan tanpa memiliki pekerjaan.
[8] Diambil terminologi Rene Descartes, salah satu filsuf modern, cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). 

Post a Comment

0 Comments